Ada yang unik dari Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) di Jember, Jawa Timur. Gereja ini jadi satu-satunya gereja yang menggunakan Alkitab Bahasa Madura. Selain itu para jemaatnya juga terbiasa menggunakan songkok dalam beribadah. Mojok menelusuri sejarah panjang kekhasan dari GJKW ini.
***
Di tanah Madura, masyarakat yang beragama Kristen tidak menggunakan Bahasa Madura dalam kitab suci mereka, Alkitab. Sementara, di pelosok timur Kabupaten Jember, justru menggunakan Bahasa Madura dalam Alkitab-nya untuk beribadah.
Mengapa demikian? Ada akar sejarah panjang yang membuat masyarakat di Desa Sumberpakem, Kecamatan Sumberjambe, Kabupaten Jember, Jawa Timur, menggunakan Bahasa Madura dalam penulisan Alkitab, dan saat beribadah di Gereja. Bahkan kesepakatan nama Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) lahir dari Sumberpakem.
Saya menemui Esto Winarno (73), generasi keempat pemeluk Agama Kristen di Sumberpakem, usai dirinya ibadah Natal di Gereja. Esto merupakan warga lokal yang berperan besar menyunting ratusan lembar naskah Alkitab berbahasa Madura selama tiga tahun, sejak 1992 sampai 1994.
“Kalau pemakaian Alkitab Bahasa Madura, itu tahun 1994. Karena orang sini, orang Madura. Pribumi Madura, ya paling mantap, doa ya pakai Bahasa Madura,” kata Esto saat ditemui usai ibadah Natal di Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Sumberpakem, Sabtu (25/12/2021).
Esto berperawakan tegas, tanpa basa-basi. Meski sudah usia kepala tujuh, daya ingatnya masih tajam. Biacaranya lugas dan pendengarannya juga masih kuat.
Saat ditemui, Esto mengenakan songkok atau peci hitam, yang biasa dipakai masyarakat Agama Muslim. Tapi bagi Esto, songkok merupakan simbol masyarakat Nusantara, siapapun boleh mengenakannya. Ia justru menilai songkok sebagian simbol identitas masyarakat suku Madura.
“Ke Gereja pakai songkok, prinsipnya kalau songkok ini peci nasional, bukan ciri khas Muslim. Ciri khas orang Madura,” katanya mantap.
Saat ibadah memang demikian, tidak hanya Esto yang mengenakan songkok. Generasi tua lain juga menggunakan songkok, sebagian mengenakan blangkon Madura.
Esto menceritakan, sebelum Alkitab dicetak resmi, Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) memang melibatkan orang lokal agar penerjemah bahasa lebih akurat.
Penerjemahan Alkitab, dalam prosesnya, LAI melibatkan orang Madura dari Pamekasan untuk menerjemahkan Alkitab berbahasa Ibrani dan Yunani ke Bahasa Madura. Namun, kata Esto, banyak pembendaharaan Bahasa Madura yang tidak sama, antara Pamekasan dengan Sumberpakem.
Selama tiga tahun, 1992-1994 Esto menerima terjemahan Bahasa Madura Pamekasan, secara bertahap dari kitab kejadian hingga wahyu, sebanyak 66.
“Karena bahasa daerah Madura di sini tidak sama dengan Pamekasan, beliau kirim Alkitab di Sumberpakem untuk di-edit, dalam lembaran HVS saya tinggal kasih tanda. Ini kurang tepat, ganti, dikirim lagi ke sana,” kata kakek tiga cucu ini.
Dalam penerjemahan Alkitab, ada perbedaan khas yang muncul. Salah satunya, penambahan kata “Gusteh” sebelum menyebut “Allah”. Nama Alkitab dalam Bahasa Madura sendiri ditulis “Alketab”.
“Tambahan Gusti, dalam Alkitab dalam bahasa Madura, Allah ya Gusti Allah. Memang seharusnya begitu. Tuhan itu Gusteh,” ujarnya.
Selama berbincang, saya yang berasal dari keluarga Jawa, tidak memahami Bahasa Madura. Begitu juga dengan penduduk Sumberpakem yang semakin plural, sebagian umat Kristen juga tidak mengerti Bahasa Madura.
Menyiasati hal tersebut, pihak GKJW akhirnya membuat jadwal. Dalam 4 Minggu setiap bulannya, akan ada ibadah khusus Bahasa Madura dan Bahasa Indonesia.
Minggu pertama, ketiga akan menggunakan Bahasa Madura. Sementara, Minggu kedua dan keempat menggunakan Bahasa Indonesia.
“Dengan perkembangan zaman karena banyak pendatang yang tidak Bahasa Madura, akhirnya diatur kalau Minggu genap Bahasa Indonesia, kalau Minggu ganjil ya bahasa Madura,” terangnya.
Misionaris Kolonial Belanda
Esto merupakan generasi keempat umat Kristen di Sumberpakem, setelah Kakeknya masuk dalam daftar 10 orang pertama yang dibaptis oleh misionaris asal Belanda, Dr J.P. Esser pada tahun 1882.
Sebelum 10 orang tersebut, terdapat satu orang Madura pertama yang dibaptis bernama Pak Bing, asal Slateng, Ledokombo, Jember. Pak Bing sendiri juga banyak memiliki kerabat di Sumberpakem.
“Orang Madura pertama yang dibaptis namanya Pak Bing Tahun 1882, dan sekarang dijadikan hari lahir Gereja Sumberpakem. Kemudian menyusul keluarga 10 orang, juga dibaptis dari misionaris Belanda,” katanya.
“Saya generasi, kalau dari kakek nenek ke 4. Buyut saya yang pertama, namanya Pak Kaiden,” jelasnya.
Esto menyebut, penyebaran Agama Kristen di Sumberpakem berasal dari poliklinik dan sekolah. Dr J.P. Esser yang bertugas di sana, sebelumnya gagal mengabarkan injil ke Madura, baru kemudian pindah ke Bondowoso dan Sumberpakem, Jember.
“Dari dulu di sini, sebelum ada gereja poliklinik dan sekolah, awal dari petugas di poliklinik,” katanya.
Sebelum ada Alkitab berbahasa Madura, Esto menyebut, masyarakat masih menggunakan Alkitab yang ditulis dengan aksara Hanacaraka dalam bahasa Madura.
“Bahasa sudah madura, tulisannya masih Carakan Madura, Hanacaraka. Tapi madura. Jadi memang dari dulu pakai Bahasa Madura,” ujarnya.
GKJW akar sejarah dari Sumberpakem
Ditemui terpisah, Pendeta GKJW Sumberpakem, Kukuh Chirstanto menyebut, masyarakat Sumberpakem sangat terbuka dan memiliki toleransi yang tinggi, baik soal keyakinan maupun kesukuan.
“Saya baru mutasi ke sini. Menggantikan Pendeta Fajar. Saat Pak Fajar mau dimutasi ke Banyuwangi, diumumkan ke Masjid, pak kiyai yang mendoakan. Toleransi tinggi, meski beda keyakinan,” kata Kukuh.
Kukuh menyebut, GKJW memiliki akar sejarah yang kuat di Sumberpakem. Tidak hanya dari bahasa, umat Kristen di Sumberpakem juga mempertahankan kearifan lokalnya, saat Gereja di Sumberpakem akan digabungkan dalam organisasi Pasamuan Kristen Jawa, cikal bakal GKJW di Jombang tahun 1931.
“Tahun 1931 dilakukan rapat Gerejawi termasuk Dr J.P. Esser, misionaris sini, menyerahkan hasil penginjilan untuk dimasukkan organisasi, dulu namanya Pasamuan Kristen Jawa (Orang-orang Kristen Jawa).
“Ketika masuk, (warga Sumberpakem) mereka tidak mau disebut orang Jawa, saya orang Madura. Namanya akhirnya dirubah GKJW. Gereja Kristen yang ada di Jawi Wetan. (Jawa Timur),” katanya.
“Ini dasar sejarah untuk mempertahankan gereja teritori, bukan suku. Karena kita juga inginnya bersama sama seperti Indonesia yang beragam, bukan atas nama suku,” tambahnya.
Alkitab Bahasa Madura Tidak di Madura
Kukuh menyebut, keunikan lain dari Gereja Sumberpakem yakni bahasa dari Alkitab yang menggunakan Bahasa Madura. Sementara di tanah Madura sendiri, tidak ada Gereja yang menggunakan Alkitab bahasa Madura.
“GKJW tersebar di Jatim, tapi justru hanya di sini yang pakai bahasa Madura. Ada GKJW di Kamal dan Bangkalan, tapi mereka tidak menggunakan bahasa Madura.
“Karena yang di Madura, umat Kristen pendatang, bukan orang Madura yang Kristen. Kalau sini orang Madura yang kristen,” tambahnya.
Saat ditemui, Kukuh menunjukkan Alkitab bahasa Madura. Tertulis, “Alketab, E Dhalem Bahasa Madura” cetakan pertama tahun 1994. Tidak hanya Alkitab, buku puji-pujian yang berisi kumpulan lagu untuk ibadah di Gereja juga berbahasa Madura.
“Mereka dulu pekerja di Perkebunan Tambakau kemudian kopi, era Kolonial Belanda.”
Kukuh lantas menceritakan kisah yang sama, seperti penuturan Esto. “Ada misionaris dari Belanda, Dr J.P. Esser datang, buka klinik di Slateng pertama, baptisan pertama di Slateng, Kecamatan Ledokombo. Namanya Pak Ebing warga pertama yang Kristen dari” katanya.
Saat ini, di GKJW Sumberpakem, ada 40-50 umat Kristen. Sementara di Gereja cabang, Paleran, Slateng, Ledokombo yang menjadi cikal bakal masuknya Kristen, tingga dua kepala keluarga.
Semua suku, kata Kukuh juga memiliki Alkitab versi bahasa daerahnya sendiri. Ada Alkitab berbahasa Jawa, Batak dan lain sebagainya.
“Hampir semua suku punya, orang Jawa punya, orang Batak punya sendiri, Sulawesi sendiri, jadi banyak sesuai suku. Mereka nyaman dengan itu,” jelasnya.
Hari Raya Unduh-unduh
Keunikan lain dari umat Kristen di Sumberpakem, yakni ada kegiatan Hari Raya hasil bumi (nduh-unduh) kepada Gereja. “Hari raya Unduh-unduh, potret masyarakat agraris, menghargai memberikan hasil bumi, kadang di Bulan Mei dan Juni,” jelasnya.
Hasil bumi tersebut, diberikan sebagai wujud syukur kepada Tuhan. Hasil bumi yang terkumpul kemudian dilelang untuk kas Gereja.
“Yang punya pisang ya pisang, ayam ya ayam. Setelah itu dilelang untuk masuk kas. Kalau tidak dilelang, sulit, ngasih ayam, siapa yang merawat,” tambahnya.
Kearifan lokal lainnya, yakni dari pakaian yang dikenakan. Saat ibadah Natal, masyarakat memang tampak memakai peci, blangkon Madura, kebaya, batik dan pakaian bebas lainnya.
“Kearifan lokal lainnya lebih ke pakaian, songkok, peci. Dan orang orang sini dalam kehidupan sehari-hari biasa pakai kerudung (meski tidak di Gereja). Bukan berarti identitas agama sendiri tidak,” katanya.
Sementara itu, Esto menyebut, Hari Raya Unduh-unduh merupakan wujud persembahan kepada Tuhan. Perkembangan zaman, seserahan hasil bumi semakin berkurang. Umat Kristen sudah mulai banyak yang langsung menyumbang dalam bentuk uang.
“Itu sejak awal, memang istilahnya hari raya persembahan, dari semua hasil bumi yang ada itu dipersembahkan ke Tuhan. Yang diambil bukan sisa sisa, memang disisihkan, itu seikhlasnya,” katanya.
Bagi Esto, toleransi antar umat beragama sudah jadi hal lumrah, sebab tidak pernah ada gesekan antar umat beragama. Identitas songkok, hijab yang tidak terbatas agama, justru menambah kekerabatan yang tidak bertele-tele.
“Sebelumnya di sini ada pendeta Fajar, karena beliau akrab sekali dengan Pesantren, sudah dianggap keluarga sendiri. Dia mau pindah diumumkan di Masjid, didoakan bersama. Di sini, tokoh tokohnya juga masih kerabat dengan Muslim,” ujarnya.
BACA JUGA Belajar Toleransi dari Natal Warga Jlegongan dan liputan menarik lainnya di rubrik SUSUL.
Reporter : Mohamad Ulil Albab
Editor : Purnawan Setyo Adi