Sepak bola api sudah jadi tradisi sejak lama di Masjid Sabiilurrosyaad, Kauman, Bantul, Yogyakarta. Dua tahun pandemi, aktivitas ini mengambil jeda. Baru tahun ini aneka permainan api kembali dimunculkan di masjid yang berdiri pada abad ke-16.
***
Ada pemandangan yang berbeda pada malam takbiran di halaman Masjid Sabiilurrosyaad, Kauman, Bantul, Minggu, (1/5/2022). Malam itu, terlihat sekelompok remaja bergembira berkejaran berebut dan menendang bola lazimnya permainan sepak bola. Namun, satu hal yang membuat pemandangan malam itu berbeda, bola yang ditendang para remaja itu adalah bola api.
Pertandingannya berlangsung dengan seru. Dua tim beranggotakan 7 pemain tiap tim saling berebut bola api untuk saling mengalahkan. Kadang terdengar teriakan. Terkadang juga terdengar suara tawa. Halaman masjid yang tidak terlalu besar itu ramai dan meriah pada malam takbiran kemarin.
Sementara selama pertandingan itu berlangsung, dari dalam masjid beberapa orang tua mengumandangkan takbir secara bergantian terus menerus. Keramaian di halaman masjid itu tidak hanya dihadiri para remaja, tapi juga ada anak-anak, dan orang tua. Mereka bahkan ada yang duduk-duduk sambil menonton di tepian jalan sekitaran Masjid Sabillurosaad.
Tradisi turun temurun
Saya sebenarnya sudah tahu tradisi sepak bola api sejak lama. Namun karena pandemi melanda selama dua tahun belakangan ini, tradisi sepak bola api dan atraksi permainan api lainnya di masjid ini ditiadakan. Saat tahu bahwa sepak bola api diadakan kembali, saya sangat antusias untuk menontonnya sejak dari awal.
Acara malam takbiran di Masjid Sabiilurrosyaad diawali dengan pawai obor pada pukul 20.00 WIB. Sebelum pawai dimulai sempat turun hujan gerimis tapi cuma sebentar. Mungkin itu pertanda restu dari langit, pikir saya.
Orang-orang sudah berkumpul. Masyarakat Desa Kauman itu. Mulai dari anak-anak, remaja putra dan putri juga beberapa orang tua. Rute pawai obor itu mulai dari halaman masjid, menuju Alun-alun Gesikan. Memutari desa Kauman. Lalu kembali lagi ke halaman masjid.
Bagian paling depan dari pawai obor itu merupakan pentolan-pentolan Desa Kauman. Baik yang remaja maupun yang sudah dewasa. Sepanjang jalan, mereka melakukan aneka permainan api, mengadu ketangkasan dengan main lompat tali yang diberi bandul api, bermain tongkat api sambil menyemburkan api ke langit. Juga bermain yoyo yang bandulnya juga api. Api itu sebagai simbol nyala kemenangan di malam takbiran.
Menurut Haryadi, 55 tahun, takmir masjid Kauman, tradisi semacam ini sudah ada sejak dia masih kecil. Termasuk permainan sepak bola api. Namun, saat saya tanyakan sejak kapan bermula, dia jawab tidak tahu. Hal senada juga diungkapkan oleh Nurzauzah, 55 tahun. Takmir masjid sebelum Haryadi yang saya temui di rumahnya yang tak jauh dari Masjid Sabiilurrosyaad.
“Sejak saya masih kecil juga sudah ada. Sejak dulu tidak ada remaja Desa Kauman yang tidak suka bermain sepak bola api. Semua remaja menyukainya,” kata Nurzauzah atau yang biasa disapa Inung.
Namun, saat saat saya tanya lebih jauh tentang sejak kapan tradisi sepak bola api ini ada di Kampung Kauman, Inung juga menjawab tidak tahu. Yang paling dia ingat, sejak dia duduk di bangku sekolah dasar permainan sepak bola api semacam ini sudah ada setiap malam takbiran.
“Seingat saya, sejak zaman Mbah Kiai Tohir, tradisi ini sudah ada. Tapi saya cari dan urutkan ke belakang zaman sebelum Mbah Kiai Tohir saya belum menemukan siapa yang menggagas tradisi merayakan hari kemenangan dengan atraksi api dan sepak bola api ini pada malam takbiran ini,” kata Inung.
Yang paling ia ingat sejak zaman Mbah Kiai Tohir tradisi sepak bola api sudah ada. “Sepak bola api dan atraksi permainan api lainnya ini ada kaitannya dengan Salawatan Rodat,” lanjut Inung. Dulu kalau menurut cerita Mbah Kiai Muhadi, Salawatan Rodat ada gerakannya. Gerakan pencak silat. Musik pengiringnya rebana dan syairnya dari kitab Al Barjanzi.
“Itu untuk mengelabui Belanda. Gerakan kanuragan dalam Salawat Rodat itu diubah seperti tarian dan sepak bola api. Tapi itu aslinya gerakan silat ,” kata Inung mengulang cerita Mbah Kiai Muhadi.
“Mbah Kiai Muhadi itu ulama sebelum Mbah Kiai Tohir?” Tanya saya.
“Sezaman, satu angkatan. Mbah Kiai Tohir seda tahun 1969. Mbah Kiai Muhadi seda tahun 2003. Mbah Kiai Muhadi itu bapak saya,” kata Inung.
Jadi, sepak bola api itu sebenarnya bagian lain dari olah kanuragan orang-orang tua zaman dulu. “Kauman ini ‘kan selain dihuni oleh alim ulama juga oleh orang-orang yang punya kanuragan,” imbuh Inung.
Inung menambahkan, ia masih ingat, zaman dulu saat merayakan malam takbiran, ada juga atraksi kanuragan yang tidak semua orang bisa melakukannya. Ada atraksi menginjak beling. Mengupas kelapa dengan gigi. Juga bermain bola api. “Saya pernah dulu saat masih remaja, roda sepeda motor itu dibakar lalu saya lompati bagian tengah lingkarannya kayak sirkus itu. Pernah kejadian pas saya lompat matrasnya kobong,” kata Inung sambil tertawa.
Selain tradisi sepak bola api. Desa Kauman sejak dulu juga punya tradisi membunyikan mercon seperti di Desa Mlangi, Sleman. “Dulu, merconnya besar-besar,” kata Inung. Namun sejak peristiwa tahun 1978 tradisi membunyikan mercon agak surut. Inung menceritkan kisah tragedi tahun 1978 itu. Namun, saya tidak diperkenankan menuliskannya.
“Sebenarnya pemain sepak bola api itu diberi ajian khusus atau rapalan mantra atau tidak, Pak,” tanya saya.
“Kalau dulu jaman simbah-simbah saya dulu jelas ada. Kalau sekarang tidak ada,” kata Inung. Ini murni keterampilan dan keberanian orang-orang Desa Kauman. “Kalau dulu ada yang berani menyundul bola api,” katanya tertawa.
Generasi sepak bola api
Namanya Kuntaqiyya Ahmad. Selain sebagai pemain sepak bola api, Kunta juga Ketua Remaja Masjid Sabillurosaad, Kauman. Kunta ikut bermain sepak bola sejak kelas 2 SMP tahun 2010. Dia senang dan ikut main sepak bola api karena melihat bapaknya, juga kakak-kakaknya bermain sepak bola api setiap malam takbiran.
Saya bertemu Kunta usai pawai obor mencapai finish di halaman masjid Kauman. Di sela-sela mempersiapkan pertandingan sepak bola api, dia bercerita.
“Dulu Desa Kauman punya klub sepak bola, kata Kunta. Namanya PSK, Persatuan Sepak bola Kauman. Beberapa pemain Kauman ini juga main di Liga Persiba. Pemain-pemain yang bagus itu ada Ainul Fahri, Mustafid, Farhan Setiawan, dan Juremi,” kata Kunta.
Semuanya pemain sepak bola api kalau malam takbiran. Makanya tradisi ini sampai sekarang masih ada mungkin karena remaja Kauman kebanyakan suka sepak bola.
Bola yang digunakan dalam pertandingan terbuat dari kelapa gabuk yang kulit bagian luarnya yang licin dikelupas.
Kelapa gabuk itu enteng karena sudah kosong. Kelapa gabuk itu kemudian direndam selama 2-3 hari ke dalam wadah beris minyak tanah. “Biar minyaknya meresap dan tidak gampang mati saat ditendang. Paling cepat rendaman bola dan alat atraksi itu sehari semalam,” kata Kunta.
Dari Toa masjid terdengar suara Haryadi yang mengumumkan agar sepak bola api bisa dimulai. Pemain yang telah hadir di lapangan halaman masjid semuanya berkostum kaos hitam. Kedua tim yang sama-sama berkaos hitam itu juga rata-rata memakai celana jin. Tiap tim terdiri dari 7 pemain. Gawangnya merupakan dua buah obor yang menyala ditancapkan dengan jarak selebar 1 meter. “Tidak ada aturan permainan, Mas. Bebas. Tidak ada wasit. Siapa saja boleh masuk menjadi pemain menggantikan pemain lain,” ujarnya.
Saat pertandingan dimulai bola api itu segera saja jadi rebutan. Kesannya ganas. Setiap pemain yang dekat dengan bola menendang dengan keras. Sehingga api terkadang terburai. Bunga api bertebaran. Beberapa pemain bahkan sempat ada yang adu kaki saat sama-sama menendang bola. Seru. Skor pertandingan 3-2 untuk tim hitam. Saya bingung menyebutkan tim hitam yang mana. Karena kedua tim yang bertanding semuanya berwarna hitam.
Pertandingan usai sekitar pukul 22.00 WIB. Haryadi sudah berkali-kali lewat pengeras suara agar permainan dihentikan. Namun, di lapangan, pemain tetap beradu kaki sambil tertawa-tawa. Bola api itu akhirnya mati. Suara tawa itu makin ramai terdengar dari penonton maupun pemain di lapangan.
“Uripke maneh uripke maneh,” teriak seorang pemain.
Bola api dinyalakan lagi. Permainan dimulai lagi. Suara riuh penonton terdengar lagi. Permainan betul-betul berhenti saat bola api Kembali mati.
Sementara suara takbir masih berkumandang dari dalam masjid. Suaranya menggema ke seluruh Desa Kauman.
Reporter: Eko Susanto
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Laksamana Cheng Ho dan Keluarga Pembuat Bedug Kayu Utuh dari Purworejo dan liputan menarik lainnya di Susul.