Mojok menelusuri asal mula kata jancok yang jadi primadona orang-orang untuk misuh, khususnya di Surabaya dan sekitarnya. Beberapa pecinta sejarah bahkan menelusuri prasasti dari masa Mataram Kuno, Majapahit hingga awal kemerdekaan untuk mencari tahu asal mula kata ini.
***
“Jancok.” Salah satu kata kotor yang familiar di telinga saya sejak kecil. Bapak bilang sebisa mungkin jangan mengucapkan kata tersebut. Saya tidak diberi tahu apa artinya, pokoknya kasar. Itu kesan yang saya tahu dan percaya selagi saya tinggal di Trenggalek, daerah selatan Jawa Timur dengan Bahasa Jawa dialek Mataraman, mirip Yogyakarta.
Hal tersebut berbeda ketika saya bersekolah di Surabaya, kata-kata jancok terasa enteng untuk diucapkan. Sensasinya pun jauh berbeda daripada di Trenggalek. Lebih renyah dan bersahabat gitu.
Berbekal rasa penasaran akan kata-kata legenda ini, saya coba mencari tahu.
Jancok menurut warga asli dan pendatang di Surabaya
Merujuk pada buku “Sosiolinguistik Kajian Teori dan Analisis” karya Dewa Putu Wijana dan Muhammad Rohmadi, bentuk-bentuk makian atau umpatan itu bisa berasal dari beberapa kelompok kata. Coba saya jabarkan satu persatu.
Pertama: keadaan (celaka, mati), kedua: binatang (anjing, babi), ketiga: benda (gombal, tai), keempat: bagian tubuh (matamu, cukimai (yang artinya alat vital wanita)), kelima: kekerabatan (bapakmu, kakekmu), keenam: makhluk halus (iblis, setan), ketujuh: aktivitas (diancuk, diamput, yang keduanya memiliki arti bersetubuh), kedelapan: profesi (begundal, lonte), dan terakhir: adalah keseruan (buset, yang artinya sendiri adalah seru).
Pada buku tersebut, jancok merupakan kata umpatan yang berasal dari aktivitas, dengan arti “bersetubuh”. Nah, karena Bapak Dewa Putu merupakan staf pengajar UGM yang lahir di Bali dan Bapak M. Rohmadi lahir di Sragen dan mengajar di UNS, maka saya wajib bertanya-tanya apakah arti kata diancuk yang tertulis di buku tersebut cukup valid. Mengingat beliau berdua bukan berasal dari Surabaya, pun yang tertulis di buku tersebut adalah diancuk, bukan “jancok” seperti yang saya dengar sehari-hari di sini.
Dengan berbekal skripsi karya Elsiyanti (2021) berjudul Bentuk dan Fungsi Umpatan di Desa Ima’an kecamatan Dukun Kabupaten Gresik: Kajian Sosiolinguistik, saya membuat kuisioner yang mengandung ketujuh fungsi umpatan menurut Mbak Elsiyanti. Pertama sebagai fungsi kekesalan, kedua keterkejutan, ketiga kemarahan, keempat keakraban, kelima rasa sakit, keenam penghinaan, dan ketujuh ketidakpercayaan.
Intinya, sifat di atas terbagi menjadi dua, ungkapan positif seperti keakraban, kedua adalah ungkapan negatif seperti kesal, marah, dan lainnya.
Ketujuh fungsi umpatan tadi saya himpun beserta beberapa pertanyaan lain yang kemudian saya tanyakan kepada orang Surabaya asli dan pendatang dengan rentang umur 20 tahun sampai 60 tahun.
Baik, coba saya laporkan hasil survei saya. Saya bagi kelompok responden menjadi tiga. Pertama adalah pemuda pendatang dari Jawa Timur dengan rentang umur 20-30 tahun. Kelompok kedua adalah pendatang dari Pulau Madura dengan rentang umur 30-40 tahun. Kelompok ketiga adalah penduduk asli Surabaya dengan rentang umur 40-60 tahun.
Menurut kelompok pertama yang kebetulan tinggal di Surabaya selama lima tahun lebih, mereka menganggap umpatan jancok lebih sering digunakan karenakan kemudahan kata tersebut untuk diucapkan. “Yo penak wae diucapno,” kata salah satu responden.
Ketika saya tanya arti “jancok,” salah satu responden menjawab bahwa kata tersebut memiliki arti bersetubuh dengan tambahan “jan” yang merupakan sebuah penekanan. “Seperti penggunaannya pada jan goblok, yang artinya memang goblok.”
Pada kelompok ini, ada pula yang mengatakan bahwa jancok adalah singkatan dari “jangan anggap neraka cuma omong kosong” yang diketahuinya dari obrolan teman-temannya semasa sekolah.
Pada kelompok pertama, terdapat satu orang yang tidak terima bahwa jancok bisa digunakan untuk ekspresi keakraban. Kemungkinan memang karena orangtuanya yang begitu ketat mengajarinya perihal penggunaan kata jancuk, atau memang dia sendiri memiliki pendirian seperti itu.
Tetapi, sisanya sepakat bahwa kata jancuk boleh diucapkan dalam tujuh keadaan tadi, baik dalam ekspresi positif untuk keakraban, maupun ekspresi negatif untuk kekesalan.
Pada kelompok kedua yang merupakan pendatang dari Pulau Madura, mereka memiliki pandangan yang cukup tegas terhadap kata ini. Salah satu responden yang profesinya pedagang nasi bebek menganggap kata ini terlampau kasar dan tidak boleh diucapkan. Ketika saya wawancara pedagang tersebut, istrinya tidak berhenti memelototi saya, tampak beliau begitu tidak suka atas proses wawancara saya yang sering mengatakan jancok.
Responden lain yang berprofesi sebagai tukang ojek online juga menilai bahwa kata tersebut cukup keras dan tidak boleh diucapkan. Menurut bapak pedagang nasi bebek, kata tersebut memiliki arti bersetubuh, sedangkan menurut bapak ojek online kata tersebut memiliki arti kemaluan wanita. Sekedar info, keduanya berasal Kabupaten Sampang.
Mereka sendiri baru familiar dengan kata tersebut ketika datang ke Surabaya beberapa tahun yang lalu. Kata mereka, kata-kata tersebut malah sering mereka dengar dari anak-anak sekolah dasar asli Surabaya yang bermain di sekitarnya, di gang-gang kecil perkampungan.
Satu responden yang berasal dari madura swasta (Jember) yang berprofesi sebagai tukang becak bilang kalau dia tidak tahu persis apa arti kata tersebut. Yang dia tahu, jancok itu artinya kasar dan kurang ajar betul kalau diucapkan. Walaupun setelah lama tinggal di Surabaya, dia bisa mentoleransi kalau kata tersebut bisa digunakan untuk ekspresi keakraban.
Pada kelompok ketiga yang merupakan orang Surabaya asli dengan rentang umur 40-60 tahun, mereka sepakat kalau jancuk merupakan kata-kata kasar. Mereka sama-sama familiar dengan kata tersebut sejak umur sekolah dasar. Semua responden bilang jika di masa kecil mereka ketahuan misuh, orangtuanya dengan sigap bakal memberi teguran atau hukuman.
“Bisa langsung ditampar, Mas.” Ujar salah satu responden yang berumur 60 tahun lebih. Para responden dari warga lokal tersebut juga menyayangkan bahwa penggunaan kata jancok di masa sekarang sudah jauh bergeser daripada dulu, jika dulu anak-anak cukup tabu untuk mengatakannya, kini anak-anak sudah biasa saja mengucapkannya di gang-gang dan jalanan.
Perihal arti, tiga dari enam orang mengatakan jika mereka tidak tahu, kedua kalinya saya tanya mengenai arti jancok, mereka tetap mengatakan tidak tahu. Tiga orang yang lain bilang kalau kata tersebut berasal dari nama salah satu tank dengan tulisan “jan cox” di badannya.
Salah satu responden berkata: “Waktu itu, saking kesalnya arek Surabaya dengan Belanda, jika arek-arek melihat tank, mereka akan segera teriak dengan umpatan tersebut.” Kini kata tersebut digunakan turun-temurun sampai sekarang untuk mengungkapkan rasa kekesalan. Soal misuh ala orang Jawa Timuran, nih Mojok kasih panduannya, Panduan Misuh Jawa Timuran, Dijamin Mantap dan Paten.
Jancok adalah kata dari folklore atau tutur yang sudah ada sebelum kemerdekaan
Belum puas dengan wawancara bersama beberapa responden, saya mencoba mencari arti dan sejarah jancok kepada para sejarawan. Setelah berhari-hari mencari lewat media sosial, saya diberi kesempatan bertemu dengan komunitas HVS (History van Surabaya) bersama Cak Wawan (40) dan Mas Taufik (37).
Cak Wawan mengawali: “Dugaanku, jancok itu kata-kata yang lahir di kawasan pelabuhan Surabaya. Namanya pelaut, ya kadang bahasanya kasar, makanya orang Surabaya yang majemuk ini bahasanya kasar, karena kedatangan orang dari banyak tempat itu tadi,” Cak Wawan menghela nafas sejenak.
Menurut Cak Wawan, cuk itu asal-muasalnya dari kata “pukimai” atau “cukimai” yang artinya alat vital wanita. “Pisuh-pisuhane wong pelabuhan kan kasar ya. Kata itu kan menusuk, karena itu barangnya wanita, seperti ngata-ngatain orang tuanya lawan bicara, sehingga umpatannya lebih mengena.”
“Orang Jawa kan suka menambahi awalan atau imbuhan. Kata “jan” sendiri merupakan imbuhan untuk penekanan, contoh kata nakal akan menjadi: jan nakal, kalau enak menjadi: jan uenak. Kata cuk itu tadi ketambahan “jan” jadi jan-cuk,” Cak Wawan mengatakannya dengan lugas.
Kata-kata jancok pun sudah ada sejak zaman kemerdekaan. Ketika ayah Cak Wawan masih hidup, Cak Wawan pernah bertanya tentang asal muasal kata jancok. Menurut beliau, pada tahun 1945 kata itu sudah ada dan memang diucapkan, kala itu ayah Cak Wawan yang turut perang masih berumur 19 tahun.
Perihal asal kata jancuk yang katanya berasal dari nama tank, hal tersebut baru viral sekitar dua tahunan ini. Cak Wawan dan Mas Taufik sepakat kalau jancok jelas bukan dari sana. Dari tulisan, tank itu tertulis jan cox, bukan bukan jancok. Alasan kedua, foto itu tidak diambil di Surabaya, melainkan di Garut.
Setelah saya telusuri, foto di atas diambil pada 23 Oktober 1947 di Garut. Didalamnya terpotret letnan jendral dan kolonel yang melakukan inspeksi pada tank jenis Stuart. Jika dirunut sampai sekarang, hanya dua tank M3A3 Stuart yang masih tersisa di Indonesia, keduanya ada di Pusdikkav (Pusat Pendidikan Kavaleri) di Bandung.
Cak Wawan berujar kembali: “Foto itu diambil di Garut, seandainya jancok itu lahir di sana seharusnya jancok bukan pisuhan wong Surabaya, harusnya orang sana yang vokal mengatakan jancok sehari-hari. Iku aneh.”
“Akhirnya ada ilmu meksologi. Kalau sejarah itu bisa dengan cocoklogi dan gathuklogi, karena sejarah itu mozaik, sumber-sumber digathukno kabeh dicocok-cocokno. Yang nggak boleh itu meksologi, pemaksaan. Sehingga, kalau memang ingin tahu sejarah kata-kata Jancuk, paling gampang, cari orang Surabaya asli umur 80-90 tahun. Apakah waktu itu jancok ada atau tidak,” jelas Cak Wawan.
Sampai sekarang bukti otentik asal muasal jancok memang tidak ada. “Sampean kalau bandingkan Surabaya dan Malang, banyak mana? Banyak orang Surabaya kan walaupun Malang juga ada jancok,” ucap Cak Wawan kembali.
Mas Graham, salah satu anggota HVS yang ikut berdiskusi di samping Cak Wawan pun menyambut: “Rata-rata di luar Surabaya jancok bukan pakai “j”, tapi “d”, itu ada di Nganjuk Jombang, Tulungagung, jadinya dancok. Bisa jadi kalau dulu pakai ejaan lama, tulisannya kan pakai djancok. Jadi, orang awam baca itu kan dari depan, ada “d”-nya. Padahal harusnya kan jancok.”
Asal kata jancuk yang ditarik dari bukti tertulis
Urusan bukti tertulis, Mas Taufik, sang pecinta sejarah yang sampai rela melalang buana ke luar daerah dan situs-situs sejarah mengatakan bahwa dia sendiri belum menemukan kata tersebut di bukti tertulis manapun.
“Ya memang anu sih, nggak ada bukti tertulis, aku nyari belum nemu. Memang folklore. Yang tadi, tank jan cox yang muncul tahun 1947, kavaleri Belanda era agresi militer. Itu pun yang tertulis di situ adalah nama pelukis, seorang seniman bernama Jan Cox dari belanda.” Ujar Mas Taufik.
Untuk seniman bernama Jan Cox ini, beliau lahir di Den Haag, Belanda pada tahun 1919 dan meninggal tahun 1980 di Antwerp, Belgia. Dari rentang waktu hidup beliau, cocok jika dikatakan bahwa beliau memang punya andil di penamaan tank itu. Berikut jika Anda ingin melihat catatan kehidupannya dan beberapa karyanya.
“Rata-rata, waktu itu alat perang biasanya diberi nama. Contoh ada meriam Banteng Blorok. Sama, tank itu diberi nama Jan Cox. Nah, foto tersebut diambil pada tahun 1947, padahal tahun 1945 bapak saya yang berusia 19 tahun sudah tahu kalau ada istilah jancuk.” Cak Wawan menyambut.
Mas Taufik kemudian menceritakan kisah sejarawan berdarah indo belanda bernama Pak Edi Samson. Kata Pak Edi, bahasa misuh itu sudah ada sejak dia kecil, sedangkan Pak Edi Samson sendiri lahir sekitar tahun 1930-an.
“Dari kecil, saya dengar ada itu sejak dulu. Saya lahir, sejak kecil bahasa itu sudah ada.” Mas Taufik coba memperagakan apa yang pernah Pak Edi Samson bilang dulu.
“1930 sampai sekarang dia kan, Pak Edi hidup, tetapi sebelum itu, tahun 1930 Pak Edi belum tahu, makanya aku pelajari. Jujur aku nggoleki dari prasasti kuno sampai sekarang nggak ada bahasa mincuk. Sejak Dyah Balitung, zaman Mataram kuno. Kata dalam kalimat-kalimat di prasastinya itu nggak ada kata mincuk.” Ujar Mas Taufik sembari mengaburkan kata jancuk menjadi mincuk, dikarenakan beliau tidak mau menggunakan kata umpatan itu.
Dalam prasasti yang Mas Taufik pelajari, banyak kata-kata berkonotasi negatif yang sudah tertulis bersamaan dengan artinya, misal kata preman, di situ telah digambarkan penggambaran orangnya seperti apa dan apa yang dia lakukan. Tetapi, kata jancok sendiri tidak disebutkan sampai zaman Majapahit.
Pengandaian kata jancok yang berasal dari kata jamput dan jangkrik pun juga tidak mungkin, karena kedua kata tadi penggunaannya juga baru-baru saja. “Mungkin eksis sekitar tahun 1970. Tapi kalau misuh yang ini, sebelum 1945 sudah ada.” Jelas Mas Taufik.
Mas Taufik pernah tanya ke Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPJB) apakah ada prasasti atau peninggalan di Trowulan yang menyebutkan kata tersebut. “Nggak ada Mas, nggak nemu.” Mas Taufik coba menirukan. Di Bali pun nggak ada kata mincuk kata Mas Taufik.
“Menurut sampean, kira-kira jancok ada sejak tahun berapa Mas?” Saya menyambut.
“Kita berasumsi, hipotesa tahun 1800 kemungkinan, bisa saja mundur lagi.”
Lebih mundur daripada Majapahit, di zaman Raden Pekik melawan Sultan Agung, kata itu juga tidak ada. Sebagai gambaran, ketika zaman Majapahit, pelaut-pelaut Bugis sudah di Surabaya. Pertanyaannya, apakah kata itu muncul setelah Majapahit runtuh lalu berkembang di era Mataram ketika Kadipaten Surabaya eksis, itu juga bisa, sekali lagi hanya sebuah kemungkinan.
“Sabar sek, kalau nanti file data sudah ketemu benar, baru bisa.” Mas Taufik coba menenangkan saya.
Mas Taufik sudah mempelajari prasasti dan bukti sejarah tertulis dari Trowulan, melalang buana ke Yogya-Solo selama 1,5 tahun, lanjut berkeliling ke Blitar, Tulungagung, Kediri, Ponorogo, Madiun, Lamongan, Tuban. Tetapi beliau belum juga menemukan kata jancok.
Membantah asal usul kata jancok yang tersebar di internet
Dalam pencarian saya di internet mengenai asal-muasal kata jancok, terdapat beberapa website yang memiliki isi yang sama, sebut saja ini, ini, dan Sejarah Kata Jancuk: Muncul Gara-Gara Tank Belanda atau Romusha? Pertama versi arab dari kata “da’suk” yang artinya meninggalkan lah kamu. Kedua, Bahasa Belanda dari kata “yantye ook” yang artinya “kamu juga”. Ketiga, Bahasa Jepang dari “sudanco” yang artinya “ayo cepat”.
“Kalau aku nggak sepakat,” Cak Wawan dan Mas Taufik bicara bersamaan.
“Jelas umpatannya untuk kemarahan kok. Shodanco itu level kepangkatan di kemiliteran Jepang dan PETA,” ungkap Cak Wawan.
“Waktu Jepang ke sini, misuh wes ada dari dulu.” Mas Taufik menyambut diiringi gelak tawa. “Kalau Arab, nggak ada bahasa kayak gitu.” Mas Taufik melanjutkan.
“Dan orang Arab sendiri nggak ada pisuhan kayak gitu.” Sela Cak Wawan.
“Kalau versi Belanda Mas?” Saya kembali bertanya.
“Nggak valid, karena itu bukan bahasa kasar. Juga nggak sering orang Belanda ngomong kayak gitu ke orang Indonesia sembari ngamuk,” jelas Mas Taufik. Cak Wawan pun kembali menyambut: “Yang mendekati ya cukimai pukimai tadi.”
“Terakhir Mas, apa dari akronim Marijan Ngencuk?”
“Otak-atik gathuk itu. Bahkan kalimat ngencuk jaman itu nggak ada. Itu mungkin baru muncul 80-an ke atas,” ujar Mas Taufik.
“Kata misuh itu memang perlu dikaji lagi, supaya nggak asal diucapkan. Apa sih maksud kalimat itu. Kata itu memang bisa digunakan ke teman-teman kita yang akrab, tapi kalau di luar, kita lihat dulu konteksnya, lingkupnya seperti apa. Yang penting bisa menempatkan. Kalau misal nggak terima, perkoro Pak!” Tutup Mas Taufik sembari meninggikan kalimat terakhirnya.
Saya cuma manggut-manggut, merasa berdosa karena selama saya di Surabaya, kata itu dengan mudah keluar dari mulut saya.
Astagfirullah, dino iki leren, sesok embuh.
BACA JUGA Ruangbaca, Pasangan Suami Istri yang Bernyanyi untuk Literasi dan liputan menarik lainnya di Susul.