Masjid Pathok Negara Dongkelan merupakan salah satu masjid yang dimiliki Keraton Yogyakarta. Ada banyak cerita dari masjid bersejarah ini, salah satunya pernah dibakar Belanda saat perang Jawa.
***
Area sebelah barat Sungai Gajahwong sebelum perempatan Dongkelan, menyajikan bus-bus pariwisata terparkir di pinggir jalan di hari tertentu. Bersamaan dengan itu, biasanya ada puluhan peziarah masuk ke jalanan kampung. Ya, Kampung Dongkelan Kauman memang dikenal sebagai salah satu destinasi ziarah umat Islam.
Di area perkampungan yang berada di wilayah Kelurahan Tirtonirmolo, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, itu ada pusara Kyai Munawir dan Kyai Ali Maksum. Dua tokoh Islam terkemuka di Yogyakarta, pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Krapyak. Di dalam perkampungan ini juga terdapat Masjid Pathok Negara Dongkelan. Lokasinya berada di tengah pemukiman warga.
Wangsit sang raja
Jika tak cermat, orang mungkin tidak akan mengira bahwa bangunan Masjid Pathok Negara Dongkelan milik Keraton Yogyakarta. Pasalnya, nuansa eksterior masjid tersebut lebih modern. Selain itu, tidak ada kolam di sekeliling masjid sebagaimana masjid kagungan dalem biasanya. Namun, saya meyakini itu semua bukan tanpa alasan.
Selasa (22/3/2022) menjelang dzuhur, saya menapakkan kaki di serambi masjid, nuansa Jawa samar-samar terlihat. Sebuah bedug terletak di pojokkan dengan ukiran bertuliskan tahun 1900. Sementara di tembok terdapat sebuah plakat tanda renovasi bertanggal 6 Juni 1989 bertanda tangan KRT Suryo Padmo Hadiningrat, Bupati Bantul kala itu.
Nuansa jawa baru terasa di bagian dalam. 4 tiang utama dengan umpak dan beberapa tiang lebih kecil begitu mencolok. Belum lagi mimbar yang bentuknya mirip dengan tandu zaman dulu. Nuansa kayu mendominasi area utama masjid ini.
Seperti biasa, sebagaimana masjid lawas, di bagian belakang juga terdapat area pemakaman. Dari luar, siang itu tampak serombongan peziarah sedang berdoa di bangunan sudut makam. Di sisi timur, berdekatan dengan area masjid, terdapat sebuah cungkup kecil.
Masjid yang tadinya tampak sepi tiba-tiba penuh tatkala muazin menggemakan iqamah. Ruangan itu penuh dengan jamaah. Selesai salat, saya sempat mencoba menemui takmir masjid namun gagal. Tiba-tiba saja saya ingat, masjid macam ini punya 2 jenis abdi dalem; abdi dalem kemasjidan dan pasareyan.
“Nah itu rumahnya. Bilang saja mau nyari Pak Ibung,” terang seorang warga.
Seorang pria berbaju peranakan dan berkacamata tebal keluar dari sebuah bangunan joglo yang berada 20 meter di sebelah selatan masjid. Dari pelataran rumah, Masjid Patok Negara Dongkelan tampak ramai selepas salat dzuhur kala itu. Beberapa pedagang keliling beristirahat sambil tiduran di serambi masjid.
Pria yang saya temui bernama Raden Bekel Muhammad Burhanudin (51), salah satu abdi dalem kemasjidan di Masjid Patok Negara Dongkelan. “Wah kebetulan saya juga baru saja pulang dari keraton, jadi bisa ketemu,” sahutnya dengan ramah.
Burhanudin mulai bercerita di selasar joglo. Ia mengatakan bahwa keberadaan Masjid Pathok Negara Dongkelan dimulai dari sebuah wangsit yang diterima Hamengkubuwono I saat berkonflik dengan Pangeran Sambernyawa atau Mangkunegara. Wangsit itu mengatakan bahwa untuk memenangkan konflik, ia harus mencari ayam jago wiring kuning. Ternyata wangsit itu adalah teka-teki.
“Yang dimaksud jago wiring kuning itu ternyata Kyai Zabrudin, ketemunya di pondok pesantren Al-Kahfi Somolangu, daerah Banyumas,” ungkap Burhanudin.
Karena jasanya pada Hamengkubuwono I, maka Kyai Zabrudin diberi tanah perdikan sekaligus jabatan sebagai pathok negara. Dalam versi lain, nama ini disebut sebagai Sayihabuddin atau Syekh Abuddin. Sosok inilah yang pada 1775 membangun Masjid Pathok Negara Dongkelan.
Makam sang kyai beserta keturunannya kini berada di bagian belakang masjid. Komplek ini juga digunakan oleh para abdi dalem yang telah meninggal. “Abdi dalem masjid, baik untuk pasareyan maupun kemasjidan, harus keturunan Mbah Kyai Zabrudin,” demikian terang Burhanudin. Sang abdi dalem menggambarkan sosok ini dengan cara unik: gemar bertengkar. “Tapi bukan karena nakal loh ya.”
Pernah dibakar Belanda
Hampir seratus tahun setelah pembangunan masjid, Perang Jawa pecah di bumi Yogyakarta. Peter Carey dalam Kuasa Ramalan menuliskan betapa Pangeran Diponegoro punya hubungan dekat dengan kelompok-kelompok Islam di sekitar Yogyakarta. Fragmen kisah ini pun bisa disaksikan dalam jejak sejarah Masjid Pathok Negara Dongkelan.
“Pernah dibakar Belanda karena dulu Pangeran Diponegoro saat muda pernah belajar di sini. Yang tersisa tinggal umpak batu,” ucap Burhanudin.
Selepas pembakaran, warga kampung secara swadaya membangun kembali masjid dengan sangat sederhana. Pembangunan lebih besar di bagian utama dilakukan pada tahun 1900 di masa pathok negara terakhir yaitu Kyai Muhammad Imam.
“Atapnya ijuk, serambinya pakai bambu, terus mustakanya pakai tanah liat,” demikian Burhanudin menggambarkannya. Secara bertahap, pada tahun 1948 dibangunlah serambi, lalu direnovasi lagi pada 1972. Di tahun 1989 dibangunlah tembok serambi. Terakhir, renovasi dilakukan pada tahun 2016 untuk mengganti genteng.
Yang sering disalahpahami, nama pathok negara menurut Burhanudin adalah sebuah jabatan di pengadilan surambi. Secara fungsi, itu mirip dengan jabatan hakim. Al kamah al kabiroh, demikian pria yang masih keturunan Kyai Muhammad Imam tadi menyebut.
“Diberi nama demikian ya karena pengadilannya di serambi masjid, bentuknya seperti sarasehan. Kalau sekarang mirip dengan pengadilan agama,” terangnya.
Fungsi masjid semacam ini mencakup peradilan seperti urusan pernikahan, perceraian, dan aneka konflik sosial lain di luar ranah perdata. Sehingga, terang Burhanudin, warga tidak harus membawa masalah tadi ke masjid Gede Kauman karena bisa diselesaikan di Masjid Pathok Negara. Keberadaan Pengadilan Surambi ini disebut Burhanudin masih bisa disaksikan hingga masa pemerintahan Hamengkubuwono VIII.
Keterangan Burhanudin menyoal jabatan pathok negara terakhir dibenarkan oleh Riswinarno (52), Kepala Prodi Sejarah Kebudayaan Islam UIN Sunan Kalijaga. Menurutnya, jabatan ini sudah dihapuskan sejak awal tahun 1900-an. Ia mengatakan, suatu kali ia menemukan arsip dari tahun 1930-an dan di dekade itu telah tidak ada lagi jabatan tersebut.
Sementara menyoal pengadilan surambi, Riswinarno mengatakan ini sebagai dampak pengembangan wewenang secara non-formal dari si pemegang jabatan pathok negara. Sebagai tangan kanan keraton, pathok negara kemudian punya kewenangan dan mendapatkan kepercayaan dari warga sekitarnya. Sehingga, seperti kata Burhanudin, permasalahan di sekitar tempat tinggal pejabat pathok negara bisa diselesaikan di masjid.
Riswinarno juga menambahkan, jabatan ini agak spesial karena tidak seperti jabatan lain. Status pathok negara selalu diberikan kepada orang dengan latar belakang agama yang kuat. “Jadi status ini diberikan ke ulama sebagai wujud balas budi atas bantuan mereka terhadap raja, tidak diberikan ke sembarang orang,” terangnya.
Kisah di balik nama masjid
Ada jejak sejarah nan panjang di masjid berusia 247 tahun ini hingga membentuknya seperti sekarang. Burhanudin membenarkan bahwa sudah lama sekali kolam di bagian depan masjid tidak difungsikan. Keberadaan serambi yang tertutup tembok pun sebenarnya ia sayangkan. Katanya, itu bermula dari seorang donatur yang ingin merenovasi masjid namun tidak tahu sejarah dan filosofi bangunan.
“Serambi itu lambang habluminannas, manusia dengan manusia. Bagian dalam itu habluminallah, manusia dengan Tuhan,” ucap Burhanudin menjelaskan. Katanya, serambi itu pernah hendak dikembalikan lagi ke bentuk semula namun mendapatkan penolakan dari beberapa warga.
Bangunan masjid sendiri, baik ukuran maupun bentuknya, menurut Burhanudin sama dengan bangunan aslinya di masa lalu. Tentu saja bagian serambi yang tertutup tadi menjadi pengecualian. Salah satu benda paling tua di masjid ini adalah bedug di bagian serambi yang berasal dari tahun 1900. Ada pula bekas mustaka tanah liat yang disimpannya di rumah.
Mustaka bergaya serupa jamak ditemukan di berbagai masjid milik keraton seperti di Kauman hingga masjid di komplek Makam Auliya Gunungpring, Muntilan. “Gada yang ditengah itu melambangkan huruf alif. Di sekelilingnya ada daun kluwih, melambangkan kaluwihan (kelebihan), di bagian samping juga ada kembang gambir.”
Tata kelola masjid tua ini kini berada di tangan abdi dalem kemasjidan dan juga takmir. Selain itu, ada pula abdi dalem pasareyan. Total abdi dalem di masjid ini ada 10 orang. Di hari tertentu, ada acara khusus dari keraton seperti saat peringatan berdirinya keraton. “Kemarin ada hadrohan ketika peringatan hadeging negeri,” terang Burhanudin.
Dalam beberapa sumber, masjid ini sering disebut sebagai Masjid Nurul Huda. Menurut sang abdi dalem, nama ini tidak lepas dari himbauan pemerintah Orde Baru pada dekade 70-an agar masjid-masjid di Indonesia mempunyai nama dalam bahasa Arab. Mau tidak mau, nama masjid ini ikut berganti.
Hingga, pada 2011 salah satu kerabat Keraton Yogyakarta yaitu Romo Tirun atau KRT Jatiningrat mengadakan safari Jumatan ke masjid ini. Ia lantas meminta nama masjid dikembalikan lagi ke versi terdahulu yaitu Masjid Pathok Negara Dongkelan. Nama itulah, yang hingga hari ini digunakan.
Reporter: Syaeful Cahyadi
Editor: Purnawan Setyo Adi