Masjid Agung Surakarta merupakan salah satu masjid tertua di kota Solo. Masjid ini punya daya tarik tersendiri. Selain karena sejarahnya, selama puluhan tahun masjid ini menggelar salat tarawih 11 dan 23 rakaat secara bersamaan.
***
Azan Isya berkumandang di kawasan Masjid Agung Surakarta di hari pertama puasa bulan Ramadan. Jamaah berbondong-bondong masuk ke masjid untuk menunaikan salat Isya dan dilanjutkan dengan salat tarawih.
Di sisi utara masjid, beberapa kelompok anak laki-laki berlarian ke arah masjid. Tak lupa sarung yang dikalungkan di leher menjadi sarana utama mereka untuk ikut salat. Diiringi canda dan tawa mereka berebutan menggunakan kran untuk berwudu kemudian menuju masjid.
Di bagian dalam masjid, salat sudah dimulai. Imam melantunkan ayat alquran dengan merdu. Jamaah mengikuti salat dengan khusyuk. Jamaah laki-laki menempati bagian ruang utama masjid. Sementara untuk jamaah perempuan terbagi menjadi dua, ada di bagian serambi dan di bagian pawestren.
Hari pertama salat tarawih, hanya ada sekitar 200 jamaah. Meski sudah banyak pelonggaran dari pemerintah, jamaah Masjid Agung belum kembali normal. Padahal masjid ini memiliki kapastitas 1.000 orang jamaah. Di masa pandemi, takmir masjid juga masih memberikan pembatasan bagi jamaah dan menerapkan protokol kesehatan.
Tarawih selesai untuk salat 8 rakaat, kemudian dilanjutkan dengan salat witir 3 rakaat. Dalam momen ini imam utama digantikan untuk sementara. Sebagian jamaah mengikuti salat witir. Sebagian lainnya menunggu dengan khusyuk. Setelah salat witir, imam utama kembali memimpin salat dan jamaah lain yang sudah menunggu kemudian melanjutkan salat tarawih untuk 20 rakaat dan menutupnya dengan witir.
Kebiasaan salat tarawih semacam ini sudah lama dilakukan di Masjid Agung Surakarta. Ketua Takmir Masjid Agung Surakarta, Muhtarom, mengatakan kebiasaan salat tarawih dengan dua metode ini dilakukan untuk melayani seluruh jamaah, baik yang ingin salat 8 maupun 20 rakaat di Masjid Agung Surakarta.
“Caranya ya seperti itu. Salat tarawih dulu delapan rakaat, kemudian dilanjutkan witir dengan digantikan imam lain. Namun kalau ada jamaah yang ingin 20 rakaat, salat tarawih dilanjutkan imam yang sebelumnya hingga penutupan witir,” kata Muhtarom.
Muhtarom sendiri tak tahu kapan tepatnya tradisi salat tarawih 8 dan 20 rakaat ini dilakukan bersamaan ini dimulai. “Saat saya bergabung dengan takmir masjid tahun 85, tradisi ini sudah ada,” katanya.
Sebagaimana diketahui, di Indonesia untuk salat tarawih 8 rakaat identik dengan warga Muhammadiyah. Sementara untuk yang 20 rakaat identik dengan warga Nahdlatul Ulama (NU).
Lalu, Masjid Agung Surakarta melayani keduanya. Baik jamaah yang ingin menunaikan salat tarawih 8 rakaat dan salat tarawih 20 rakaat. “Sejak dulu masjid Agung itu kan masjidnya keraton. Keraton dulunya yang punya pemerintahan,” katanya.
Namun menurut Muhtarom, perbedaan salat tarawih ini tidak terjadi semasa pemerintah keraton Kasunanan Hadiningrat. Sebab pada zaman keraton, kehidupan keagamaan juga dikendalikan oleh keraton. Perbedaan ini baru muncul setelah kekuasaan keraton Kasunanan Surakarta melemah.
“Ya sekitar tahun 70-an di mana fungsi keraton sudah melemah. Muncul berbagai pendapat, termasuk salat tarawih 8 rakaat ini. Makanya hal ini diakomodir oleh para takmir masjid. Kalau dulunya saat zaman keraton, semua dikendalikan oleh panatagama keraton,” ucapnya.
Budaya mengikuti aturan dari pemerintah ini juga berlanjut hingga saat ini. Saat ada perbedaan keputusan tentang masuknya bulan Ramadan, Masjid Agung selalu menggunakan keputusan pemerintah. “Ya dulu pemerintahnya keraton. Sekarang kan ya pemerintah. Makanya keputusannya kami ikut pemerintah,” katanya.
Awalnya perbedaan tentang jumlah rakaat dalam tarawih ini tidak serta merta diterima begitu saja. Banyak selisih pendapat di kalangan masyarakat dan jamaah. Hal ini membuat takmir masjid berinisiatif untuk melayani salat tarawih 8 dan 10 rakaat di waktu yang sama dan bergantian.
Membaca Al-Quran satu juz
Hal lain yang menjadi tradisi di lingkungan Masjid Agung Surakarta adalah tiap salat tarawih, imam akan membacakan bacaan salat dari Al-Quran hingga satu juz. Ide ini muncul karena ada pondok pesantren Tahfidz Wata’limil Quran yang ada di lingkungan masjid.
Selain sebagai bentuk kaderisasi dan syiar di masjid Agung Surakarta, tarawih dengan bacaan salat 1 juz ini juga mendidik masyarakat agar familiar membaca atau mendengar Al-Quran.
“Pahala untuk yang membaca dan mendengar Al-Quran kan sama,” katanya.
Terkait bacaan salat yang menggunakan 1 juz ini, awalnya hanya digunakan bagi jamaah yang salat 20 rakaat. Sebab dulunya salatnya terpisah dengan imam masing-masing. Namun di tahun 2013 ada inisiatif untuk menggabungkannya.
“Makanya sekarang digabung saja, semuanya ikut yang bacaan Al-Quran satu juz. Biar mengedukasi masyarakat juga agar lebih dekat dengan Al-Quran,” ucapnya.
Selain tujuan di atas, juga untuk melatih murid pesantren hafalan Al-Quran. “Jadi biar mereka bisa lebih lanyah (lancar) lagi hafalannya,” kata Muhtarom.
Jamaah Masjid Agung Surakarta ini tidak hanya warga Solo saja. Banyak warga luar kota yang juga singgah untuk salat di masjid ini. Apalagi masjid yang berusia 254 tahun ini memiliki daya tarik tersendiri karena karena usianya.
Salah satu warga yang singgah ke masjid Agung yakni Eliana (32) warga Purwokerto. “Kebetulan saya di Solo sedang ada acara. Tadi ada urusan di dekat sini dan sekalian salat tarawih. Kebetulan ini kedua kalinya saya salat tarawih di sini,” katanya.
Terkait masjid agung yang melaksanakan salat tarawih 8 dan 20 rakaat ini, menurutnya bagus untuk menjembatani perbedaan. “Saya biasanya kalau di rumah salatnya 20 rakaat. Dulu saya ikut sampai 20 rakaat. Tapi karena ini saya agak diburu waktu, saya ikut yang 8 rakaat. Buat saya nggak masalah, semuanya ibadah itu baik,” katanya.
Reporter: Novita Rahmasari
Editor: Purnawan Setyo Adi