Kue kipo konon kabarnya sudah ada sejak zaman Mataram Islam. Kue ini pernah hilang dari peredaran sampai kemudian pada tahun 1946 dikenalkan kembali oleh seorang warga di Kotagede.
***
Jarum jam baru menunjukkan pukul satu dini hari, waktu terbaik bagi banyak orang untuk terlelap dalam mimpinya masing-masing. Udara malam memang sedang dingin-dinginnya, membuat siapapun akan malas bangun dari kasur dan keluar dari selimutnya. Tapi tidak untuk Istri Rahayu (55), harinya dimulai lebih awal dari kebanyakan orang. Ia bersiap untuk membuat kue kipo, kudapan legendaris khas Kotagede yang kian langka.
Istri Rahayu adalah satu dari sedikit pembuat kue kipo. Warungnya ada di Jalan Mondorakan No. 27, Prenggan, Kotagede, tak jauh di sebelah barat Pasar Legi Kotagede. Nama warungnya: Kipo Bu Djito, yang tidak lain adalah nama ibunda dari Istri Rahayu.
Istri terbangun ketika kota tertidur. Dia bergulat dengan tepung ketan, kelapa, serta gula merah, yang merupakan bahan utama kudapan ini. Sepasang tangannya yang makin menua, justru makin luwes. Tiap langkah dilakukan seperti sudah di luar kepala.
Tak ada peralatan canggih di dapurnya. Hanya ada kompor gas yang di atasnya terdapat semacam cobek dari tanah liat dengan diameter sekitar 30-an cm. Cobek itu dipakai sebagai tempat Rahayu memanggang adonan. Sebetulnya bisa saja memakai oven atau teflon, tapi menurut dia cobek dari tanah liat memiliki kemampuan menghantarkan panas lebih stabil ketimbang alat berbahan logam.
“Dulu pakai anglo, tapi kurang besar. Kalau pakai ini (cobek), bisa muat hampir 30 biji sekali panggang,” ujar Istri Rahayu, Sabtu (12/12).
Menurut dia, alat pemanggang dari tanah liat juga akan memberikan cita rasa dan aroma tersendiri yang unik, ketimbang alat dari logam yang lebih modern. Tak heran, siapapun yang lewat warungnya pada dini hari akan menelan ludah karena mencium aroma sedap dari kue kipo yang sedang dipanggang.
Dalam semalam, rata-rata dia memproduksi antara 200 sampai 300 bungkus, dimana setiap bungkusnya berisi lima buah kue. Jika ada pesanan partai besar, dia bisa memproduksi hingga 800 bungkus dalam semalam. Baru ketika adzan subuh berkumandang, Istri Rahayu selesai membuat kue. Tapi bukan berarti dia bisa istirahat, karena dia harus segera bersiap untuk membuka warungnya. Jam lima subuh, dia sudah mulai berjualan.
“Sebenarnya dibantuin juga sama dua menantu saya, tapi mereka bikinnya di rumah masing-masing, setelah jadi baru dibawa ke sini buat dijual,” kata Istri Rahayu.
Konon, sudah ada sejak Mataram Islam
Konon, kue kipo sudah ada sejak era Mataram Islam. Istri Rahayu tak menampik kemungkinan itu, pasalnya lokasi Kotagede memang tak jauh dari pusat kerajaan Mataram Islam. Namun, entah bagaimana sebabnya, kudapan berukuran mungil dan berwarna hijau ini sempat menghilang.
“Ceritanya seperti itu, tapi saya juga belum pernah baca sejarahnya langsung,” kata Istri Rahayu.
Setelah sekian lama menghilang, tahun 1946-an, kue ini kembali muncul berkat Mangun Irono, yang tidak lain adalah simbah dari Istri Rahayu. Dia berjualan di depan rumahnya, dibantu oleh Djito Suharjo, yang kemudian namanya diabadikan sebagai merek dagang kipo paling tua yang ada di Kotagede sampai saat ini.
Posisi rumah mereka yang berada di tepi jalan dan di depan pegadaian, membuat banyak orang cukup ramai datang ke warung mereka. Bentuknya yang lucu dan warna yang menarik, membuat orang-orang penasaran dan ingin mencobanya.
“Mereka pada tanya, iki opo (ini apa)? Dari situlah dinamai kipo, dari kata iki opo,” jelas Rahayu dengan antusias.
Sebagai generasi ketiga yang melanjutkan bisnis keluarga, Istri Rahayu mulai menakhodai Kipo Bu Djito pada 1993. Namanya bisnis, pasti ada pasang-surut. Eksistensi kipo mulai bergairah sekitar 1987-an, ketika Istri Rahayu dan ibunya mengikuti sebuah pameran kuliner yang diselenggarakan di Ambarukmo Sheraton, kini bernama Ambarukmo Plaza.
“Sejak saat itu mulai banyak yang tahu, meskipun enggak seterkenal bakpia ya,” ujarnya.
Sejak dikelola oleh Mbah Mangun, sampai kini dikelola oleh Istri Rahayu, lokasi tempat mereka jualan tak pernah pindah. Semua anak dan menantu Istri Rahayu juga sudah mahir membuat kudapan kenyal yang berisi kelapa parut dengan gula merah itu.
Hanya tersisa 10-an pembuat kipo padahal laris manis
Belum genap jam 12 siang, tapi Kipo Bu Djito sudah ludes terjual. Sebulan terakhir, penjualan kue ini mulai bergairah lagi setelah babak belur dihajar pagebluk. Sebelumnya, bisa menjual 30 bungkus saja sudah syukur.
“Hari ini bikin 300 bungkus, Alhamdulillah sudah habis,” ujar Istri Rahayu.
Satu bungkus kue yang dibungkus daun pisang dilapisi kertas dengan tulisan ‘Kipo Bu Djito’, berisi lima buah kue kipo. Tiap bungkusnya dijual dengan harga Rp 2.500.
“Omzetnya ya dikalikan aja, Rp 2.500 dikali 300, kalau sebulan tinggal dikali 30,” jawab Rahayu malu-malu ketika ditanya soal pendapatannya.
Artinya, dalam sebulan omzet Kipo Bu Djito mencapai Rp 22,5 juta dalam sebulan dengan asumsi penjualan 300 bungkus per hari. Jika ada pesanan partai besar, omzetnya tentu lebih besar lagi. Meski terdengar menggiurkan, namun tak banyak orang yang tertarik membuat kue ini dan menjualnya. Sampai sekarang, para pembuat yang tersisa juga hanya ada di sekeliling warung Kipo Bu Djito di Jalan Mondorakan.
“Paling sekitar 10 keluarga yang bikin, enggak banyak,” ujarnya.
Padahal, Istri Rahayu juga terbuka pada siapa saja yang ingin belajar membuat kipo. Tak ada yang namanya resep rahasia, dia tidak takut nantinya bakal ada pesaingnya, prinsipnya klasik: rezeki enggak akan tertukar. Dia justru akan sangat senang jika semakin banyak orang yang mau belajar membuat kipo. Rahayu tak mau, makanan legendaris Kotagede itu perlahan punah karena tak ada lagi yang bisa membuatnya.
“Semakin banyak yang bisa bikin, saya justru semakin senang, biar orang juga tahu kalau Jogja enggak cuman punya bakpia atau gudeg, tapi juga punya kipo,” ujar Istri Rahayu.
Telaten dan sabar harga mati
Karena Kipo Bu Djito sudah ludes terjual, Istri Rahayu menyarankan untuk membeli ke warung lain di sekitarnya. Kipo Bu Mul, yang berada di belakang Kipo Bu Djito saya tuju pertama. Pintunya sudah setengah tertutup, lagi-lagi jawaban yang sama saya terima.
“Sudah habis, mas. Maaf ya,” kata penjaga warung tersebut.
Saya menuju ke seberang Kipo Bu Djito, di sana ada warung Kipo Bu Amanah. Lagi-lagi, kue yang mereka jual juga habis. Tanjung Sri Amanah (50), pemilik Kipo Bu Amanah, dulu juga bekerja membantu Bu Djito membuat kipo. Menurut dia, salah satu faktor tak banyak orang mau membuat kipo karena proses pembuatannya yang membutuhkan kesabaran ekstra tinggi, terutama saat memanggangnya.
“Sebenarnya bikinnya gampang, tapi kan harus sabar dan telaten, soalnya manggangnya kan harus satu-satu,” kata Tanjung Sri Amanah.
Apalagi pembuatan kue ini biasanya dilakukan pada dini hari, sehingga harus melawan dingin dan kantuk. Rasa kantuk ini yang kerap kali merusak konsentrasi, terutama saat proses pemanggangan. Padahal, proses pemanggangan ini akan sangat menentukan aroma dan cita rasa. Kematangannya harus pas.
“Kalau sambil ngantuk sering gosong, makanya sering ada kipo yang rasanya agak pahit, terus kalau enggak sabar biasanya ada yang kurang mateng,” ujarnya.
Sebenarnya bisa saja pembuatan kipo dilakukan lebih modern dengan peralatan yang lebih canggih. Namun menurut Amanah, rasa dan aroma yang dihasilkan pasti akan berbeda dengan kipo yang dibuat dengan cara tradisional. Selalu ada harga yang harus dibayar dari setiap perubahan.
“Orang dulu kan ngapain aja ada alasannya, termasuk bikin makanan. Setiap prosesnya pasti juga sudah diperhitungkan biar dapat hasil yang paling baik,” pungkas Tanjung Sri Amanah.
BACA JUGA Sari Ilmu, Toko Buku Tertua di Yogya yang Mencoba Bertahan Hidup dan liputan menarik lainnya di Susul.