Tikno (32) tidak bisa melupakan peristiwa yang menimpa ayahnya sekitar 20 tahun silam. Ayahnya, sebut saja Cak Sabung, dikeroyok penonton usai memimpin pertandingan sepak bola antarkampung atau tarkam di Bantul. Usai babak belur, atas desakan keluarga, ayahnya berhenti jadi wasit tarkam. Aktivitas yang sebenarnya membuat bahagia ayahnya.
“Di Bantul itu sama saja seperti di daerah lain, gila bola!” begitu kata Tikno (32) saat menceritakan kisah Cak Sabung, almarhum ayahnya yang merupakan langganan wasit tarkam di desanya. “Saking gilanya, kadang jadi gila beneran!” seru Tikno.
Tikno menceritakan sosok ayahnya yang pernah jadi langganan pemimpin pertandingan kelas tarkam. “Karena bapak saya itu kenal semua orang, dianggap paling bijak,” kata Tikno. Maka, jadilah Cak Sabung langganan wasit pertandingan kelas tarkam.
Cak Sabung juga berkali-kali memimpin laga dengan gemilang. Bisa dikatakan, tanpa cela. Ketegasan dan juga sikap yang baik menjadi kunci untuk menjadi wasit kelas tarkam. “Bertahun-tahun lancar, namun tidak dengan sore yang mendung itu,” kata Tikno.
Ketika Tikno berumur sepuluh, di sebuah sore terjadinya pertandingan Desa A dan Desa B, lagi-lagi Cak Sabung dipercaya jadi wasit. “Seperti biasa, ibuku selalu sambat Bapak jadi wasit karena nggak ada duitnya. Tapi sore itu firasat ibu ada yang janggal,” cerita Tikno.
Ibunya Tikno memiliki perasaan nggak enak. “Seperti mau ada kejadian yang enggak-enggak. Simbok bahkan bilang begini kepada bapak, ‘Pak, mbok nggak usah jadi wasit lagi saja. Sudah bayarannya kecil, dapat caci maki pula. Kok ya perasaan Ibuk nggak enak,’” katanya sembari mengenang, mengikuti logat bicara ibunya.
Tikno mengumpulkan memori dalam ingatannya, ia melanjutkan, “Soal uang, ibuk benar. Bapak selama jadi wasit dalam satu pertandingan, paling banter diberi beberapa lencer Djarum Super. Bayangkan saja.” Tikno juga berkata bahwa harga satu lencer Djarum Super, di tahun 2000-an, berkisar 75 rupiah. Cak Sabung ikhlas lantaran menjadi wasit tarkam, ia mendapatkan kebahagiaan.
“Tapi kebahagiaan nggak bikin kenyang, Pak. Nggak juga bikin aman,” kata Tikno, mengatakan persis seperti apa yang dikatakan ibunya dua puluh tahun silam.
Cak Sabung sore itu, di awal pertandingan tarkam memang menjanjikan, namun kekhawatiran istrinya berbuah juga. Penonton dari Desa B marah karena menganggap Cak Sabung jadi wasit yang berat sebelah. Sudah memasuki waktu Magrib, Cak Sabung tak kunjung meniup peluit sampai Desa A memasukan bola dan menjadi penentu kemenangan. 2-1 untuk Desa A.
“Entah itu sudah masuk menit ke berapa. Lebih dari sembilan puluh menit waktu normal, tentu saja. Saya nggak tahu bapak mikir apa,” terang Tikno. Beberapa massa pendukung Desa B mulai meneriakan pisuhannya. Ibunya Tikno tentu saja panik bukan kepalang.
“’Bapaaak… Bapaaaak…’ begitu teriak Ibu ketika berada di utara lapangan desa. Dia nggandeng saya, berteriak-teriak amat kencang,” kata Tikno. Suara Ibunya Tikno kalah kencang di saat Cak Sabung sudah mulai dikejar-kejar oleh massa pendukung Desa B di lapangan. Kemudian dihajar ramai-ramai.
Ini hanyalah salah satu penggalan nasib nelangsa wasit di Indonesia. Cak Sabung memang bukan wasit profesional. Bahkan ia nggak pernah ikut kursus wasit apapun. Namun, apakah status profesionalitas dan kursus wasit menjadi jaminan keselamatan mereka selama memimpin sebuah pertandingan sepak bola?
Inilah liputan dari Mojok.co yang menemui beberapa dari mereka yang masih menyimpan gairah menjadi wasit sepak bola, sedang menekuni profesi wasit, dan mereka yang kapok jadi wasit.
Ribetnya cari lisensi wasit
Arif (24) penulis sekaligus pengamat sepak bola Bantul, ketika saya temui di kediamannya ia menyimpan hasrat dan ketertarikan untuk menjadi wasit, namun ada beberapa keraguan dalam benaknya. Ia mengatakan, “Kok saya takutnya sama mafia, ya?” Senyumnya menyeringai, matanya melirik tajam.
Ia mengatakan, selain ngeri sogokan mafia yang pasti menggiurkan dan meruntuhkan iman, ia juga ngeri kekerasan verbal yang acap kali masih terjadi di kubu suporter sepak bola negeri ini. “Rumahku sak nyuk-an dari stadion. Sering datang berziarah ke episentrum sepak bola tersebut. Sering juga mendengar teriakan pisuhan yang dilayangkan kepada wasit. Aku jadi takut sama pisuhan-pisuhan itu,” terang Arif.
Arif yang sering menulis perihal sepak bola Indonesia di berbagai media juga berkata bahwa alasan bar-barnya suporter Indonesia bukan hanya satu-satunya problem. “Sepak bola itu olahraga nomor satu, namun kompetisi usia dini bagai mimpi,” katanya.
Menurut Arif, kompetisi jenjang usia muda bukan hanya menguntungkan pemain, namun juga profesi wasit. “Terkhusus wasit-wasit yang memiliki kursus C3—kursus dengan level paling rendah,” terang Arif dengan membuka buku tulis miliknya sebagai catatan.
Lebih gamblang, Arif mengatakan bahwa jadi wasit itu ada alurnya. Pertama, kursus kepelatihan C3, yakni tingkatan kabupaten atau kota. Wasit yang lulus kursus C3 ini hanya boleh memimpin laga-laga amatir dan jenjang usia muda. Semisal ada kompetisi usia U-12, jelas akan banyak lapangan pekerjaan bagi wasit C3.
“Toh, yang ngurusin C3 itu Asprov dan Askot, jadi harusnya ada simbiosis mutualisme antara mereka dengan wasit. Kan tujuan utamanya mencetak bibit hebat sejak usia muda,” pungkasnya.
Nggak adanya kompetisi usia muda menjadikan Arif berpikir ulang untuk meneruskan cita-citanya jadi wasit. “Kalau kompetisi jelas, mau itu wasit C3 pun pasti aman karena akan banyak laga untuk dipimpin,” katanya.
Arif menambahkan, wasit baru bisa naik ke C2 setelah lulus dari kursus C3. “Nah, C2 ini baru bisa mimpin laga-laga tingkat provinsi,” katanya dengan bersemangat. Arif mencontohkan bahwa Liga 3 Zona DIY antara Persiba Bantul dan PS. Tunas Ngaglik, baru bisa dipimpin oleh wasit C2.
Setelah lulus dari C2, wasit baru bisa meneruskan ke lisensi C1 guna memimpin laga-laga nasional. “Nah, kendalanya satu lagi, aku nggak ada background bal-balan selain jadi penulis perihal sepak bola,” kata Arif. Laki-laki yang juga pernah menulis untuk PanditFootball ini bilang, Direktur Wasit PSSI, Efraim Ferdinand pernah bilang kepada Indosport bahwa memang semua orang boleh mengambil C3, namun paling tidak punya latar belakang pemain sepak bola.
Di lain waktu, saya berbincang dengan salah satu mahasiswa Fakultas Ilmu Keolahragaan UNY, Donny (24). Ia mengatakan bahwa sebenarnya berprofesi sebagai wasit itu amat seksi di matanya. “Sebenarnya menarik, namun kerjanya nggak tentu dan juga harus lisensi berkelanjutan,” katanya.
Sama seperti pendapat Arif, berlisensi kelanjutan dari C3 ke jenjang berikutnya yang bikin Donny sedikit muntir. “Setidaknya harus ada kompetisi tingkat Askab (Asosiasi Kabupaten bagi PSSI), lah. Wasit C3 kadang nggak dianggap,” katanya.
“Kalau C3, lingkupnya kurang luas,” jelas Donny. Jika tidak ada kompetisi tingkat kabupaten, wasit C3 kurang mendapatkan tempat untuk menambah pundi-pundi rupiah. Wasit C3 mendapatkan tambahan penghasilan ketika disewa jadi wasit dalam laga ujicoba klub amatir atau malah jadi wasit di fun game. “Setiap memimpin ujicoba seenggaknya dapat 50 sampai 100 ribu rupiah per laga,” kata Donny.
Selain masa depan, Donny juga berkisah mengenai alur untuk dapat C3 yang susah-susah gampang. “Sebenarnya bebas, mau dari Fakultas Filsafat pun bisa. Tapi kan harus ada surat rekomendasi dari Askab,” terangnya.
Donny mencontohkan, semisal mau daftar kursus C3, maka dirinya harus mendapatkan surat rekomendasi dari Askab. Entah pernah jadi wasit di tingkat rendah, atau kegiatan lainnya. Setelah dapat rekomendasi dari Askab, programnya dari tingkat yang lebih tinggi.
Donny yang kini sering bermain untuk klub-klub daerahnya pun punya alasan yang sama dengan M. Arif perihal menolak menjadi wasit. “Risikonya gede.” Donny mengatakan bahwa jadi wasit itu layaknya film Warkop, Maju Kena Mundur Kena. “Kalau salah-salah, bisa nggak dipakai lagi sama komisi wasit, kan, repot,” tutupnya.
Nelangsanya jadi wasit: saling sikut, sogokan dan pengaturan mafia
“Kekuatan orang dalam is real!” kata Wahyu*. Ia masih aktif menjadi wasit dan terlibat dalam proyek Liga 3 Jawa Tengah. Laki-laki yang memiliki kursus C1 ini mengatakan bahwa saling senggol dan sikut di dunia wasit, sudah bukan barang baru. “Kalau wasit mau promosi dari Liga 3 ke Liga 1 dengan cepat, ya minimal punya koneksi lah. Kalau nggak ya bakal lama memimpin pertandingan di Liga 3,” tuturnya.
Itu fakta lapangan bagi wasit Liga 3 di Indonesia. Mengutip kata Wahyu, makin bawah stratanya, makin menyeramkan. Saya pun mencari informasi tambahan perihal wasit dalam strata laga paling rendah di Indonesia, yakni liga-liga tarkam. Saya bertemu dengan Ponadi*. Ia awalnya kaget ingin saya tanyai perihal dunia wasit. “Sudah pensiun, Mas,” katanya. Nampak ia menyimpan traumatik tersendiri.
“Kadang, saya agak takut bahas wasit. Nyawa bisa jadi taruhannya, Mas,” kata Ponadi, bukan nama sebenarnya, ketika ditemui di rumahnya. Ia merupakan langganan wasit tarkam di sebuah desa yang tim sepak bolanya rajin menang piala 17-an tingkat kecamatan.
Ponadi secara gamblang bilang bahwa ada beberapa tim yang ingin dimenangkan. “Bahkan saya diberi uang di muka. Kalau nggak menang, saya kena imbasnya,” tuturnya. Saya bertanya, imbas apa yang ia maksudkan. Laki-laki yang berprofesi asli sebagai penjual batik ini hanya tersenyum dan menyuguhi minuman untuk saya.
Ponadi mengatakan bahwa yang memberi uang tersebut adalah bandar-bandar judi yang akan memasang lapaknya di pertandingan tarkam tersebut. “Bisa dibayangkan, kan. Ketika saya jadi wasit, di luar lapangan pada urun duit,” jelasnya.
Setelah strata tarkam, saya hendak coba mencari satu wasit lagi yang kedudukan hierarki lebih tinggi dari tarkam, yakni wasit turnamen yang memiliki kursus C3. Wawan* namanya. Wasit kursus C3 yang malang-melintang memimpin jalannya laga pada piala-piala pelajar ini memiliki jawaban yang berbeda. Katanya, “Nggak ada (sogokan dan mafia, red). Selama dua tahun di event resmi tidak pernah menemukan hal-hal curang seperti itu.”
“Sepak bola Indonesia ki medeni,” kembali ke Wahyu, wajah wasit pemegang kursus C1 itu nampak tegang ketika bercerita perihal kerasnya Liga 3. Ia juga pernah menjadi wasit pada laga Divisi 1 (sekarang bernama Liga 2) dan memang tidak jarang ditemukan kejanggalan.
“Contohnya ketika Persita melawan Kalteng Putra tahun 2018. Persita dibeleh di situ. Coba sekarang dicari wasitnya, lha sudah pasti nggak ada,” katanya, matanya terus menatap saya dengan tajam.
“Kenapa kok wasitnya nggak ada ketika dicari, Mas?” tanya saya. Wahyu menjawab, karena wasitnya sudah habis masa tugasnya.
“Karena sudah tua dan nggak naik-naik jadi wasit Liga 1, biasanya cari tambahan pensiunan!” seru Wahyu.
Dalam skala lebih kecil, yakni tarkam, Ponadi menjelaskan bahwa sogokan kepada wasit di tarkam lebih terang-terangan lagi. “Ada jam-jam tertentu. Biasanya Tim Desa A datang ke rumah saya jam 8 malam. Lalu sudah pasti satu jam berikutnya Tim Desa B datang. Mereka memberikan uang. Saya hanya diam dan menerima,” katanya.
Ponadi bukan menimang siapa yang memberi lebih banyak, namun menimang risiko mana yang paling kecil kemungkinannya. “Biasanya sih makin besar pemberian, makin ngeri ancamannya. Mereka nggak ngomong secara langsung. Tahu sama tahu lah,” tutur Ponadi. Ia mencontohkan, kalau sepuluh juta uang di tangan, risikonya bisnis yang kita bangun di desa itu jadi tersendat.
“Berarti, bisnis batik Mas Ponadi di desa ini tersendat karena masalah seperti itu?” tanya saya. Ia buru-buru meluruskan. Katanya, penjelasan di atas hanyalah contoh, bukan kisah nyata dirinya.
“Saya nerima sogokan yang kalau bisa sih saya nggak mati setelah pertandingan,” pungkasnya dengan getir. Sembari nyumet rokok, laki-laki yang kira-kira berusia empat puluh ini banyak berkeluh kesah bahwa kultur sepak bola Indonesia sudah tidak sehat bahkan sejak dalam level tarkam.
“Kawan saya bahkan kadang lebih parah,” Ponadi menuturkan. Katanya, ada kawannya di provinsi sebelah yang bahkan sampai diberi mobil. Bagi mereka, sepak bola antardesa itu taruhannya sudah harga mati. Ada legasi, ada juga agenda politik para politikus kelas teri di desa-desa yang memanfaatkan sepak bola sebagai kuda pacunya.
Mendengar cerita saya perihal Ponadi wasit level tarkam, Wahyu menyambut setuju. Katanya, hal-hal seperti ini sejatinya menyakiti hati wasit-wasit yang jujur. “Wasit yang mau berbenah, terpaksa musnah,” terangnya.
Kekerasan pada wasit dan masyarakat yang tak paham aturan sepak bola
Wawan yang memiliki kursus C3 berkisah bahwa kejadian lucu acap kali terjadi selama ini memimpin laga liga pelajar. Katanya, “Ketika pemain jatuh sendiri (diving, red).” Setelah kejadian diving itu, ia menerima makian dari penonton karena nggak memberikan penalti. “Caci maki dari penonton itu konsekuensi jadi wasit, Mas,” terangnya ketika ditanya via WhatsApp.
Ketika event sekelas pelajar saja sudah banyak menerima cacian dari penonton, apa kabar level tarkam? Ponadi hanya tertawa ketika ditanyai, matanya melirik ke atas seperti sedang berwisata masa lalu, ke banyak kejadian yang pernah ia alami. “Saya sampai didukun lho, Mas,” katanya. Ketika ia memimpin jalannya laga tarkam, di belakang gawang ada dukun yang sedang bekerja.
“Sama-sama kerja, sih, tapi saya takut aja ketika sedang nyemprit, tiba-tiba kena santet,” ia tertawa.
Selain klenik dan ilmu hitam, Ponadi pernah juga disambangi rumahnya oleh penonton yang tidak terima dengan keputusan-keputusan Ponadi. “Mereka kebanyakan kan satu desa sama saya. Atau setidaknya dekat dengan desa saya tinggal. Sudah pasti kalau selesai laga, rumah saya dijaga oleh anak-anak desa,” ceritanya.
Kisah Ponadi, paling parah adalah ketika desanya sendiri harus kalah terhadap desa rival. “Itu saya bingung. Mereka memang nyogok saya, tetapi pemain-pemain desa saya ini payah sekali, nggak jago main bola,” terangnya.
Bahkan Ponadi menganjurkan ketimbang nyogok wasit, lebih baik pengaturan skor saja. “Kalau pengaturan skor dan membayar pemain lawan, wasit nggak bisa disalahkan.”
Jika di Divisi 1 dan Liga 3, apakah sama saja? Wahyu pun sering mengalami teror selama memimpin laga Divisi 1 tiga tahun yang lalu. “Waktu itu memimpin laga antara Persebaya dan satu timnya nggak usah saya sebut, ya. Persebaya dalam kondisi kalah. Strikernya waktu itu, Rachmad Effendi, macak jadi Filippo Inzaghi, kinerja wasit benar-benar diperas mengikuti pertandingan dengan tempo cepat,” ceritanya.
Dalam kondisi tertinggal, tentu saja basis massa Persebaya mengeluarkan chants lebih lantang dan keras. “Bonek memang jos. Satu sisi saya harus fokus ke pertandingan, satu sisi mental saja benar-benar diuji,” pungkasnya.
Nggak hanya cacian saja, Wahyu ketika memimpin laga PON pun pernah diberi ludah oleh basis massa suatu daerah yang nggak terima dengan keputusan-keputusannya.
Wawan punya pendapat yang menarik perihal datangnya emosi penonton sepak bola yang kerap terjadi di Indonesia. Menurutnya, ketika ia memimpin laga level pelajar. “Karena banyak orang yang hanya senang bermain sepak bola, tetapi nggak mengikuti update aturan terbaru atau ketika ada pembaharuan aturan.”
Parahnya, ternyata ketidakpahaman penonton perihal aturan tidak hanya terjadi di kompetisi pelajar, namun juga di level Divisi 1 dan Liga 3. “Penonton memaki ketika wasit ambil keputusan, terutama pengalaman saya mimpin laga Divisi 1 dulu, berimbas dari ketidakpahaman mereka mengenai aturan-aturan baku dalam sepak bola,” katanya.
Menurut Wahyu, banyak juga suporter—bahkan pemain sepak bolanya juga—yang nggak terlalu paham aturan-aturan dalam sepak bola. “Kalau kami menerapkan aturan yang bener, pasti bakalan ricuh, Mas,” katanya.
Wahyu melanjutkan, wasit itu biasanya tipis-tipis memberikan toleransi. Ia mencontohkan semisal aturan penalti. Sebelum eksekutor menendang bola, kiper nggak boleh lompat dari garis. “Nah, lihat saja di Indonesia. Kebanyakan kiper sudah lompat sebelum eksekutor menembak. Kalau aturan macam itu diterapkan, remuk, Mas!”
Wahyu menjelaskan lebih rinci perihal mentalitas seorang. “Selain kudu paham law of the game, wasit juga harus paham kondisi psikis pertandingan.” Semisal ia menerapkan aturan yang baku dan jarang dipahami oleh penonton stadion, sudah jelas bahwa laga tersebut akan jadi makin liar dan penonton lepas kendali.
“Yang jadi taruhan siapa? Jelas sportifitas, namun kan ada nyawa manusia di atas tribun-tribun sepak bola yang berjejeran,” kata Wahyu, ia kembali nyumet rokok, entah yang keberapa.
“Apakah pemain nggak memberikan kompensasi berupa pemakluman?” Tanya saya.
“Respect gitu, ya? Makin tinggi jam terbang pemain, makin tinggi juga respect mereka. Kan saya memimpin Divisi 1 dulu, Mas. Apalagi sekarang Liga 3. Saya harus paham kondisinya,” tuturnya.
Kultur kekerasan di sepak bola Indonesia itu seperti layaknya bola, terus berputar, kata Wahyu. Ketika wasit memahami kondisi pertandingan agar nggak ricuh, namun ada oknum yang sengaja obong-obong ya sama saja. Mentalitas wasit amat berpengaruh di laga-laga yang kelabu macam itu.
Stadion Pakansari, Bogor, Sabtu (28/8/2021) yang menyajikan laga antara Persita kontra Persipura menghadirkan keputusan menarik dari wasit. Yakni di menit ke-52 ketika Yevhen Bokhashvili memanfaatkan blunder Kiper Persita yang tidak menendang bola dengan baik, dianulir oleh wasit.
“Keputusan wasit yang memimpin laga Persita lawan Persipura itu sudah benar. Gara-gara masyarakat yang nggak paham, digoreng deh masalah ini di media sosial. Itu susahnya jadi wasit,” tutup Wahyu.
BACA JUGA Kata @mafiawasit Mengapa Sepak Bola Indonesia Gitu-gitu Aja dan liputan menarik lainnya di Jogja Bawah Tanah.