Rata-rata setiap 5 bulan, selendang atau jarik buruh gendong di Pasar Beringharjo, Malioboro sobek. Itu adalah hal tersedih yang selalu berulang. Jika terjadi, mereka tak bisa membawa utuh upah mereka hari itu.
***
Wajah Mursinah terlihat gugup. Di tengah tatapan mata ratusan pengunjung yang melihatnya, buruh gendong Pasar Beringharjo tersebut harus berjalan pelan-pelan di catwalk selasar pasar tersebut dalam acara Kartini Bringharjo yang digelar Komunitas Perempuan Berkebaya Yogyakarta, Rabu (20/04/2022).Â
Karpet merah yang menjadi catwalk sepanjang sepuluh meteran terlihat sangat jauh untuk dilewati perempuan 79 tahun yang mengenakan kebaya, jarik dan sandal jepit tersebut. Dia pun lega setelah berhasil menyelesaikan tugasnya sebagai model fashion show tersebut.
“Njih sempat gugup tadi, biasanya pakai jarik dan kebaya buat kondangan saja,” ujarnya saat ditemui usai fashion show.
Biasanya pakaian seadanya tiba-tiba fashion show
Bagaimana tidak, perempuan asal Mertan, Sentolo, Kulon Progo tersebut harus berdandan rapi untuk ikut fashion show yang kali pertama diikutinya. Biasanya, Mursinah hanya mengenakan kaos seadanya dengan jarik atau rok saat menjadi buruh gendong di Pasar Beringharjo lantai 3.Â
Tak ketinggalan, kain jarik atau selendang yang selalu ia bawa kemanapun untuk naik turun membawa puluhan kilo gula jawa yang pengunjung beli. Jarik itu menahan beban gendongan dari lantai 3 ke tempat parkir di sisi selatan dan barat Pasar Beringharjo, Malioboro.
Menjadi buruh gendong lebih dari 35 tahun, sudah puluhan jarik yang ia gunakannya untuk mencari nafkah. Setiap hari ia berada di Pasar Beringharjo dari pukul 05.30 hingga 14.00 WIB. Dari rumahnya di Kulonprogo, ia naik bus kecil. Biayanya Rp17 ribu pergi pulang. Pendapatan bersihnya sekitar Rp30 ribu hingga Rp40 ribu bila pengunjung ramai. Namun, saat sepi pembeli, dia hanya mendapat tak lebih dari Rp10 ribu setiap harinya.
“Satu kali angkat 50 kg gendhis jawi (gula jawa-red) dikasih[pembeli] Rp7.500. Gulanya sudah kardusan, kita tata kiyambak (sendiri-red) untuk digendog,” jelasnya.
Mengandalkan jarik buruh gendong untuk bertahan hidup
Mursinah mengakui, kehidupannya sebagai buruh gendong memang tak mudah. Ia hanya mengandalkan kekuatan badan dan jarik selendang yang seringkali robek saat membawa beban puluhan dus gula jawa. Di usianya yang sudah tak muda lagi, ia hanya mendapatkan pendapatan yang pas-pasan.
Namun, pekerjaan buruh gendong adalah satu-satunya pekerjaan yang bisa ia jalanai selama ini. Sebagai perempuan yang mandiri, ia mau tak mau harus mencari nafkah untuk keluarganya.
Mursinah, mencoba menikmati dan tidak mau mengeluh dengan kondisinya sebagai buruh gendong di Pasar Beringharjo. Justru yang sering membuatnya sedih adalah saat jarik selendang dari kain lurik yang ia pakai bekerja tiba-tiba robek.
Akhirnya dia tak bisa membawa pulang uang seharian penuh. Padahal untuk membeli kain jarik lurik yang bagus dengan ukuran 3 meter, dia harus mengeluarkan uang sebesar Rp70-an ribu.
“Untungnya beberapa kali ada yang ngasih, (diberi-red) paguyuban pasar sama orang-orang karena kain lurik buat jarik biasanya lima bulan sudah robek. Tapi biasanya kalau dikasih tidak panjang [jariknya], cupet (pendek-red), padahal butuhnya yang panjang,” ungkapnya.
Hal senada Ponijem sampaikan. Perempuan berusia 70 tahun asal Ngrandu, Kulon Progo ini mengaku sudah menjalani pekerjaannya lebih dari 40 tahun di Beringharjo. Tak punya pilihan lain, profesi simbok atau ibu Ponijem yang juga menjadi buruh gendong di pasar tersebut yang akhirnya membuatnya menjalani pekerjaan yang sama.
“Ibu saya sampun sepuh (tua-red) dan meninggal, akhirnya saya meneruskan jadi buruh gendong karena tidak tahu mau kerja apa,” ungkapnya.
Pendapatan buruh gendong
Menjadi buruh gendong yang mengangkat semua barang yang pengunjung beli di pasar, Ponijem mengaku dapat penghasilan Rp3 ribu hingga Rp5 ribu untuk sekali angkat barang puluhan kg. Dalam sehari bila ramai pembeli, ia bisa membawa pulang Rp 30 ribu hingga Rp 50 ribu.
Seperti halnya Mursinah, sehari-hari ia hanya mengenakan kaos dan jarik atau rok untuk menjadi buruh gendong. Karena saat ikut fashion show kali ini, dia sebenarnya merasa tak nyaman karena harus berdandan rapi tanpa membawa kain jarik gendongnya yang selalu disampirkannya di punggung.
“Biasanya gendong kerupuk setengah kuintal, sekarang harus dandan dan jalan di depan orang-orang banyak, malu sebenarnya, nggak latihan lagi,” ujarnya sembari tertawa.
Fashion show buruh gendong untuk lestarikan kebayaÂ
Para buruh gendong Pasar Beringharjo tersebut menerima bingkisan sembako dan pakain kebaya dan jarik yang mereka pakai untuk fashion show. Sayang tidak ada jarik lurik sepanjang tiga meter seperti yang Mursinah katakan dan ia inginkan.
Ketua Perempuan Berkebaya Indonesia DIY, Margareth Tinuk menjelaskan fashion show kali diikut sekitar 40 buruh gendong Pasar Beringharjo. Kegiatan itu mereka gelar untuk melestarikan kebaya yang saat ini tak banyak lagi perempuan Indonesia pakai.
“Acara ini sebagai bagian dari wujud cinta kami kepada indonesia dan tradisi nenek moyang. Ibu-ibu buruh gendong kami pilih untuk ikut fashion show karena mereka merupakan perempuan-perempuan mandiri yang mewaliki Kartini-kartini Indonesia,” imbuhnya.
Reporter: Yvesta Ayu
Editor   : Agung Purwandono