Stigma Irasional Difabel: Orang Suci yang Bisa Nebak Nomor Togel

Ajiwan Arief Hendradi (Foto Dok. Pribadi)

Stigma miring dan perlakuan diskriminatif kerap dialami oleh difabel. Bahkan ada stigma irasional, misalnya menganggap tunanetra sebagai orang yang suci bahkan sakti karena dianggap bisa menebak nomor Togel.

***

Mojok berbincang dengan Ajiwan Arief (36), tunanetra yang berjuang untuk kesetaraan difabel di Indonesia. Akhir bulan Agustus lalu, pertama kali Mojok bertemu sosok Ajiwan Arief. Saat itu ia mengisi kegiatan salah satu sesi pelatihan menulis feature bagi difabel yang diselenggarakan Jurusan Sastra Indonesia Universitas Ahmad Dahlan yang bekerjasama dengan komunitas Braille’ient Indonesia.

Saya terkagum dengan cara beliau berbicara dalam forum tersebut. Lugas dan jelas membuat saya semakin mudeng dengan kebutuhan rekan-rekan difabel di Indonesia. Kamis (2/9) telepon saya terhubung dengan Arief. Awalnya saya merasa kikuk saat membuka obrolan. Tapi Mas Ajiwan meruntuhkan kekikukan saya. “Santai saja, Mas, nggak usah grogi,” katanya.

Sewaktu kecil, Ajiwan Arief Hendradi (36) ditolak masuk sekolah umum karena seorang tunanetra. Stigma-stigma miring dan perlakuan diskriminatif membuatnya memutuskan untuk memperjuangkan kesetaraan bagi difabel di Indonesia.

“Saya difabel, sejak kecil bahkan sejak lahir, kalau bukan saya siapa lagi yang peduli dengan difabel itu sendiri,” jawab Mas Ajiwan, ketika saya tanya kenapa berjuang untuk difabel.

Jawaban itu menjadi awal sebuah obrolan yang menyenangkan. Ya, dari cerita Mas Ajiwan saya jadi tahu tentang eksistensi difabel. Sebagai seorang difabel, sejak kecil beliau merasa mendapat perlakuan diskriminatif dan timpang dalam lingkungan sosialnya. Perlakuan-perlakuan diskriminatif itu tidak hanya lahir dari salah seorang individu tetapi juga dari lembaga pendidikan.

Ajiwan berkisah saat hendak masuk sekolah dasar beberapa sekolah menolak dirinya karena dirinya yang berkebutuhan khusus. Tanpa menimbang apa pun beliau ditolak masuk sekolah. Akhirnya ia masuk sekolah luar biasa (SLB) terlebih dahulu. Perlakuan semacam itu sungguh membekas di benaknya. Bahkan dulu ia sempat berpikir “apakah saya sungguh tidak setara dengan mereka?”

Setelah lulus dari SLB ia melanjutkan di sekolah umum hingga lulus kuliah. Saat pertama kali memasuki sekolah umum dan bisa bersama dengan teman-teman sebaya yang lain ia merasa senang. Saat itu ia benar-benar merasakan ada kesetaraan dengan teman yang lain.

“Bukan sombong tapi secara akademik saya bisa sebanding,” katanya sembari tersenyum.

Namun, sesuatu yang tidak beres ia jumpai di dalam dunia kerja. Setelah lulus kuliah dan ia melamar kerja ternyata masih banyak praktik-praktik diskriminasi yang ia alami di sana. Ketika ia melamar pekerjaan banyak yang memandangnya aneh.

Saat ini dunia pendidikan sudah banyak kesempatan tapi belum untuk di dunia kerja. Saat itu ia juga menyadari bahwa ternyata belum banyak masyarakat yang sadar akan isu-isu disabilitas, belum aware dengan bagaimana kemampuan disabilitas dalam bekerja.

“Waktu itu kemudian saya tergugah, ternyata masih banyak yang belum beres, dan perjuangan masih panjang untuk teman-teman disabilitas termasuk saya sendiri untuk mencapai kesetaraan,” jelas Ajiwan. Hal ini adalah faktor mendasar yang membuat Mas Ajiwan terus berjuang untuk difabel.

Stigma miring yang  menyasar difabel 

Ajiwan terlihat begitu riang saat saya wawancarai. Kali ini ia berkisah soal stigma yang kerap semampir di telinga teman-teman difabel termasuk dirinya sendiri.

Ia bercerita dari stigma yang paling umum hingga yang stigma menurut saya kebangetan. Bagaimana tidak, ada stigma yang berbau mistis, barangkali stigma itu keluar dari tingkah polah dan cara pikir orang-orang yang seenak udel berbicara soal teman-teman difabel.

“Dianggap tidak produktif, tidak bisa ngapa-ngapain, tidak bisa bekerja karena hambatan dan kemampuan mereka berbeda itu stigma paling umum,” jelas Ajiwan.

Ajiwan tengah menjajal aksesbilitas NYIA bersama teman-teman difabel yang lain (Foto Dok. Ajiwan)

Ada pula stigma yang dianggap identik menyasar teman-teman difabel netra sebagai tukang pijat. Acap kali yang terjadi pada difabel adalah stigma-stigma yang menyangkut profesi tertentu.

“Mungkin bagi mereka yang mengucapkan stigma itu biasa saja, tapi mereka nggak bakal mengerti isi hati yang mereka katai. Perlu ada sosialisasi baru sadar kayaknya,” kata Mas Ajiwan.

Ajiwan menceritakan dengan detail stigma-stigma yang dialami difabel. Bahkan ada stigma irasional yang menimpa dirinya dan teman-teman difabel yang lain.

“Orang difabel dianggap orang suci, Mas,” ucap Mas Ajiwan dengan terkekeh.

Dari ucapan itu Ajiwan mengisahkan teman difabel yang kemudian dianggap sakti, karena dianggap punya kemampuan mistis.  Sehingga sampai ada orang yang memanfaatkan kondisi itu dengan sembrono.

“Teman difabel itu ditanya, ‘nomer sek metu mengko bengi piro?’” ucap Mas Ajiwan sambil geleng-geleng dan tertawa. Oleh orang yang tanya, dikiranya temannya yang tunanetra bisa nebak nomor Togel.

Lain waktu, Ajiwan juga pernah dibuat terkejut. Saat itu di bulan Ramadan, bersama tiga temannya berjalan saling menuntun menuju ke sebuah masjid di Sleman. Selesai menjalankan ibadah salat, ia dan teman-temannya dihampiri seorang ustaz atau mungkin juga takmir masjid untuk diajak sekaligus dituntun ke hadapan berbagai macam makanan takjil.

“Saya salut dengan mas-mas sekalian,” ucap Ajiwan menirukan takmir masjid waktu itu.

“Kenapa kok salut, Pak,” tanya mereka pada Takmir.

“Karena kalian orang suci,” ucap Takmir.

“Kok bisa manusia suci, Pak,” jawab Ajiwan.

Takmir itu mengatakan bahwa mereka sebagai orang yang difabel tapi masih beribadah. Ajiwan mnengelus dada mendengar penjelasan takmir masjid. “Soal ibadah kan kewajiban bagi setiap manusia entah difabel atau non-difabel, sakit atau sehat, sebab dalam fikih bagaimanapun keadaannya diwajibkan ibadah dan sedangkan tata caranya pun dimudahkan. Kalau nggak bisa berdiri ya duduk, kalo nggak bisa ya dengan berbaring, isyarat dan seterusnya,” kata Ajiwan.

Sesungguhnya berbagai stigma itu tergantung bagaimana teman-teman difabel dalam menyikapinya, namun stigma-stigma itu akan berdampak pada mental teman-teman difabel. Kisah-kisah tentang stigma tersebut membuktikan bahwa masih banyak masyarakat umum yang belum sadar akan kesetaraan bagi difabel.

Perlunya advokasi inklusi

Ajiwan (tengah) bersama pengurus Komunitas Braille’ient Indonesia (Foto Dok. Pribadi)

 Saat ini Ajiwan bekerja sebagai redaktur di sebuah media bernama solider.id. Media ini secara khusus mengadvokasi isu-isu difabel. Ajiwan merupakan alumni UGM di tahun 2010. Sejak di bangku kuliah ia aktif mengikuti berbagai kegiatan organisasi dan kemudian bergabung dengan solider.id.

“Ada dua cara yang saya tempuh untuk memperjuangkan kesetaraan difabel, Mas. Advokasi internal dan sosialisasi advokasi eksternal,” katanya.

Advokasi internal ialah upaya menyadarkan pentingnya kesetaraan yang dimulai dari dalam. Bagi kawan-kawan difabel masih banyak PR bahwa kemampuan, kapasitas, dan mental harus dibangun dari dalam diri sendiri.

Tidak sedikit teman-teman difabel yang kurang beruntung, belum bisa mengenyam pendidikan, maka kawan-kawan difabel perlu diberi dukungan untuk sebuah kesetaraan.

“Ayok maju, ayok setara! Mereka perlu diberi semangat untuk berkembang,” katanya bersemangat.

Lalu, sosialisasi advokasi eksternal dalam hal ini perlu diterapkannya advokasi inklusi, “Gampangane melakukan usaha untuk sesuatu yang lebih baik dengan cakupan yang lebih luas,” ucap Ajiwan.

Sebagai redaktur di solider.id ia memanfaatkan media tersebut sebagai kendaraan untuk mengabarkan pada khalayak umum. Bahwa peran berbagi elemen sosial dan masyarakat dibutuhkan untuk mencapai kesetaraan difabel. Selain itu solider.id juga mewadahi mereka kawan-kawan yang pingin berkarya dengan menulis, jadi mereka bisa mebuktikan diri. “Difabel ada lho, difabel setara lho,” ucap Ajiwan.

Di sisi lain menjadi awak dari solider.id, ia juga menjadi pegiat di komunitas Braille’ient Indonesia. Komunitas ini merupakan komunitas anak muda yang bergerak pada pengembangan kapasitas difabel netra dan isu-isu inklusi. Beliau tak jarang mengisi diskusi-diskusi umum menyoal isu-isu inklusi, terakhir beliau mengisi diskusi yang bertajuk ‘Difabel Netra Membangun Bisnis’.

Ajiwan merasa senang ternyata banyak anak muda yang peduli dengan keberadaan difabel. Bahkan turut memperjuangkan hak-hak yang seharusnya didapat oleh teman-teman difabel.

“Senang bisa bersama, tidak peduli latar belakang, difabel bisa berbaur, bisa saling mengisi, berperan satu sama lain dengan cara masing-masing,” pungkas Ajiwan menutup ceritanya.

BACA JUGA Kenalan Sama Profesi Art Handler yang Perannya Krusial di Balik Pameran Seni dan liputan menarik lainnya di rubrik SUSUL.

 

 

 

Exit mobile version