Perjalanan Nanang, Tunanetra yang Diusir karena Buka Jasa Pijat di Malioboro hingga Menjadi Seniman Raba

ilustrasi - tukang pijat di Malioboro yang menggeluti seni rupa. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Seniman asal Jogja, Muhammad Haryanto (46) mengalami diskriminasi saat membuka jasa pijatnya di Malioboro. Melalui lukisannya, anak bungsu dari tiga bersaudara itu ingin mengungkapkan perasaan, pemikiran, dan pengalamannya sebagai tunanetra.

***

Muhammad Haryonta atau yang akrab dipanggil Nanang adalah penyintas tunanetra yang sehari-hari bekerja sebagai tukang pijat di Malioboro, Jogja sejak tahun 2024. Akhir-akhir ini dia merasa resah karena mendapat perlakuan tidak adil oleh Satpol PP. Dia dan teman-temannya sering diusir hanya karena kesalahan salah satu orang pemijat.

“Kadang-kadang mereka menganggap kami ini mengganggu, padahal kami hanya berjalan dan tidak pernah menggangu pengunjung,” ucap Nanang kepada Mojok, Selasa (7/1/2024).

“Saya sendiri tidak pernah menawarkan pijat pada pengunjung, karena saya sudah membawa tulisan ‘terima jasa pijat untuk wanita dan pria’. Jadi kalau saya tidak dipanggil untuk memijat saya tidak pernah menawarkan jasa saya,” lanjutnya.

Lebih dari itu, Nanang merasa ada banyak diskriminasi lain yang ada di sekitarnya. Penyintas tunanetra, kata Nanang, sering dimanfaatkan. Misalnya menjelang pemilu. Biasanya, ada petugas yang meminta KTP mereka tanpa tahu digunakan untuk apa. Mereka juga minta cap jempol untuk kompensasi kehadiran tanpa diberitahu jumlahnya.

Sering kali, penyintas tunanetra dilibatkan dalam kegiatan tapi malah menjadi tidak berdaya, hingga tiba-tiba diberi uang secara diam-diam oleh orang lain karena merasa iba.

“Jika hidup di lingkungan yang belum maju pemikirannya, kaum disabilitas mengalami penolakan karena kondisinya dianggap merepotkan,” kata Nanang. Oleh karena itu, dia belajar seni rupa sebagai upaya menyuarakan hak-hak mereka dan menjadi seniman di Jogja.

Tak merasa berbeda di lingkungannya

Sejak kecil Nanang tak merasa berbeda dengan anak-anak di sekitarnya. Di SD Intergrasi Sinduadi, Sleman, Yogyakarta dia bisa berbaur dengan teman-temannya. Anak bungsu dari tiga bersaudara itu bahkan pernah membonceng temannya naik sepeda.

Lukisan Beda Itu Indah. MOJOK.CO
Lukisan raba karya Nanang berjudul “Beda Itu Indah”. Dok. Muhammad Haryanto

“Sewaktu kecil, saya juga bermain sepeda, nabrak-nabrak, masuk parit, lalu ketawa bareng teman-teman,” ucapnya yang bahagia menceritakan masa lalunya.

Saat jatuh dari sepeda, teman-temannya berteriak kalau dia seperti “si buta”. Alih-alih merasa diejek, Nanang malah ikut berteriak. Sepulangnya dari bermain dia baru bertanya ke ibunya apa maksud dari “si buta” itu.

Ibunya menjawab dia tidak buta, tapi memang tidak bisa melihat dengan mata. Meski begitu, Nanang masih bisa “melihat” melalui mendengar, meraba, dan mencium bau. Oleh karena itu, dia merasa kondisinya wajar.

Namun, pada saat duduk di bangku SMP dia baru menyadari kondisinya yang buta dianggap berbeda oleh masyarakat di sekitarnya. Nanang bingung mengapa dia harus masuk sekolah luar biasa, tidak seperti teman-temannya. 

Salah satu guru bahkan selalu mengingatkannya agar membawa tongkat penuntun jalan, tapi dia tidak ambil pusing. Nanang mengaku sudah bisa menerima kondisi fisiknya. Dia pun lebih suka dipanggil penyintas tunanetra karena menggambarkan orang yang mampu bertahan dengan ketunanetraannya.

Seiring berjalannya waktu, dia ingin menginspirasi penyintas tunanetra lainnya melalui lukisan. Oleh karena itu, dia ingin menjadi seniman Jogja.

Dari tukang pijat menjadi seniman Jogja

Setelah lulus SMP, Nanang tidak bisa melanjutkan sekolah ke jenjang berikutnya karena keterbatasan ekonomi. Namun, semangatnya untuk belajar tak padam. Dia pun menempuh pendidikan informal di Panti Sosal Bina Netra Sadewa tahun 1998.

Selama tiga tahun di sana, Nanang belajar tentang anatomi patologi yakni ilmu yang mempelajari organ dan jaringan tubuh. Dari sana dia bisa mengetahui penyebab dan akibat dari sebuah penyakit. Pengetahuan itu juga menjadi bekal dia memperdalam kemampuannya memijat. 

Nanang kemudian menjalani profesinya menjadi jasa pijat panggilan hingga sekarang. Biasanya dia mangkal di Malioboro. Sayangnya, Covid-19 membuat pesanan pijatnya menurun. Pasca pandemi, bisnisnya belum juga pulih bahkan dia harus memulai dari awal lagi. 

Hingga dia bertemu dengan pendiri Wayang Limbah Ki Samidjan dan anaknya, Kus Sri Antoro di tahun 2021. Keduanya memesan jasa pijat kepada Nanang. Layaknya tukang pijat seperti biasanya, Nanang pun mengobrol di sela-sela dia bekerja.

Saat itu dia tahu kalau Samidjan adalah pembuat wayang dari limbah plastik, sedangkan Kus adalah aktivis sosial yang juga sering menyuarakan isu kelompok minoritas termasuk disabilitas. Nanang yang merasa tertarik akhirnya mengutarakan keinginannya untuk bergabung. Dia ingin membuat suatu karya seni rupa dan menjadi seniman di Jogja.

“Saya tertarik dan menanyakan apakah mungkin saya membuat dan mementaskan Wayang  Disabilitas? Katanya, bisa asalkan saya belajar dan berlatih,” ucap tukang pijat di Malioboro itu.

Pelan-pelan belajar menjadi seniman Jogja

Melalui Wayang Limbah Ki Samidjan, Nanang akhirnya belajar menggambar dan melukis. Dia mulai belajar mengenal warna dan bentuk-bentuk dasar.

“Karena wayang kulit kebanyakan pipih, saya harus belajar mengenali karya dua dimensi. Gambar dan lukisan adalah contoh karya dua dimensi,” ujar tukang pijat di Malioboro itu.

Sebagai penyintas tunanetra, dia berhasil membuktikan bahwa dia bisa “melihat” dengan indera selainnya. Dia membagi dua perlengkapan catnya untuk melukis, yakni yang terbuat dari bahan alami dan sintetis akrilik. 

Setiap warna cat akrilik dia beri label dengan huruf awal warna tersebut. Sementara, untuk cat alami dia tinggal mencium baunya. Cat alami itu terbuat dari kunyit, sirih, kapur sirih, buah naga, dan bunga telang. 

Salah satu karya Nanang, seniman Jogja. Dok. Muhammad Haryanto

Masalahnya tak berhenti sampai di situ. Saat dia berkunjung ke rumah teman, orang itu menunjukkan sebuah lukisan berbentuk kapal tapi setelah dia raba, Nanang justru kebingungan.

“Mulanya saya bertanya kabar dia, lalu saya bertanya soal lukisan kapalnya. Bagaimana bentuk kapal itu? Mengapa hanya rata saja di dalam kanvas?” tanya Nanang saat itu.

Guna mencari referensi lain dalam melukis, Nanang berkunjung ke sebuah pameran lukisan yang berlokasi di Taman Budaya Yogyakarta pada Januari 2022. Di sana, dia ingin menyentuh lukisan tersebut tapi dilarang dengan alasan bisa merusak keindahan.

Nanang yang bermimpi menjadi seniman Jogja itu pun mencoba pengalaman lain dengan pergi ke Candi Borobudur dan meraba relief di sana, tapi masih bingung karena bentuknya yang rumit. Sementara, dia baru mengenal bentuk dasar seperti segi tiga, segi empat, lingkaran, serta bentuk tiga dimensi seperti kotak, bola, bulat telur, dan tabung.

Mempelopori seni raba

Meski menjumpai banyak tantangan, Nanang tak ingin menyerah. Dia ingin membuktikan bahwa penyintas tunanetra bisa berkarya lewat seni. Terlebih seni rupa yang notabennya membutuhkan kemampuan melihat.

“Saya tidak bisa melihat, tetapi saya masih bisa mendengar, membau, mencecap, dan meraba. Apa mungkin seni rupa dibikin dan dinikmati dengan kemampuan saya?” tanyanya pada diri sendiri kala itu.

Namun, Nanang yakin bahwa seni bisa menjadi sarana dia mengungkapkan perasaan, pemikiran, dan pengalamannya sebagai penyintas tunanetra. Berkat usahanya dia berhasil membuat 11 lukisan yang pernah dipajang dalam pameran tunggalnya berjudul “Seni Raba Menggambar Suara”.

Pameran itu menjadi pelopor lukisan seni raba bagi penyintas tunanetra, sekaligus yang pertama dan diakui oleh Lembaga Indonesian Visual Art Archive (IVAA). Tukang pijat di Malioboro itu tak menyangka, dia berhasil menyuarakan isu-isu sosial melalui lukisannya.

Salah satu lukisan pertamanya berjudul Jangan Putus Asa. Lukisan itu, kata dia, terinspirasi dari seorang kawan perempuannya yang merupakan pejuang agraria di Parangtritis. Dia ingin menyampaikan pesan untuk tidak putus asa dalam memperjuangkan kesetaraan dan hak-hak disabilitas.

Beberapa karya Nanang menggunakan medium seperti kanvas, spon ati, dan akrilik. Nanang kemudian melukis medium itu dengan abstrak menggunakan cat. Uniknya, dia menambahkan manik-manik untuk membentuk aksara. 

“Saya mampu mendengar suara, tapi katanya suara tidak berwujud, tidak bisa dilihat, disentuh, apalagi diraba. Saya mampu meraba benda, tapi deskripsi saya mengenai benda itu boleh jadi beda dengan yang terlihat,” ucap seniman Jogja itu.

“Padahal, saya ingin berkomunikasi, saya ingin bercerita lewat seni rupa,” lanjutnya. Oleh karena itu, Nanang melukis. 

Penulis: Aisyah Amira Wakang

Editor: Muchamad Aly Reza

BACA JUGA: Pembuktian Alfian: Dianggap Sebelah Mata karena Buta, Kini Diangkat PNS dan Raih Gelar S2 atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan

Exit mobile version