Simpul doa saling terhubung dari 63 titik di berbagai daerah. Doa terpanjat untuk Emha Ainun Najib atau Cak Nun yang telah menginjak usia 70 tahun. Tangis dan tawa mewarnai rapalan doa dan harap di sudut-sudut Rumah Maiyah. Sebab seperti kata Toto Rahardjo, “Usia 70 itu sudah banyak bonusnya.”
***
Pukul setengah delapan malam, rombongan mulai memadati Rumah Maiyah di Kadipiro. Tempat ini jadi salah satu dari 63 titik pelaksanaan tawashshulan untuk mendoakan Cak Nun yang genap berusia 70 tahun. Sosok dengan beragam atribut yang tersandang dalam dirinya ini lahir di Jombang, 27 Mei 1953.
Malam itu saya datang bersama Kepala Suku Mojok, Puthut EA, yang sejak jauh-jauh hari memang merencanakan khusus untuk turut mendoakan Cak Nun di hari kelahirannya. Kami langsung masuk dan menempati saf belakang di area pendopo Rumah Maiyah.
Antusiasme mengalir di antara para Jemaah yang hadir. Tak terasa, seluruh area pendopo telah penuh sesak. Menjalar ke area luar yang telah digelari tikar.
Forum pun dibuka tatkala Helmi Mustofa, sosok yang wajahnya tak asing lagi di mata Jemaah Maiyah, mulai berbicara menuntun acara di depan para hadirin. Malam ini adalah momen untuk mendoakan Cak Nun. Doa yang harapannya bisa terpancar kembali kepada setiap mereka yang melantunkan baik dalam lisan maupun hati.
Helmi mempersilakan Toto Rahardjo, salah satu kerabat dekat Cak Nun untuk memberikan pesan pembuka. Beberapa patah kata syukur tentang bertambahnya usia. Semesta, menurutnya, memberikan manusia banyak keleluasaan. Namun, semua itu terbatasi usia.
“Usia 70 tahun itu sudah banyak bonusnya dari Kanjeng Nabi,” kata Toto, mengingat Nabi Muhammad wafat pada usia 63.
Pembukaan singkat yang membuat khidmat setiap mereka yang datang. Layaknya forum-forum Jemaah Maiyah biasanya, hadirin datang dari beragam usia. Balita hingga orang tua sampai balita. Keragaman itu tak sedikit pun mengurangi keseriusan menyimak acara.
Ada nuansa ketulusan yang terasa dalam acara ini. Tawa dan tangis silih berganti di raut-raut wajah beberapa di antara mereka yang duduk bersila memenuhi ruang.
Pengharapan dan air mata
Tatkala, beberapa pengharapan dari personil grup Kiai Kanjeng dibacakan. Saya mengamati sesosok perempuan yang sudah berderai air mata. Acara masih awal, suasana masih cair, namun ia sudah berulang kali melepas kaca matanya untuk membersihkan basah di wajah.
Pengharapan itu berupa kesehatan, kekuatan, ketabahan menghadapi ujian kehidupan, sampai harapan agar Cak Nun mengurangi kebiasaan merokoknya. Saat harapan terakhir itu dibacakan, tawa memecah sendu perempuan tadi.
Sosok yang sedang berulang tahun memang tak hadir pada forum ini. Namun semangatnya seperti mengalir dalam diri Jemaah. Bayangannya tergambar dari bingkai foto besar yang terpajang di dinding.
Kebesaran dan perjalanan panjang Cak Nun terpatri dalam jepretan saat berada di panggung yang disaksikan ribuan orang. Satu foto saat ia sedang di hadapan ribuan orang pada sebuah panggung di Kalimantan Barat medio 1996 dan satu foto lagi saat sedang dikerumuni Jemaah Maiyah dengan tangan mengepal mengacung ke udara.
Acara berlanjut ke sesi tawashshulan selama satu jam, sejak pukul delapan hingga sembilan malam. Salawat dan doa yang khusuk ditemani alunan nada dari grup Kiai Kanjeng.
Sambil mengikuti lantunan doa, mata saya mengamati sekitar. Tampak wajah-wajah khusuk dan penuh keseriusan. Mata-mata mereka terpejam meresapi setiap untaian salawat dan doa. Air mengalir membasahi pipi sebagian peserta.
Salah satunya dari sosok yang Jemaah Maiyah yang akrab disapa Yoga. Ia duduk di barisan depan dengan tangan menengadah, mata terpejam, dan pipi yang tampak basah air mata.
“Selama ini Mbah Nun mendoakan kita semua. Semoga kita layak untuk mendoakan beliau,” kata Helmi, usai tawashshulan rampung.
Pertautan dan ketersentuhan dengan sosok Cak Nun
Bagi mereka yang hadir dalam acara ini, Cak Nun bukan lagi sekadar sosok dengan deretan angka pencapaian. Lebih dari itu, setiap kata yang keluar dari lisan maupun dalam bentuk tulisan telah mengetuk hati mereka. Membuat mereka merasakan suatu pertautan batin.
Nevi Budianto, salah satu anggota tertua Gamelan Kiai Kanjeng, berkisah mengenai awal mula menemukenali sosok Cak Nun. Saat itu, ia yang masih duduk di bangku SD, akrab dengan sosok gondrong itu lewat tulisan di Majalah Kuntum. Sebuah terbitan bulanan untuk sekolah Muhammadiyah.
Hingga akhirnya, Nevi benar-benar mulai mengenal dan bersinggungan dengan Mbah Nun saat mulai masuk ke dunia teater di Jogja. Kecocokan di antara keduanya, membuat mereka semakin sering bersinggungan. Hingga saat ini.
Babakan hidup Emha Ainun Nadjib memang telah melewati banyak fase. Mulai dari dunia kesenian di Malioboro, teater, intelektual, hingga kiprahnya melahirkan majelis-majelis yang terus bergeliat hingga sekarang.
“Saya merasa kaget sekaligus terharu. Awal bertemu Cak Nun ya mengurusi musik, puisi, dan teater. Tidak pernah terpikir ada Kiai Kanjeng sampai Maiyah. Tidak menyangka derapnya bertahan sampai sekarang,” ucapnya haru.
Hijrah ke Jogja karena Cak Nun
Bergiliran, beberapa sosok yang hadir pada momen malam itu memberikan kisah awal mula pertautan dengan Cak Nun. Bahkan, ada yang mengisahkan, hijrah dari Jakarta ke Jogja untuk kuliah hingga menjalani hidup, namun alas an utamanya semata-mata demi bisa rutin mengikuti Mocopat Syafaat.
Jemaah Maiyah, bukan sebuah organisasi dengan struktur dan tetek bengek birokrasi yang padat. Tidak ada penanda spesifik secara lahiriyah di antara mereka. Bukan dari atribut hingga penampilan.
“Penanandanya tidak tampak yakni ketersentuhan dengan sosok Cak Nun. Bentuknya bermacam-macam,” katanya.
Yoga, yang tadi teramati begitu khusuk saat tawashshulan turut berbagi cerita. Suatu ketika ia mengalami hari yang buruk lantaran dagangannya, satu tas batu akik, hilang akibat pencurian di rumah. Ia lalu datang ke Rumah Maiyah.
“Seperti kebanyakan orang, saya datang dengan membawa beban pikiran,” katanya.
Sesampainya di sana, Cak Nun, tanpa ia duga memberikan ceramah terkait kelapangan hati setelah kehilangan sesuatu. Suatu hal yang barang tentu tidak terencana antara Yoga dan sosok yang ia idolakan tersebut.
“Meski Cak Nun bicara dengan ratusan bahkan ribuan orang, masing-masing di antara kami merasa seperti ada persentuhan personal,” ujarnya.
Bapak dan kakek banyak orang
Putra Cak Nun, Sabrang, juga berkisah. Suatu ketika bapak pernah berpesan, “Aku ki bukan bapakmu tok.”
Pesan itu merujuk pada banyaknya orang yang turut menjadi perhatian bapaknya. Jemaah Maiyah baik anak dan cucu yang juga perlu perhatian Mbah Nun.
“Jadi sebenarnya tanggung jawab saya sebagai anak berkurang ya,” ujar Sabrang sambil menunjuk jemaah. Tawa lepas di antara kami.
Usia Cak Nun terus bertambah. Buat Sabrang, ini saatnya memikirkan bagaimana semangat dan pemikirannya dapat terus hidup di masa-masa mendatang. Sosoknya, bukan hanya sebagai entitas fisik, namun juga pemikiran.
Sebagai manusia, Cak Nun tak luput dari silap. Sabrang pun mengajak jemaah untuk mengingat sosoknya dengan adil. Pada kebaikan-kebaikan yang pernah bapaknya catatkan, ia harap para jemaah bisa meneruskannya.
Acara selesai pada pukul setengah sebelas malam. Namun doa bagi Cak Nun tak pernah surut. Begitu pula nilai-nilai yang pernah ia tanamkan di benak ribuan orang. Senantiasa hidup di masa yang akan datang.
Reporter: Hammm Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Cak Nun, Khilafah, PKI
Cek berita dan artikel lainnya di Google News