Sowan Kiai: Gus Karim, Guru Ngaji Jokowi

Sowan Kiai: Gus Karim, Guru Ngaji Jokowi

MOJOK.COSejak fotonya bersama Presiden Jokowi saat keluar dari Kakbah ditayangkan di berbagai media, sosok Kiai Abdul Karim atau yang lebih akrab dipanggil dengan Gus Karim tak butuh waktu lama untuk menjadi bahan perbincangan.

Gus Karim adalah guru ngaji Jokowi sejak lama. Tak heran jika dalam berbagai momen yang berhubungan dengan peribadatan, dirinya kerap dilibatkan oleh Jokowi, termasuk ketika Jokowi sekeluarga menjalankan ibadah umroh saat masa tenang kampanye beberapa waktu yang lalu.

Gus Karim adalah sosok kiai yang sangat masyhur si Solo. Ia merupakan pengasuh Pondok Pesantren Al-Qur’aniyy Az-Zayadiyy Laweyan.

Dalam program Sowan Kiai yang digagas oleh Mojok.co dan Komunitas Gusdurian Jogja, kami berhasil sowan ke pondok Gus Karim beberapa waktu yang lalu.

Kami memang sudah lama mengincar Gus Karim sebagai salah satu target sowan. Dasar nasib mujur, kami tak kesulitan mendapatkan akses untuk bisa berkunjung ke pondok pesantrennya.

Kami meluncur ke Solo berenam. Selain saya, ada juga Dafi (redaktur Mojok), Ali (videografer Mojok), Fatin (Gusdurian Jogja), Bahru (Gusdurian Jogja), dan Fairuz (Gusdurian Jogja).

Kendati berlokasi tidak di tepi jalan utama, namun Pondok pesantren Al-Qur’aniyy Az-Zayadiyy mudah ditemukan. Rasanya tak ada satu orang pun di Laweyan yang tak tahu di mana alamat Pondok pesantren Al-Qur’aniyy Az-Zayadiyy asuhan Gus Karim. Kalau sampai ada yang tak tahu, maka ia layak dipertanyakan ke-Laweyan-annya.

Seperti halnya bangunan-bangunan lama di kampung batik Laweyan, Pondok pesantren Az-Zayadiyy dikepung oleh tembok-tembok tebal dengan nuansa yang sangat kolonial.

Di depan gerbang pondok, kami disambut oleh salah seorang santri Gus Karim. Kami lantas dipersilahkan masuk.

Halaman pondok Az-Zayadiyy tampak sangat asri. Di pojokan halaman tampak berdiri kokoh pohon mangga yang kami yakin mangganya akan selalu menjadi rebutan bagi para santri kalau musim berbuah. Hampir seluruh lantai halamannya sudah dipasangi tegel granit persegi. Desain tegelnya sengaja dibuat berongga di bagian tengah dan kemudian diisi dengan rumput gajah yang membuat halaman pondok menjadi tampak sangat hijau.

Oleh santri Gus Karim, kami kemudian diantarkan ke ndalem belio. Dari Kejauhan, Gus Karim tampak sudah menunggu kami. Kami berenam, satu per satu, langsung menyalaminya.

“Ini rombongannya Mas Dafi?” tanyanya.

“Nggih, Yai,” jawab Dafi sang redaktur Mojok kebanggaan Ngaglik itu.

“Saya sudah nunggu dari tadi, lho. Saya pikir nggak jadi.”

“Ngapunten, Yai, kami terlambat. Jalannya macet.”

Gus Karim mengenakan baju putih dengan bawahan sarung berwarna kuning pucat. Tampilannya sangat “kiai kampung”, tampilan yang mungkin akan membuat banyak orang tak menyangka bahwa dirinya adalah orang dekat Presiden Jokowi sekaligus orang kedua Solo yang mendapat kehormatan untuk masuk ke dalam Kakbah dan berkesempatan menunaikan salat empat penjuru di dalamnya.

Kami kemudian berbincang sebentar di ruang tamu. Perbincangan didominasi oleh Dafi yang memang sudah cukup mengenal baik Gus Karim sebab ia sudah mondok di Solo sejak SMP. Sesekali Fairuz ikut dalam perbincangan. Sementara saya, Bahru, Fatin, dan Ali hanya mendengarkan sambil menyeruput teh yang sudah disiapkan oleh empunya pondok. Agaknya sedapnya teh Solo membuat kami berempat menjadi manusia yang lebih pendiam.

Dafi lantas menjelaskan tentang maksud kunjungan kami ke pondok. Menjelaskan tentang program Sowan Kiai dan keinginan kami untuk mewawancari Gus Karim seputar kisahnya menjadi pengasuh pondok pesantren juga kisah selama ikut masuk ke dalam Kakbah dan kompleks makam Kanjeng Nabi.

“Tapi ngapunten nggih, Mas. Soal pengalaman saya pas masuk Kakbah juga makam Kanjeng Nabi, saya nggak bisa cerita banyak, sebab saya di sana itu ndingkluk (menunduk) terus,” ujar Gus Karim.

“Nggih, nggak apa-apa, Gus. Mungkin nanti bisa diceritakan saat njenengan diajak umroh sama Pak Jokowi.”

Gus Karim tersenyum. “Kalau itu, bisa.”

Setelah ngobrol sekitar lima belas menit, kami kemudian berpindah ke ruangan yang lain. Kata Gus Karim, ruangan tersebut lebih cocok kalau mau dibikin wawancara format video.

Kami harus cepat, sebab pukul 3 sore, Gus Karim harus bertolak ke Purwodadi, padahal saat itu jam sudah pukul dua seperempat, itu artinya, kami tak punya banyak waktu.

Ali dibantu oleh Fatin kemudian mulai mengeset kamera dan lampu, sementara saya, Dafi, Fatin, dan Fairuz menata kursi.

Sepuluh menit berlalu. Set sudah siap. Kami siap wawancara. Yang nanti akan inframe mewawancarai Gus Karim adalah Dafi, Fairuz, dan Bahru.

“Gimana, sudah siap?” Tanya Gus Karim.

“Sampun, Gus,” jawab Fairuz.

Wawancara pun dimulai. Pertanyaan-pertanyan awal yang ditanyakan tentu saja seputar kisah awal mula pertemuan Gus Karim dengan Jokowi.

“Sebelum Pilkada Solo, sebelum Pilkada pertama,” terang Gus Karim saat ditanya kapan awal mula dirinya kenal dengan Jokowi. “Dulu kami (Pesantren) sering mengadakan pengajian khusus para pengusaha muda muslim, banyak sekali yang hadir, di antara yang hadir itu adalah Bapak Insinyur Joko Widodo.”

Pertemuaan saat rutin mengisi pengajian pengusaha tersebutlah yang kemudian membuat Gus Karim mulai kenal dekat dengan Jokowi.

“Saya sering dolan ke rumahnya, beliau juga sering ke sini, akhirnya semakin akrab.”

Bahru kemudian menanyakan awal mula Gus Karim diajak umroh oleh Jokowi. Tak bisa dimungkiri, pertanyaan tersebut boleh jadi merupakan pertanyaan yang paling banyak ditanyakan oleh banyak orang jika menyangkut tentang sosok Gus Karim.

“Awalnya itu pas kampanye akbar di Sriwedari. Saya ketemu sama beliau. Di atas panggung itu, saya dirangkul. Pas merangkul saya itu, Pak Jokowi ngomong sesuatu sama sama. Saya nggak dengar dengan jelas sebab waktu itu musiknya luar biasa kencang. Cuma, pada waktu itu, pak Jokowi nduding (menunjuk jari) ke arah barat. Khusnuzon saya, mungkin saya disuruh ke rumahnya di Sumber, sebab arahnya memang ke barat, atau, saya disuruh ke Jakarta. Saya waktu itu cuma bilang, ‘Njih, Siap!’, saya bilang begitu.” Terang Gus Karim.

Tak berselang lama setelah kampanye Akbar itu, Gus Karim kemudian mencerirakan bahwa ditelpon oleh Pak Jokowi menggunakan ponsel milik Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno.

“Gus, ini Bapak dawuh njenengan nderekke umroh,” terang Gus Karim menirukan suara Pratikno.

Gus Karim tak butuh waktu lama untuk memastikan bahwa dirinya bersedia menemani Jokowi untuk umroh.

Ternyata maksud nduding ke barat itu adalah ajakan Jokowi untuk umroh.

“Saya kemudian disambungkan langsung dengan Pak Jokowi, kata Pak Jokowi: ‘Gus, nanti di sana nggak usah banyak sangu (bekal), cukup baju dua sama sarung dua, semuanya sudah saya siapkan’”

Gus Karim lantas menceritakan kekagetannya saat membaca rundown kegiatan selama di Tanah suci. Tadinya ia hanya mengira akan menemani Jokowi umroh belaka, nyatanya ia ternyata juga diajak untuk mengikuti banyak agenda Jokowi, termasuk kunjungan ke Kerajaan.”

“Wah, lha sarungku cuma dua…” ujarnya sambil terkekeh. Kami ikut terkekeh.

Gus Karim baru tahu bahwa ada agenda masuk ke dalam Kakbah itu dalam perjalanan penerbangan dari King Abdul Aziz ke Jeddah.

“Beliau (Jokowi) beserta keluarga, Ibu Iriana, Mas Gibran, Mas Kaesang, Saya, Pak Muldoko, Gus Rozin, diperkenankan untuk salat empat jurusan di dalam Kakbah.”

“Di dalam Kakbah tu seperti apa nggih, Gus?” tanya Fairuz

“Ya, seingat saya itu, ada batu-batu, ada yang hijau, coklat, merah, seperti batu alam. Kemudian ada batu besar pas di pojokan hajar aswad.” ujar Gus Karim. “Di dalam Kakbah itu, saya mendengar Pak Jokowi berdoa ‘selamatkan Indonesia’, itu.”

“Bukan doa untuk menang ya, Gus?” Tanya Dafi.

“Kalau itu justru saya yang memberanikan diri untuk mendoakan beliau. Saya berdoa ‘menangkanlah Pak Jokowi dan Kiai Ma’ruf Amin’” terangnya. “Beliau mengatakan Amin, Amin, Amin.”

Obrolan kemudian berlanjut dengan bahasan-bahasan lain, termasuk tentang kesibukan Gus Karim dalam Tosky (Tour Sowan Kyai), yang merupakan agenda tour keliling menggunakan motor mengunjungi kiai-kiai di berbagai pelosok daerah di Jawa.

Program Sowan Kiai dengan membahas Tour Sowan Kyai. Sungguh membuat agenda kunjungan kami ke pondok Gus Karim menjadi Tampak seperti sebuah sowankyai-ception.

“Padahal Gus Karim ini kiai, tapi masih tetep sowan kiai,” ujar Dafi. Gus Karim terkekeh.

“Bisa diceritakan nggak Gus (tentang Tosky)?”

“Asal mulanya itu dari munculnya merek motor yang bagus, namanya N-MAX.” terangnya. “Asal mulanya itu.”

“Waktu itu, saya beli satu, karena selain harganya terjangkau, enak, dan juga nyaman.”

“Bisa selonjoran ya, Gus.”

“Iyaaa…”

Tak disangka, ternyata banyak kerabat dan kawan yang juga ikut beli N-MAX. Dari situlah kemudian muncul ide untuk membuat kegiatan touring menggunakan motor N-MAX menemui kiai-kiai di berbagai daerah.

“Sarungan, pakai baju koko, pakai helm, sowan kiai. Awalnya cuma satu kampung, dua kampung, akhirnya menjadi besar.”

Wawancara berlangsung selama setengah jam. Tentu saja ada beberapa obrolan yang dipotong di video maupun di tulisan, sebab dianggap terlalu sensitif. Hahaha.

Setelah wawancara, kami kemudian melanjutkan obrolan singkat di ruang tamu. Di sana, Gus Karim bercerita tentang pengalamannya menjadi seorang kiai.

Salah satu pengalaman uniknya adalah saat dirinya mendapatkan bingkisan dari BI setelah mengisi pengajian di sana.

“Saat itu, saya diberi bingkisan yang kata orang BI-nya, merupakan bingkisan yang berharga tapi tidak bisa dimanfaatkan. Setelah saya buka, ternyata pigura berisi uang dua puluh ribuan yang belum dipotong,” tutur Gus Karim.

Kami tentu saja tertawa mendengar cerita itu.

“Ternyata kelasku cuma dua puluh ribuan.”

Kami kembali tertawa. Keras. Sangat tidak beradab. Tapi tak apa. Ha lucu je.

 

Exit mobile version