Rahasia Peci Miring Bung Karno dan Pohon Kantil di Kediri Saksi Asmara Ayahnya

Rahasia peci miring Bung Karno

Ilustrasi Bung Karno (Mojok.co/Ega Fansuri)

Bung Karno punya kebiasaan memakai peci miring. Bukan tanpa sebab. Semua bermula dari sebuah rumah dengan pohon di depannya yang diberi nama Kanthil Asmara. 

***

Kibaran bendera merah putih dan umbul-umbul menyambut kedatangan saya menuju satu rumah di Dusun Krapak, Desa Pojok, Wates, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Rumah yang menjadi saksi Sukarno, Sang Proklamator menghabiskan masa kecilnya. 

Ndalem Pojok, rumah masa kecil Bung Karno

Siang itu, Kamis (11/08/2022), sampailah saya di situs Ndalem Pojok. Tampak beberapa alas kaki berjejer di depan pintu. Saya masih di tempat parkir samping rumah tersebut, sembari memandangi pohon kantil yang disebut Kanthil Asmara. Pohon kantil yang sudah diawetkan berdiri tegak di depan rumah.

Tak lama kemudian, para pengunjung keluar dari dalam rumah. Saya rasa, mungkin mereka sudah selesai untuk melihat-lihat rumah masa kecil Bung Karno tersebut. Lalu saya masuk ke dalam. 

Suasananya tak jauh berbeda pada saat pertama kali saya mengunjungi rumah tersebut di tahun 2017 silam. Hanya saja beberapa hiasan sudah berganti tempat, berganti baru. Ada pula yang sudah tidak dipasang entah kemana.

Foto-foto lama Putra Sang Fajar dan beberapa barang kuno lainnya seperti keris dan tombak mengisi ruangan tersebut. Beberapa benda yang otentik diberi keterangan tulisan. Seperti kursi masa kecil Sukarno, meja yang dulu digunakan rapat oleh tokoh-tokoh besar dan juga pintu yang dibelikan Sukarno menggunakan uangnya sendiri. 

Selain itu di sana juga terdapat ruangan yang pernah digunakan oleh Bung Karno. Seperti kamar tidur Bung Karno semasa kecil, semasa dewasa, serta ruang baca dari Sang Proklamator tersebut.

Situs Ndalem Pojok Kediri. (M Sirojul Akbar/Mojok.co)

Terdengar salah seorang pengunjung menyebut nama “eyang” kepada seorang wanita yang masih berada di ruang belakang. Maklum, rumah ini dibagi menjadi dua bagian. Ruangan depan digunakan sebagai tempat umum, sedang ruangan bagian belakang digunakan tempat tinggal dari eyang tersebut.

Suratmi (77), wanita yang dipanggil ‘eyang’ tersebut merupakan istri dari mendiang Raden Mas (RM) Haryono, putra dari RM. Sajid Soemodihardjo. 

”Rumah ini dulu milik mertua saya, Mbah Sajid [Sayid, red],” ucap Suratmi yang sudah tinggal di Ndalem Pojok sejak tahun 1963.

Suratmi menceritakan sosok mertuanya itu, bahwa Raden Mas Sajid Soemodihardjo merupakan adik kandung dari Raden Mas Soemosewojo, ayah angkat Bung Karno semasa kecil. Meskipun kakak beradik, tapi Soemosewojo berkedudukan sebagai ayah angkat Bung Karno, sedang Soemodihardjo berusia sebaya dengan Bung Karno.

Soemosewodjo merupakan putra dari RM. Pandji Soemohatmodjo, yang merupakan salah satu pasukan Diponegoro yang melarikan diri ke Kediri pasca-perang Jawa. Eyang Pandji, sebagaimana masyarakat menyebutnya, kemudian membangun rumah di Desa Pojok, Wates, Kediri yang sekarang menjadi Ndalem Pojok. Jadi, kemungkinan besar Ndalem Pojok sudah berdiri sejak pertengahan abad ke-19.

Kanthil Asmara, saksi asmara ayah Bung Karno

Suratmi kemudian juga menyinggung sebuah pohon besar yang sudah mati di depan Ndalem Pojok. Pohon tersebut ada kaitannya dengan kisah asmara orang tua Sukarno. Ayah kandung Sukarno, Raden Soekemi Sosrodihardjo merupakan saudara sepupu dari RM. Soemosewojo. 

Soekemi adalah seorang guru yang mengajar di Bali. Sampai suatu hari, ia jatuh cinta kepada salah seorang penari Bali yang bernama Ida Ayu Nyoman Srimben. Namun, malang cintanya ditolak karena Soekemi karena perbedaan di antara mereka. 

Akhirnya, Soekemi pun meminta bantuan kepada RM. Soemosewojo di Kediri. RM. Soemosewodjo pun membantu Soekemi dengan persyaratan, kelak jika anaknya laki-laki maka ia ingin mengasuhnya. Soekemi sepakat dengan persyaratan tersebut.

“Disuruhlah Pak Soekemi untuk bermeditasi di bawah pohon kanthil,” ucap Suratmi di ruang tamu bagian belakang Ndalem Pojok.

Pohon Kanthil Asmara di Halaman Depan Ndalem Pojok. (M Sirojul Akbar/Mojok.co)

Lantas Soekemi bermeditasi di bawah pohon kantil di depan rumah RM. Soemosewojo. Sampai pada akhirnya salah satu bunga Kanthil menjatuhinya. RM. Soemosewodjo menyuruhnya untuk melemparkan bunga kanthil tersebut ketika Ida Ayu sedang menari.

Konon Soekemi melaksanakan apa yang dikatakan oleh saudaranya tersebut. Ia melemparkan bunga Kanthil kepada Ida Ayu sewaktu ada pementasan tari di Bali. Saran saudaranya itu ternyata berhasil.

Ida ayu mengambil bunga tersebut dan menyelipkan di sela-sela telinganya yang menandai diterimalah cinta dari Soekemi. Lantas kemudian mereka berdua menikah dan tinggal di pulau Jawa.

Bung Karno sendiri dalam autobiografinya  Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat (2011) yang disusun Cindy Adams, bercerita jika ayahnya, Soekemi saat masih muda, bekerja sebagai guru sekolah rendah di Singaraja. Ia jatuh cinta pada Ida Ayu, gadis muda yang bertugas membersihkan pura Hindu setiap pagi dan petang. Cinta keduanya tidak direstui oleh keluarga Ida Ayu karena perbedaan agama. Sampai kemudian, keduanya akhirnya menikah dan pindah ke Jawa.

Bung Karno Kecil di Ndalem Pojok

Setelah perbincangan singkat saya bersama Eyang Suratmi, ia menyarankan untuk menggali informasi lebih dalam kepada anaknya yang bernama RM. Kushartono. Namun, karena anaknya tersebut sedang tidak ada di rumah, maka saya disarankan untuk menemui Pak Mulyani (52). Dia adalah salah seorang yang juga mafhum terkait sejarah dari situs ini.

Saat bersamaan, ada dua orang dari Balitbangda Kabupaten Kediri yang sedang mencari tahu tentang sosok Eyang Panji/RM. Panji Soemohatmodjo. Suratmi menyarankan hal yang sama kepada mereka. Kemudian saya mohon izin untuk bergabung kepada mereka berdua.

“Monggo, mas,” jawab salah satu dari mereka sebelum akhirnya kami bertiga menuju ke rumah Mulyani yang akrab disapa Pak Mul.

Bagian dalam Ndalem Pojok kediri. (Sirojul Akbar/Mojok.co)

Kami menunggu cukup lama, karena Pak Mul sedang menjemput putrinya di sekolah. Setelah beberapa saat, Pak Mul datang menyambut kami. Kami langsung menjelaskan maksud dan tujuan lebih lanjut mengenai Situs Ndalem Pojok.

“Koesno ketika masih kecil fisiknya sakit-sakitan,” ucap Mulyani mengawali perbincangan awal mula Sukarno berada di Ndalem Pojok.

Lanjut cerita dari Pak Mul, dulunya Sukarno memiliki nama asli Koesno. Karena ia sering sakit-sakitan, akhirnya Koesno kecil dibawa kepada seorang tabib yang bernama Den Mas Mendung, di Jombang. Namun, Den Mas Mendung bersedia mengobati Koesno asal yang mengantarkan bukan orang tuanya.

Setelah dibawa kepada Den Mas Mendung, kesehatan Koesno perlahan mulai membaik. Sebagai bentuk terima kasih kepada Den Mas Mendung, orang tua Koesno ingin bertemu langsung dengan tabib tersebut. Namun, Den Mas Mendung enggan membukakan pintu untuk mereka.

Setelah beberapa saat, akhirnya Den Mas Mendung bersedia membukakan pintu. Kedua orang tua Koesno malah kaget, ternyata Den Mas Mendung adalah nama lain dari RM. Soemosewojo. Sehingga berdasarkan kesepakatan awal, maka Koesno kecil diserahkan kepada RM. Soemosewojo untuk diasuh dan dibawa ke Ndalem Pojok, Kediri.

“Pada usia 2 tahun sampai 7 tahun,” ucap Pak Mul dengan rinci.

Kemudian, RM. Soemosewojo mendapatkan isyarat untuk mengganti nama Koesno. Akhirnya hal tersebut dimusyawarahkan dengan kedua orang tua Koesno dan disepakatilah nama Koesno diganti menjadi Sukarno. Pergantian nama tersebut juga dilakukan di Ndalem Pojok.

Peci miring Sukarno

Sukarno kecil seperti anak-anak desa pada umumnya, dia bermain bersama teman-teman di desa Pojok. Bahkan, Sukarno pernah terjatuh dari pohon beringin di depan Ndalem Pojok yang mengakibatkan cedera di bagian kepala. Hal itu yang kemudian menjadikan Sukarno memakai peci miring guna menutupi bekas luka tersebut.

Tugu yang menandakan tempat Bung Karno jatuh. (Sirojul Akbar/Mojok.co)

Ketika menginjak usia 7 tahun, Sukarno diserahkan kembali kepada orang tuanya guna meneruskan pendidikannya. Sekolah Sukarno berpindah-pindah dari kota ke kota.

“Pernah di Tulungagung, Sidoarjo, SMP-nya di Mojokerto, dan ketika SMA baru beliau kos di tempat Pak Cokro Surabaya(HOS Cokroaminoto),” ujar Pak Mul .

Setelah Sukarno menjadi  presiden, ia masih sering mengunjungi Ndalem Pojok. Pada tahun 1946, Bung Karno memboyong keluarga Ndalem Pojok ke Istana Yogyakarta dengan menjadikan RM. Soemodihardjo sebagai kepala bagian rumah tangga istana.

Atas jasa keluarga Ndalem Pojok dan sebagai saksi perjalanan hidup Sukarno, maka dijadikanlah rumah Ndalem Pojok sebagai situs yang diresmikan oleh Yayasan Bung Karno pada tahun 2015. 

Tiga tahun berikutnya, Ndalem Pojok ditetapkan statusnya sebagai peninggalan cagar budaya oleh Pemerintah Kabupaten Kediri. Sampai saat ini, situs Ndalem Pojok masih ramai dikunjungi wisatawan.

Reporter: Mohammad Sirojul Akbar
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA: Kasman Singodimedjo, Menagih Janji 7 Kata Piagam Jakarta pada Sukarno

Exit mobile version