Kopi Lemah Abang memilih listrik tenaga surya ketimbang dialiri listrik PLN. Mereka punya prinsip ingin lebih selaras dengan alam di sekitarnya. Tak ingin membangun bangunan megah di tepi sawah.
***
Dua perempuan paruh baya yang mengenakan baju sama-sama biru sedang asyik berbincang depan tempat saya baru saja singgah. Mereka tampak nyaman bercengkrama di luar ruang, terpapar sinar matahari yang hanya sedikit terhalangi rindang pepohonan.
Senin (18/7/2022) menjelang zuhur, ada beberapa rombongan yang datang di Kopi Lemah Abang yang terletak di Gedongan, Bangunjiwo, Kasihan, Bantul. Awalnya, saya kira tengah siang begini, ngopi di tempat yang cukup terbuka akan membuat keringat bercururan. Apalagi, tempat ini hanya punya satu kipas angin di dalam ruang yang ukurannya tak begitu besar. Terkesan menghemat listrik sekali.
Tapi setelah lima belasan menit singgah di sini, nyatanya embusan angin yang terus datang membuat teriknya siang tak jadi soal. Sisi selatan kedai ini langsung berbatasan dengan hamparan ladang dan sawah yang ujungnya adalah perbukitan. Angin berembus dari arah sana, menggerakkan daun-daun kering yang berserakan.
Sepintas memang ini tampak seperti tempat ngopi di pinggir sawah biasa. Namun, ternyata, jika diamati lebih jeli, ada beberapa beberapa hal mendasar yang berbeda dari kebanyakan warung kopi di pinggir sawah yang mengandalkan nuansa alam sebagai nilai jualnya.
Mata saya beredar melihat ke sekitar. Bangunan Kopi Lemah Abang didominasi dengan kayu dan mengusung konsep jawa. Tampak bukan bangunan permanen. Sebagian besar kursi, termasuk yang saya diduduki juga terbuat dari ban bekas. Area sekitar bangunan juga dibiarkan bertanah tanpa dicor semen atau ditumpuki paving.
Sembari mencicipi kopi luwak robusta seharga tiga belas ribu rupiah yang sudah tersaji di meja, saya mengirim pesan ke pemilik warung ini. Mengabarkan kehadiran saya. Sebelumnya saya sudah membuat janji akan berkunjung ke sini.
Tak berselang lama, sepasang suami istri pemilik Kopi Lemah Abang tiba dan menghampiri tempat duduk saya. Bertukar sapa sejenak lalu berbincang banyak mengenai tempat usaha mereka ini.
Sang istri, Nining Sugiatmini (44) mengawali cerita dengan menjelaskan alasan mengapa Kopi Lemah Abang terkesan menghemat listrik. Ternyata warung ini dialiri listrik dengan tenaga surya berdaya 1300 watt. Tanpa menggunakan listrik PLN sama sekali. Buat Nining, letak usahanya di alam terbuka dengan sinar matahari melimpah membuatnya tergerak untuk memanfaatkan energi ramah lingkungan.
“Di sini kan banyak sinar matahari. Ruang terbuka di sawah, kenapa kita nggak manfaatin? Kita kan tropis, panasnya banyak, bisa memaksimalkan dan menyatu di alam,” ujarnya semangat.
Buka usaha di tengah sawah boleh, tapi harus benar-benar menyatu dan selaras dengan alam sekitar. Itulah prinsip Nining yang diterapkan pada usahanya ini. Tentu ia harus merogoh kocek lebih dalam untuk biaya awal pemasangan seperangkat tenaga surya dibandingkan menggunakan listrik PLN.
“Harga aki aja sudah tiga juta, Mas,” kata Nining.
Belum lagi biaya inventer, controller, kabel, dan instalasi yang kalau ditotal mencapai Rp7 juta rupiah. Namun, bagi sang pemilik, biaya awal yang harus dikeluarkan sebanding dengan apa yang mereka inginkan. Setelahnya, mereka tak perlu bayar listrik bulanan dan usaha mereka bisa lebih ramah lingkungan.
Saat terjadi pemadaman listrik PLN, warung ini juga tetap bisa beroperasi dengan lancar tanpa perlu bantuan genset. Pernah suatu ketika listrik padam, deretan kedai kopi di area ini pun seperti ikut mati, namun Kopi Lemah Abang tetap menyala. Lantunan musik jawa yang selalu diputar melalui pengeras suara di warung ini pun tak berhenti.
“Berkat penyimpanan energi di baterai, kita jadi tetap ingar bingar walaupun yang lain padam,” ujar Nining tertawa.
Bagaimanapun, tenaga yang disokong dari sinar matahari ini tidak sesempurna jika menggunakan aliran listrik PLN. Daya 1300 watt tidak selalu penuh, sehingga Kopi Lemah Abang memang harus serba efisien dalam penggunaan alat-alat elektronik.
Tak ada pendingin, makanan fresh semua
Tak ada lemari pendingin di sini. Listrik difokuskan untuk mengaliri pompa air, lampu, satu kipas angin, grinder kopi, dan blender untuk membuat jus yang kadang dibutuhkan.
“Karena tidak ada freezer, jadi kami mengandalkan makanan fresh semua,” tambah Nining.
Untuk menanak dan memanaskan nasi, warung ini mengandalkan tungku pawon bermodalkan kayu bakar yang diletakkan di sebelah kanan pintu masuk. Peletakan pawon di depan juga bukan tanpa alasan.
“Itu jadi simbol, hidup itu nek kata simbah dulu, bangun pagi ya cethik geni ning pawon nggo nggodok wedang,” celetuknya.
Ketiadaan freezer membuat bahan atau makanan sisa di hari itu, misalnya ayam atau mangut lele yang jadi andalan warung ini, diberikan pada karyawan yang kini jumlahnya empat orang. Sehari, warung ini hanya menyiapkan 2-3 kilogram lele untuk menu mangut andalannya. Lantaran tak ada mesin pendingin. Sebenarnya bisa lebih banyak, namun saat ada reservasi saja.
Selain itu, es untuk minuman dingin mereka beli dari warga sekitar. Begitu pula dengan kayu bakar. Hal ini buat Nining justru bisa lebih memberdayakan masyarakat dekat tempatnya membuka usaha.
Sang suami, Suharyanto (53) lalu menimpali bahwa ia juga enggan membuat bangunan warungnya dibuat tembok permanen. Area sekitar bangunan juga ia biarkan beralas tanah tanpa konblok atau cor-coran semen. Tanah seluas seribu dua ratus meter ini ia sewa selama enam belas tahun dengan biaya Rp10 juta pertahunnya sejak tahun 2020 lalu.
“Rumput kita potongin aja ga dikonblok atau dicor. Biar alami dan nggak panas di mata. Lebih baik begitu,” ujarnya sambil menunjuk-nunjuk area sekitar.
Konsep nuansa alam dan bangunan yang terbuka memang sejak awal jadi ‘penyelamat’ bagi Kopi Lemah Abang. Suharyanto bercerita bahwa niat awalnya buka usaha ini sempat terganjal pandemi, namun ia tetap nekat buka di menjelang akhir tahun 2020.
Namun, keraguan awal di masa pandemi ternyata tak terbukti. Awal buka, Suharyanto mengaku usahanya malah ramai.
“Mungkin karena konsepnya terbuka dan banyak sirkulasi udara. Saat pandemi kan itu yang dicari orang,” ujar Haryanto.
Kritik untuk tren kopi di tepi sawah
Di deretan jalan tempat Kopi Lemah Abang berdiri, sudah banyak kedai-kedai kopi lain yang buka. Konsepnya mungkin serupa, nuansa alam dengan mengandalkan pemandangan indah di sisi selalatan jalan ini. Namun Kopi Lemah Abang teguh dengan pendiriannya, ingin selaras dengan alam, mengandalkan listrik tenaga surya dibanding listrik PLN dan prinsip ramah lingkungan lainnya.
Suharyanto punya alasan sederhana mengapa ia ingin membangun usaha dengan konsep ramah lingkungan semacam ini. Ia cuma ingin membuka warung yang ‘hijau’, banyak pohonnya, dan asri. “Saya memang senang lihat yang ijo-ijo,” katanya dengan sedikit tertawa.
Lain halnya dengan Sang Istri, yang punya lebih banyak alasan di balik pendirian Kopi Lemah Abang. Nining punya kegelisahan tentang isu lingkungan. Menurutnya, banyak usaha yang mengandalkan alam sebagai daya tarik, tapi tidak banyak memberikan timbal balik.
“Saya sih sebenarnya ikut senang banyak kafe nuansa alam. Itu membantu ekonomi dan kearifan lokal, tapi kalau bisa jangan merusak alam dan bisa melestarikan budaya. Konsep bangunan dan segala isinya kalau bisa jangan terlalu njeglek dengan alam sekitarnya, harus sesuai,” katanya sambil menyesap rokok yang baru ia nyalakan.
Kopi Lemah Abang punya keinginan agar selaras dengan alam sekitar yang jadi penopangnya. Bangunan yang sederhana ini jadi upaya agar tak terlalu kontras dengan kondisi sekitarnya. Tak hanya itu saja, tempat ini juga meniadakan sedotan plastik dan sedikit mengorbankan efisiensi demi prinsipnya tadi.
“Saya jarang membolehkan orang bungkus sayur, karena menghindari plastik. Kalau bawa bungkus pakai tupperware sendiri monggo. Lain kalau tumisan, bisa pakai daun sama kertas minyak. Sampah kita banyaknya ya daun sama kertas, yang notabene mudah diurai,” tambah Nining.
“Konsekuensinya memang efisiensi dikorbankan sedikit, ini udah jadi komitmen,” sambungnya.
Namun, pasangan ini juga punya kompromi. Di sisi barat bangunan Kopi Lemah Abang, mereka sedang membangun homestay. Berbeda dengan warung kopinya, homestay itu membutuhkan listrik yang lebih besar untuk kebutuhan pendingin ruangan. Alhasil tak kuat ditopang tenaga surya yang dayanya terbatas. Maka mereka berkompromi dengan menggunakan listrik PLN. Meski menurut mereka, sama-sama mengusung konsep tradisional Jawa dengan kayu tanpa tembok permanen.
Jeda perbincangan, saya mencoba menu prasmanan di warung ini. Mangut lele menggunakan nasi merah dan sedikit tambahan kikil. Siang ini, menikmati mangut lele yang lembut dan tak terasa amis sembari menikmati panorama di sekitar, rasanya saya jadi malas untuk cepat beranjak.
Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA: Warung Kopi Tanpa WiFi dan Seorang Pakde yang Mau Mendengar Ceritamu