Di gang satu atau gang paling timur di Jalan Pasar Kembang, Sosrowijayan, Kota Yogyakarta terdapat sebuah toko buku legendaris bernama The Lucky Boomerang Bookshop atau Toko Buku Bumerang Bejo. Toko buku ini sudah berdiri sejak tahun 1995.
Sejak awal berdiri, Lucky Boomerang hanya menjual buku-buku bekas berbahasa asing, target pasarnya para turis yang kerap singgah di area Sosrowijayan. Kini turis asing tak seramai dulu. Namun sang pengelola punya sumber kebahagiaan yang membuatnya terus mempertahankan toko buku ini.
***
Jumat awal Agustus lalu menjelang jam tiga sore, saya berjalan membelah pemukiman padat di Gang 1 Jalan Pasar Kembang. Sepanjang jalan, para warga nampak beraktivitas di teras rumahnya. Ada yang sedang duduk membaca koran, merokok santai, sampai ibu-ibu yang sedang berkumpul dan berbincang serius.
Langkah saya terhenti setelah berjalan sekitar seratus meter lima puluh meter dari pintu masuk gang di sisi utara. The Lucky Boomerang Bookshop yang saya tuju sudah ada di depan mata. Tampak dua perempuan muda di dalam. Satu sibuk memilah dan satunya lagi nampak sedang membaca sebuah buku pilihannya. Rak penuh buku tampak dari luar lantaran bagian depan toko ini dari kaca tembus pandang.
Saya masuk dan ikut melihat berbagai judul buku. Sebagian besar tidak familiar bagi saya. Hanya beberapa penulis di sana yang saya tahu. Pernah membaca bukunya, meski edisi terjemahan bahasa Indonesia.
Tak berselang lama, dua perempuan itu usai memilih bukunya dan membayar ke wanita paruh baya yang duduk di meja kasir. Dua perempuan muda ini bernama Mayda dan Rosa. Saat saya tanya, mereka berdua mengaku berasal dari Surabaya dan sedang berlibur ke Jogja.
Mayda memilih buku The Killer in My Eyes karya Giorgio Faletti sedangkan Rosa menenteng The Bride Stripped Bare karya Nikki Gemmell, penulis berkebangsaan Australia. Judul-judul itu tak secara sengaja mereka pilih. “Tadi baca-baca aja, ini dari deskripsinya kayaknya interesting,” kata Mayda.
Mereka berdua mengaku tahu Lucky Boomerang berkat rekomendasi dari seorang teman yang sebelumnya pernah berkunjung. Akhirnya saat berkesempatan ke Jogja, mereka sempatkan ke sini.
“Dulu direkomendasiin. Tapi aku kira emang agak luas tempatnya. Ternyata kecil dan ada gift shop-nya juga. Jadi ini beli postcard deh,” terang perempuan satunya, Rosa.
Mereka beranjak pergi. Toko ini pun kembali sepi. Saya kembali melihat koleksi buku di toko ini. Selain buku, memang banyak pernak-pernik kerajinan khas toko oleh-oleh wisatawan. Mulai dari topeng kayu, postcard, dan berbagai kerajinan lain dari kayu dan logam.
“Kalau yang itu apa ya Bu?” tanya saya sambil menunjuk sebuah etalase berisi kalung di dinding yang tertutup kaca.
“Oh itu, kerajinan dari perak Mas. Dari Borobudur Silver di Jalan Menteri Supeno,” ujar sang ibu tanpa beranjak dari duduknya.
Setelah puas melihat barang-barang koleksi di sini, saya duduk di satu kursi yang tersedia dan mengajak sang ibu berbincang. Perempuan paruh baya penjaga toko sekaligus pemilik Lucky Boomerang ini bernama Sri Winarni. Usianya kini lima puluh lima tahun.
“Saya kelahiran 67,” ucapnya lirih.
Bermula dari hobi membaca sang adik
Lucky Boomerang tidak menjual buku berbahasa Indonesia sama sekali. Sebagian besar yang dijual buku berbahasa Inggris. Namun, ada juga yang berbahasa Prancis, Italia, hingga Belanda.
Meski begitu, perempuan yang akrab disapa Wina ini ternyata tidak lancar membaca dalam bahasa Inggris. Apalagi bahasa-bahasa asing lain, seperti buku-buku yang ada di tokonya. Beragam koleksi buku terpajang di empat rak dari bambu.
Wina mengaku menyortir koleksi dan memahami isi buku sekadar dari deskripsi singkat yang ada di kover belakang. Untuk membaca, ia bisa sedikit, tapi hanya untuk buku-buku nonfiksi lantaran menurutnya, buku fiksi berbahasa Inggris sulit ia cerna.
“Saya kadang baca sih sedikit. Kalau nonfiksi seperti biografi agak paham. Tapi kalau fiksi, itu lumayan susah ya untuk dipahami,” terangnya.
Bahkan untuk bercakap bahasa Inggris, Wina mengaku terbata-bata. “Saya cuma bisa seadanya saja, untuk transaksi,” tuturnya.
Ternyata, ide menjual buku bekas berbahasa asing datang berkat kebiasaan membaca sang adik. Adik Winarni dulu mempunyai banyak koleksi buku, mayoritas berbahasa Inggris. Koleksi buku yang banyak tergeletak di rumah memunculkan ide untuk menjualnya.
Ide tersebut membawa Wina ke Sosrowijayan. Kawasan yang dulu dikenal sebagai Kampung Turis di Jogja. Ia menyewa toko kecil ini sejak tahun 1995 lantaran tempat tinggalnya sendiri berada di Pakem, Sleman.
Dulu, koleksi toko ini awalnya adalah buku-buku bekas milik sang adik yang kini telah hijrah dan menetap di Sydney, Australia. Filosofi penamaan toko buku ini, juga tak lepas dari sang adik.
“Iya kebetulan adik di Australia yang khas dengan boomerang. Tapi filosofinya, bumerang itu kan kalau dilempar kembali lagi, itu seperti konsep yang dari toko ini. Sedangkan Lucky itu ya keberuntungan, kami berharap toko ini bisa membawa keuntungan,” ujarnya.
Konsep yang Wina sebut tertera di sebuah catatan yang menempel di rak buku. Setiap buku yang dibeli bisa dijual kembali di toko ini dengan harga lima puluh persen dari pembelian awal. Selain itu, Lucky Boomerang juga berkenan membeli buku bekas berbahasa asing yang tidak berasal dari sini.
Kerap ada turis yang menjual kembali buku yang dibeli di sini. Hal itu karena buku tersebut hanya dibaca selama berkunjung ke Indonesia.
“Mereka (turis asing) memang kalau punya buku tidak disimpan. Liburan selesai jual lagi, kadang juga ditukar dengan buku lain. Kadang seminggu di Indonesia saja mereka bisa menghabiskan satu buku,” kenang Wina.
Menurut ibu tiga anak ini, dahulu tipikal turis di Sosrowijayan agak berbeda dengan yang biasa ada di Prawirotaman (kawasan turis mancanegara lain di Jogja). Di Sosrowijayan, kebanyakan merupakan backpacker yang bepergian dengan budget yang lebih efisien.
“Dulu sih begitu, kalau sekarang mungkin lebih merata ya persebaran turisnya,” katanya.
Sebelum era internet dan media sosial pesat berkembang, turis banyak memburu buku-buku panduan perjalanan. Namun belakangan, menurut sang pengelola tak ada genre buku bahkan penulis yang secara spesifik kerap diburu.
Setiap jeda perbincangan, suasana di sini hening sekali. Tak terdengar suara kendaraan lantaran di gang ini mesin motor harus dimatikan. Hanya terdengar suara gerakan berputar tak mulus dari kipas tua yang menempel di atap.
Wina sudah terbiasa menjaga toko ini sendiri. Dulu, suaminya dan anak-anaknya kerap bergantian menemani. Namun, kini mereka sudah tidak bisa lagi.
“Suami saya meninggal tahun 2011 lalu,” katanya lirih.
Sedangkan tiga anak perempuan Wina sudah dewasa. Dua di antara mereka sudah berkeluarga. Sedangkan anak terakhirnya, kini sedang menempuh studi musik di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Sudah semester tujuh.
“Nanti malam, anak saya berangkat ke Jakarta. Mau persiapan jadi tim orchestra hari kemerdekaan di Istana,” ucapnya antusias.
Sang suami, dahulu merupakan perajin alat musik dari kayu. Seperti mendiang suami, Wina juga kerap membuat kerajinan tersebut.
“Alat musik dari kayu dan bambu seperti suling dan kendang. Itu juga buatan saya,” ujarnya sambil menunjuk kendang kecil yang terpajang di rak.
Pandemi yang menghantam dan kebahagiaan yang membuat bertahan
Seorang diri, kini Wina masih tetap terus menjaga toko buku ini. Lucky Boomerang buka setiap hari Jumat, Sabtu, dan Minggu dari pukul sebelas hingga lima sore.
“Dulu buka setiap hari, sejak pandemi jadi buka tiga hari saja. Saya jaga sendirian. Sejak pandemi juga jadi sepi,” tuturnya.
Tak hanya toko buku ini yang terkena imbas pandemi. Deretan losmen dan restoran sepanjang gang ini juga tak semuanya buka. Padahal, menurut Wina, keberadaan losmen dan restoran itu membuat banyak turis mampir ke tempatnya.
“Dulu kan banyak orang asing yang makan atau menginap di sekitar sini, mereka jadi ngelirik toko buku ini dan mampir. Sekarang restoran pada tutup,” keluhnya.
Sejak kepergian dua perempuan tadi, belum ada lagi pengunjung yang singgah ke Lucky Boomerang. Saya juga tak melihat ada wisatawan yang lewat di gang dari tadi.
“Itu mbaknya tadi pengunjung pertama yang datang hari ini sejak buka jam 11 tadi,” terangnya.
Meski di tengah sepi yang mendera hampir setiap hari, Wina mengaku punya keinginan untuk mempertahankan Lucky Boomerang yang sudah ia kelola lebih dari dua dekade ini. Sambil menerka perubahan zaman dan kekuatan fisiknya yang sudah tak muda lagi.
Baginya, selain soal uang, menjaga toko ini sudah menjadi hobi. Urusannya di rumah sudah selesai sehingga banyak waktu luang yang perlu diisi.
Ia mengaku punya kebahagiaan saat bisa berjumpa dengan banyak orang dengan beragam latar belakang di Lucky Boomerang. Kadang kala, ada pelancong asing yang kembali datang kembali setelah bertahun-tahun.
“Ada kadang, turis yang datang kembali setelah bertahun-tahun. Mereka bilang dulu datang saat masih kuliah dan tidak menyangka tokonya masih ada,” kenangnya.
Selain itu, ia begitu bahagia saat ada remaja yang datang ke sini. Mencari buku berbahasa asing untuk dibaca.
“Saya senang kalau ada anak SMA masuk sini. Cari novel bahasa asing. Saya tanya sekolah di mana dan mau lanjut ke mana. Mereka jawab ingin melanjutkan ke luar negeri cari beasiswa. Saya rasanya senang banget. Mereka kan cari buku untuk belajar juga. Itu membuat saya bahagia,” meski tak melepas masker, dari sorot mata di balik kacamata, nampak Wina bahagia saat menjelaskannya.
Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono