Mojok ngobrol dengan Shavitri Nurmala Dewi, Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kabupaten Sleman yang menjabat sejak pertengahan 2022. Evie, sapaan akrabnya, merupakan Kepala Satpol PP perempuan pertama di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Banyak tantangan yang harus ia hadapi selama dipercaya menjadi pemimpin instansi yang kerap dianggap ‘garang’ oleh masyarakat ini. Belum sebulan menjabat, ia sudah harus mengurus dua perkara genting di Kabupaten Sleman. Persoalan Holywings dan pesta bikini Tapi segenting apa pun persoalannya, ia ingin instansinya tak sekadar dicap tukang gebuk semata. Berikut kisahnya.
***
Siang itu, Kamis (22/12) situasi Kantor Satpol PP Sleman yang sedang lengang tiba-tiba menjadi sedikit ramai. Terdengar diskusi beberapa petugas di sebuah ruang. Tak berselang lama, dua petugas melangkah ke ruang tengah, masing-masing menenteng satu kardus besar.
Kardus itu berisi minuman beralkohol. Tampak dari logo jenama yang ada di kemasannya. Satu kardus terisi penuh salah satu merk bir dari Bali dan satu lagi soju-arak khas korea yang sudah banyak dibuat versi halalnya itu.
Melihat dua anak buahnya menenteng barang sitaan itu, Evie yang tengah duduk nyaman di sofa ruangan kerjanya, sekonyong-konyong berdiri. Ia mendekat lalu membuka lebar pintu ruangan yang tadinya cuma terbuka separuh.
“Mau dibawa ke kejaksaaan?” ujarnya ramah.
Dua anak buahnya itu berhenti. Menoleh ke arah Evie lalu mengiyakan ujaran tadi. Mereka lalu sedikit berdiskusi tentang barang dari sebuah lapak penjual minuman beralkohol tanpa izin hasil operasi beberapa hari lalu itu.
Para petugas itu lalu melenggang ke luar gedung, Evie pun kembali ke ruangannya. Duduk di sofa dengan tenang. Hari ini ia mengenakan setelan yang cukup santai. Baju batik, celana kain berwarna krem, dan sepatu kets yang menunjang kenyamanan gerak di tengah mobilitasnya yang padat.
Di kolong meja kerjanya terlihat beberapa pasang sepatu dengan fungsi yang berbeda-beda. Mulai dari sepatu boots, sepatu high heels, hingga sepatu kasual.
Setelah menyamankan diri dengan duduknya, Evie mulai bercerita. Ia menerangkan kalau minuman beralkohol tadi didapat dari sebuah tempat yang sudah lama diincar Satpol PP Sleman. Sebenarnya, tempat itu hanyalah sebuah lapak kaki lima di pinggiran jalan.
“Sudah kami incar dari Juni, tapi kecekal baru seminggu yang lalu. Penjualnya licin sekali,” keluhnya.
Beberapa kali, pihaknya sudah melakukan pemantauan. Jam tiga sore warung itu mulai buka. Saat hari mulai petang, aktivitas masih terlihat normal. Akan tetapi tak lama setelah isya, setiap Satpol PP sedang memantau, tiba-tiba saja warung itu tutup. Penggerebekan biasanya dilakukan malam ketika transaksi jual beli banyak dilakukan.
Padahal, Evie mengaku sudah berupaya meminimalisir kebocoran informasi setiap hendak melakukan operasi. Biasanya memang berbagai elemen seperti Kepolisian, Datasemen Polisi Militer (Denpom), hingga TNI turut hadir dalam diskusi jelang operasi yang akan dilakukan Satpol PP.
Ketika ditanya tentang target operasi oleh pihak-pihak yang hadir, biasanya Evie tidak membeberkan detailnya. Namun, tetap saja sang penjual miras terkesan bisa mengetahui sesaat menjelang penggerebekan dilakukan.
“Saya sampai heran,” ujarnya geleng-geleng kepala.
Namun, saat pihaknya mulai mengalihkan fokus dari warung itu, kesempatan untuk meringkus datang tanpa perencanaan. Awalnya, Satpol PP Sleman hendak melakukan operasi ke sebuah salon spa.
“Rutenya memang lewat warung itu. Tidak disangka kebetulan warungnya buka, akhirnya kami serbu. Kena deh,” ujarnya tertawa.
Setelah negosiasi alot dengan penjual miras, akhirnya barang bukti bisa disita. Evie sebagai Kepala Satpol PP memilih untuk menyidangkan kasus ini demi memberikan efek jera. Sesuai prosedur, barang bukti pun diserahkan ke pihak kejaksaan.
Evie memang belum begitu lama berkecimpung langsung di dunia Satpol PP. Baru setengah tahun, tapi perjalanan singkat ini membuatnya sadar bahwa hiburan malam dan alkohol memang ranah dengan banyak tangan dan kepentingan. Proses menegakkan Peraturan Daerah (Perda) yang dimandatkan kepada pasukan berseragam coklat ini tidak selalu berjalan mulus seperti yang dibayangkan.
“Ya, tapi kita niatkan menjalankan tugas dengan baik saja,” ucapnya sambil menghela nafas.
Tak terbayang menjadi kasatpol PP perempuan pertama di DIY
Evie lahir di Malang pada 1966. Sejak kecil, hidup anak pertama dari lima bersaudara ini berpindah-pindah menyesuaikan dinas kedua orang tuanya. Hal itu, membuatnya tak asing lagi dengan lika-liku seorang pegawai negeri.
Evie menikah cukup muda. Saat masih semester pertama kuliah di Antropologi UGM, ia sudah dipersunting lelaki yang merupakan kakak dari temannya. Usia sang suami terpaut sepuluh tahun sehingga ingin segera menikah.
“Tapi saya punya syarat saat itu. Pokoknya saya tidak mau dibatasi untuk lanjut pendidikan. Boleh sesuka saya sekolah. Ternyata dia mau, akhirnya, kami menikah tahun 1985,” kenangnya.
Menikah di usia muda ternyata tidak menghalangi karir dan pendidikannya. Sejak 1993, Evie mulai bertugas di Pemkab Sleman. Ia mengawali karir di bidang hubungan masyarakat. Salah satu tugasnya utamanya, mengurus beragam hal yang berkaitan tentang komunikasi terhadap media dan masyarakat.
Tapi posisinya di sana tidak berlangsung lama. Pada 1996, Evie dipindahkan ke Dinas Pariwisata. Saat berada di dinas yang juga strategis ini, ia berkesempatan menempuh studi lanjut ke Nagoya University, Jepang. Ia mendapatkan gelar Master of Arts (MA) di bidang sosial politik setelah menempuh masa studi pada rentang 2001-2003.
Sepulang dari Jepang, ia kembali bertugas di Dinas Pariwisata. Mengemban beragam jabatan hingga terakhir sempat menjadi Kepala Bidang Pengembangan Destinasi Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Dinas Pariwisata Sleman.
Belasan tahun di Dinas Pariwisata, pada 2019 Evie diberi amanah menjadi Kepala Bagian Humas dan Protokol Pemkab Sleman. Saat itu, tak terbayang sama sekali di benak Evie, bahwa beberapa tahun setelahnya ia akan didapuk menjadi Kasatpol PP perempuan pertama di DIY.
Pada Mei 2022, saat ditunjuk oleh Bupati Sleman Kustini Sri Purnomo, sebagai Kepala Satpol PP, ada keraguan di hati Evie. Meski pernah beberapa kali bersinggungan saat berada di Dinas Pariwisata maupun Humas dan Protokol, ada beberapa kebingungan terkait relasi antara Satpol PP dengan Polri dan TNI dalam menjalankan tugas.
Ia masih asing dengan kerja di instansi yang ia sebut bergaya semi militer ini. Kendati dihuni oleh para PNS, Evie merasakan betul rantai komando di Satpol PP tidak jauh dari TNI dan polisi.
Selain itu, ia juga tak mengira bakal berada di instansi yang dulu sesekali jadi guyonan rekan-rekannya. Instansi yang dianggap kerjanya pakai otot saja dan suka main kekerasan. Ketika mendengar guyonan-guyonan itu, ia dulu sering abai dan merasa biasa saja.
Namun, segala keraguan ia kesampingkan. Baginya, sebagai PNS harus siap mengemban amanah dan posisi yang diberikan. Terlebih, tak lama lagi ia akan memasuki masa pensiun pada 2024 mendatang. Praktis, maksimal ia hanya akan menjabat sebagai Kepala Satpol PP selama dua tahun.
“Ternyata ketika masuk ke sini, saya merasa dan menyadari bahwa Satpol PP tidak sepenuhnya seperti yang dicitrakan media kebanyakan,” papar ibu dua anak ini.
Kehadiran Evie di posisi yang ia duduki juga jadi hal baru. Belum pernah ada perempuan di DIY yang menjabat sebagai Kepala Satpol PP. Namun, itu juga tidak membuatnya merasakan hambatan berarti. Kuncinya terletak pada kemampuan kerja sama dan komunikasi yang baik dengan setiap anggotanya.
“Ditambah lagi, pengalaman di Dinas Pariwisata dan Humas Protokol. Kebetulan saat menjadi Kabag Humas Protokol juga sering bekerja sama dengan Satpol PP karena bertepatan dengan pandemi. Saya jadi Ketua Juru Bicara Satgas Covid-19 Sleman,” jelasnya.
Baca halaman selanjutnya
Diuji kasus Holywings dan Bikini Party
Diuji kasus Holywings dan Bikini Party
Saat pertama kali melihat sosoknya, Evie jauh dari bayangan saya. Gambaran sosok pemimpin Satpol PP yang galak tidak tampak dari pembawaannya. Cara bicaranya tertata, menjelaskan beragam hal dengan jelas dan artikulatif. Tenang dan jauh dari kesan meledak-ledak.
“Saya sempat dianggap kurang galak buat jadi Kepala Satpol PP,” ujarnya tertawa.
Ia merasa perlu membuat garis pembeda yang jelas antara galak dengan tegas, humanis dengan rasa iba. Buatnya, semua sikap itu dilandasi dengan semangat penegakan aturan dengan komunikasi yang baik.
Kemampuannya dalam bersikap dan mengatasi situasi genting langsung diuji saat masa jabatannya belum genap sebulan. Sleman memang tergolong daerah dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di DIY. Pergerakan sektor wisata dan hiburan melaju kencang. Banyak dinamika yang terjadi dan harus ditangani, termasuk bagi Satpol PP.
Ia ingat betul, baru beberapa hari dilantik langsung mendapat laporan yang cukup membuat geger. Ada keluhan terkait poster agenda bikini party yang hendak dilaksanakan di sebuah tempat di Jalan Palagan, Sleman.
“Acara itu hendak dilaksanakan Minggu malam. Saya dapat laporannya Minggu pagi,” kenangnya.
Ia langsung mencoba mengonfirmasi kebenaran agenda itu. Berkoordinasi dengan beberapa pihak berwenang dan akhirnya diputuskan untuk membubarkan acara yang dianggap kurang sejalan dengan nilai-nilai masyarakat Sleman tersebut.
“Rumah saya kebetulan dekat, habis magrib saya mau berangkat duluan. Sudah semangat, tapi disuruh menunggu yang lain,” ujarnya dengan tawa tipis.
Usai menunggu rekan Satpol PP dan Polsek setempat, mereka pun mendatangi lokasi tersebut. Melakukan komunikasi dan berakhir dengan pembubaran acara yang menurut Evie dihadiri sejumlah ekspatriat. Pihaknya juga menyita sejumlah botol minuman keras
“Ya buat acara begini sebenarnya tidak apa-apa. Tapi untuk di Jogja, psikologis masyarakat belum cocok. Apalagi ada poster yang tersebar. Mungkin di Jakarta atau Bali bisa-bisa saja. Di Jogja jangan dulu,” paparnya.
Terkadang, tekanan dari sejumlah kalangan masyarakat membuat Satpol PP harus segera bertindak. Tak lama setelah itu, muncul lagi sebuah kehebohan yang menuntut Evie bersikap taktis sekaligus berhati-hati.
Di Akhir Juni, promosi yang dibuat tempat hiburan malam Holywings pusat di Jakarta mendapat banyak kecaman. Promosi minuman keras (miras) bagi mereka yang bernama Muhammad dan Maria dianggap melecehkan umat beragama. Outlet Holywings di berbagai daerah, termasuk Jogja pun kena imbasnya.
“Situasinya bergejolak di tingkat nasional. Kami juga mendapat tekanan dari ormas. Cukup intimidatif, akhirnya kami kudu bersikap,” paparnya.
Pihaknya lalu mendatangi outlet Holywings di Mlati, Sleman. Mengecek setiap detail outlet dan berkomunikasi dengan pihak manajemen. Sebenarnya, promosi itu baru dilakukan di Jakarta. Outlet Holywings di daerah belum menjalankan dan mendapatkan produk yang digunakan untuk promosi.
Menghindari sikap reaksioner, Evie memilih untuk melakukan rapat dengan berbagai pihak. Ia memahami keberatan pihak Holywings Jogja yang merasa dirugikan lantaran program yang dikecam itu memang belum dijalankan. Namun di sisi lain, tekanan dari ormas masih terus berjalan.
“Sebetulnya dari sisi aktivitas Holywings Jogja tidak ada yang melanggar aturan. Itu kan memang baru gimmick marketing Jakarta,” jelasnya.
Setelah melakukan, setidaknya tiga kali rapat, akhirnya Satpol PP Sleman memutuskan untuk menyegel outlet tersebut untuk meredam gejolak. Beberapa waktu berselang, rapat kembali dilakukan untuk merencanakan masa depan outlet Holywings Jogja. Pihak manajemen ingin bisa beroperasi kembali lantaran ada banyak karyawan yang menjadi tanggungan.
“Akhirnya, kami rapatkan empat kali untuk rencana pembukaan kembali. Setelah mendapat persetujuan dari warga sekitar, kami putuskan segel dibuka tapi Holywings berganti nama,” jelasnya.
Evie menekankan bahwa Satpol PP tidak bisa bergerak sewenang-wenang. Selalu ada mekanisme, bahkan rapat berkali-kali untuk memutuskan sesuatu tindakan.
“Ingin saya, masyarakat juga memahami itu. Kami pasti melakukan mekanisme yang panjang, tidak asal grudak-gruduk,” paparnya.
Banyak pekerjaan yang harus ia tuntaskan akhir tahun ini. Menjelang Natal dan tahun baru, Satpol PP juga terlibat banyak urusan pengamanan dan penjagaan ketertiban.
Di meja kerjanya, berserak banyak berkas yang perlu dibaca dan juga ditandatangani. Di antara berkas-berkas itu, ada beberapa koran edisi terbaru. Ada pula Majalah National Geographic terbitan Desember 2022.
Jeda perbincangan, sesekali mata Evie memandang ke beberapa lukisan yang terpajang di dinding. Melihatnya, mungkin bisa melepas sedikit penat di hari-hari yang padat di akhir tahun.
“Itu lukisan dikasih teman saya namanya Astuti Kusumo. Dia pelukis lumayan terkenal lho belakangan ini. Saya kenal lewat Facebook, pas coba main ke tempatnya, eh dikasih lukisan,” tuturnya tentang satu lukisan surealis yang dipajang di pojokan. Selain lukisan itu, dua lainnya menurut Evi beli di pinggir jalan.
PR mengubah citra satpol PP
Kisah berlanjut, tantangan terberat, buat Evie memang tidak sekadar urusan penindakan yang memang sehari-hari jadi makanan Satpol PP. Lebih jauh, dalam jangka panjang tantangannya adalah mengubah citra instansi yang telanjur dianggap grudak-gruduk dan asal pentung.
“Ya bahkan sering ada guyonan kalau kami disebut Pol Keple bukan Pol PP,” katanya tertawa.
Latar belakangnya di bidang komunikasi pemerintahan, tampaknya memang jadi salah satu alasan Evie didapuk menahkodai Satpol PP Sleman. Sehingga, saat awal menjabat, Evie memang punya misi besar untuk mengubah citra institusi ini menjadi lebih humanis.
Ia menggagas program Satpoltik, kependekan dari Satpol PP yang simpatik, humanis, dan asyik. Wajah garang ingin dihilangkan. Sebab kerja-kerja mereka sebenarnya bukan sekadar penindakan pelanggaran. Ada pula kerja sosialisasi dan program preventif lainnya.
Buat Evie, kerja Satpol PP di daerah cukup krusial. Roda perekonomian dan kehidupan masyarakat dapat berjalan baik jika keamanan dan ketertiban berjalan seiringan. Urgensi dari kerja-kerja inilah yang ingin ditonjolkan, alih-alih kesan keras dan asal kepruk.
Selain itu, Satpol PP di Sleman juga beberapa daerah lain membawahkan UPT Damkar. Bagi Evie, ini merupakan hal strategis lantaran Damkar dapat menjadi penyeimbang sekaligus partner kolaborasi yang andal.
“Beberapa senior bercerita kalau kehadiran Damkar bisa mengimbangi. Satpol PP sebagai penindak kadang memang kerjanya perlu ketegasan. Sedangkan Damkar menjadi life saving yang diandalkan masyarakat,” ujarnya.
Selain itu, ia mengaku kalau dulu sering mendengar bahwa Satpol PP adalah instansi tempat orang “buangan”. Setelah masuk, ia ingin membuktikan bahwa anggapan itu salah sekaligus menunjukkan fakta sebaliknya pada kalangan luas.
“Setelah masuk saya menyadari kalau anggapan itu salah. Secara SDM banyak anggota yang bahkan menerusan studi di bidang hukum. Memang belum maksimal, tapi sudah lumayan dan perlu ditingkatkan lebih lanjut,” jelasnya.
Sebagai Kepala Satpol PP Kabupaten, Sleman, ia ingin para anggota punya kemampuan komunikasi yang baik saat urusan-urusan penindakan. Menurutnya itu perkara yang krusial. “Dalam hal ini saya mengakui bahwa tidak banyak personil di kami yang punya kemampuan mengomunikasikan persoalan dan perbedaan itu dengan baik. Ini jadi tugas ke depan,” paparnya.
Perlu proses panjang untuk mewujudkan cita-cita itu. Namun, ia percaya bahwa suatu saat nanti, Satpol PP bisa mengubah wajahnya. Tidak hanya di Sleman, namun juga di daerah lainnya.
Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono