Diuji kasus Holywings dan Bikini Party
Saat pertama kali melihat sosoknya, Evie jauh dari bayangan saya. Gambaran sosok pemimpin Satpol PP yang galak tidak tampak dari pembawaannya. Cara bicaranya tertata, menjelaskan beragam hal dengan jelas dan artikulatif. Tenang dan jauh dari kesan meledak-ledak.
“Saya sempat dianggap kurang galak buat jadi Kepala Satpol PP,” ujarnya tertawa.
Ia merasa perlu membuat garis pembeda yang jelas antara galak dengan tegas, humanis dengan rasa iba. Buatnya, semua sikap itu dilandasi dengan semangat penegakan aturan dengan komunikasi yang baik.
Kemampuannya dalam bersikap dan mengatasi situasi genting langsung diuji saat masa jabatannya belum genap sebulan. Sleman memang tergolong daerah dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di DIY. Pergerakan sektor wisata dan hiburan melaju kencang. Banyak dinamika yang terjadi dan harus ditangani, termasuk bagi Satpol PP.
Ia ingat betul, baru beberapa hari dilantik langsung mendapat laporan yang cukup membuat geger. Ada keluhan terkait poster agenda bikini party yang hendak dilaksanakan di sebuah tempat di Jalan Palagan, Sleman.
“Acara itu hendak dilaksanakan Minggu malam. Saya dapat laporannya Minggu pagi,” kenangnya.
Ia langsung mencoba mengonfirmasi kebenaran agenda itu. Berkoordinasi dengan beberapa pihak berwenang dan akhirnya diputuskan untuk membubarkan acara yang dianggap kurang sejalan dengan nilai-nilai masyarakat Sleman tersebut.
“Rumah saya kebetulan dekat, habis magrib saya mau berangkat duluan. Sudah semangat, tapi disuruh menunggu yang lain,” ujarnya dengan tawa tipis.
Usai menunggu rekan Satpol PP dan Polsek setempat, mereka pun mendatangi lokasi tersebut. Melakukan komunikasi dan berakhir dengan pembubaran acara yang menurut Evie dihadiri sejumlah ekspatriat. Pihaknya juga menyita sejumlah botol minuman keras
“Ya buat acara begini sebenarnya tidak apa-apa. Tapi untuk di Jogja, psikologis masyarakat belum cocok. Apalagi ada poster yang tersebar. Mungkin di Jakarta atau Bali bisa-bisa saja. Di Jogja jangan dulu,” paparnya.
Terkadang, tekanan dari sejumlah kalangan masyarakat membuat Satpol PP harus segera bertindak. Tak lama setelah itu, muncul lagi sebuah kehebohan yang menuntut Evie bersikap taktis sekaligus berhati-hati.
Di Akhir Juni, promosi yang dibuat tempat hiburan malam Holywings pusat di Jakarta mendapat banyak kecaman. Promosi minuman keras (miras) bagi mereka yang bernama Muhammad dan Maria dianggap melecehkan umat beragama. Outlet Holywings di berbagai daerah, termasuk Jogja pun kena imbasnya.
“Situasinya bergejolak di tingkat nasional. Kami juga mendapat tekanan dari ormas. Cukup intimidatif, akhirnya kami kudu bersikap,” paparnya.
Pihaknya lalu mendatangi outlet Holywings di Mlati, Sleman. Mengecek setiap detail outlet dan berkomunikasi dengan pihak manajemen. Sebenarnya, promosi itu baru dilakukan di Jakarta. Outlet Holywings di daerah belum menjalankan dan mendapatkan produk yang digunakan untuk promosi.
Menghindari sikap reaksioner, Evie memilih untuk melakukan rapat dengan berbagai pihak. Ia memahami keberatan pihak Holywings Jogja yang merasa dirugikan lantaran program yang dikecam itu memang belum dijalankan. Namun di sisi lain, tekanan dari ormas masih terus berjalan.
“Sebetulnya dari sisi aktivitas Holywings Jogja tidak ada yang melanggar aturan. Itu kan memang baru gimmick marketing Jakarta,” jelasnya.
Setelah melakukan, setidaknya tiga kali rapat, akhirnya Satpol PP Sleman memutuskan untuk menyegel outlet tersebut untuk meredam gejolak. Beberapa waktu berselang, rapat kembali dilakukan untuk merencanakan masa depan outlet Holywings Jogja. Pihak manajemen ingin bisa beroperasi kembali lantaran ada banyak karyawan yang menjadi tanggungan.
“Akhirnya, kami rapatkan empat kali untuk rencana pembukaan kembali. Setelah mendapat persetujuan dari warga sekitar, kami putuskan segel dibuka tapi Holywings berganti nama,” jelasnya.
Evie menekankan bahwa Satpol PP tidak bisa bergerak sewenang-wenang. Selalu ada mekanisme, bahkan rapat berkali-kali untuk memutuskan sesuatu tindakan.
“Ingin saya, masyarakat juga memahami itu. Kami pasti melakukan mekanisme yang panjang, tidak asal grudak-gruduk,” paparnya.
Banyak pekerjaan yang harus ia tuntaskan akhir tahun ini. Menjelang Natal dan tahun baru, Satpol PP juga terlibat banyak urusan pengamanan dan penjagaan ketertiban.
Di meja kerjanya, berserak banyak berkas yang perlu dibaca dan juga ditandatangani. Di antara berkas-berkas itu, ada beberapa koran edisi terbaru. Ada pula Majalah National Geographic terbitan Desember 2022.
Jeda perbincangan, sesekali mata Evie memandang ke beberapa lukisan yang terpajang di dinding. Melihatnya, mungkin bisa melepas sedikit penat di hari-hari yang padat di akhir tahun.
“Itu lukisan dikasih teman saya namanya Astuti Kusumo. Dia pelukis lumayan terkenal lho belakangan ini. Saya kenal lewat Facebook, pas coba main ke tempatnya, eh dikasih lukisan,” tuturnya tentang satu lukisan surealis yang dipajang di pojokan. Selain lukisan itu, dua lainnya menurut Evi beli di pinggir jalan.
PR mengubah citra satpol PP
Kisah berlanjut, tantangan terberat, buat Evie memang tidak sekadar urusan penindakan yang memang sehari-hari jadi makanan Satpol PP. Lebih jauh, dalam jangka panjang tantangannya adalah mengubah citra instansi yang telanjur dianggap grudak-gruduk dan asal pentung.
“Ya bahkan sering ada guyonan kalau kami disebut Pol Keple bukan Pol PP,” katanya tertawa.
Latar belakangnya di bidang komunikasi pemerintahan, tampaknya memang jadi salah satu alasan Evie didapuk menahkodai Satpol PP Sleman. Sehingga, saat awal menjabat, Evie memang punya misi besar untuk mengubah citra institusi ini menjadi lebih humanis.
Ia menggagas program Satpoltik, kependekan dari Satpol PP yang simpatik, humanis, dan asyik. Wajah garang ingin dihilangkan. Sebab kerja-kerja mereka sebenarnya bukan sekadar penindakan pelanggaran. Ada pula kerja sosialisasi dan program preventif lainnya.
Buat Evie, kerja Satpol PP di daerah cukup krusial. Roda perekonomian dan kehidupan masyarakat dapat berjalan baik jika keamanan dan ketertiban berjalan seiringan. Urgensi dari kerja-kerja inilah yang ingin ditonjolkan, alih-alih kesan keras dan asal kepruk.
Selain itu, Satpol PP di Sleman juga beberapa daerah lain membawahkan UPT Damkar. Bagi Evie, ini merupakan hal strategis lantaran Damkar dapat menjadi penyeimbang sekaligus partner kolaborasi yang andal.
“Beberapa senior bercerita kalau kehadiran Damkar bisa mengimbangi. Satpol PP sebagai penindak kadang memang kerjanya perlu ketegasan. Sedangkan Damkar menjadi life saving yang diandalkan masyarakat,” ujarnya.
Selain itu, ia mengaku kalau dulu sering mendengar bahwa Satpol PP adalah instansi tempat orang “buangan”. Setelah masuk, ia ingin membuktikan bahwa anggapan itu salah sekaligus menunjukkan fakta sebaliknya pada kalangan luas.
“Setelah masuk saya menyadari kalau anggapan itu salah. Secara SDM banyak anggota yang bahkan menerusan studi di bidang hukum. Memang belum maksimal, tapi sudah lumayan dan perlu ditingkatkan lebih lanjut,” jelasnya.
Sebagai Kepala Satpol PP Kabupaten, Sleman, ia ingin para anggota punya kemampuan komunikasi yang baik saat urusan-urusan penindakan. Menurutnya itu perkara yang krusial. “Dalam hal ini saya mengakui bahwa tidak banyak personil di kami yang punya kemampuan mengomunikasikan persoalan dan perbedaan itu dengan baik. Ini jadi tugas ke depan,” paparnya.
Perlu proses panjang untuk mewujudkan cita-cita itu. Namun, ia percaya bahwa suatu saat nanti, Satpol PP bisa mengubah wajahnya. Tidak hanya di Sleman, namun juga di daerah lainnya.
Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono