Bagi penggemar PSIM Jogja, sosok FX Harminanto sulit dilupakan meski kariernya di sepak bola terbilang singkat. Oleh penggemarnya ia pernah dijuluki Messi dari Jogja karena kecakapannya menggocek bola.
Sempat merasakan menjadi pemain timnas kelompok umur, FX Harminanto justru memilih profesi wartawan sebagai kariernya. Kepada Mojok, ia bercerita tentang derby Jogja dan luka yang belum tuntas di sepak bola yang kemudian membuatnya memilih undur diri dari ingar bingar sepak bola profesional.
***
Stadion Maguwoharjo, Sleman diguyur hujan saat tuan rumah PSS Sleman menjamu rival bebuyutannya, PSIM Yogyakarta pada lanjutan Divisi Utama musim 2009/2010. Dari layar kaca, tampak pemain muda berambut agak gondrong lincah menggocek bola dari sisi kiri serangan Laskar Mataram.
Gerakannya gesit dan penuh energi, akselerasinya beberapa kali berhasil melewati satu dua pemain PSS Sleman. Pemain setinggi 164 cm ini terpaksa harus dihentikan dengan tekel-tekel keras. Fachruddin Aryanto, pemain yang kini menjadi andalan di jantung pertahanan timnas Indonesia bahkan harus menjatuhkannya beberapa meter di depan kotak penalti lewat tekel yang cukup berbahaya.
“Cukup keras memang tadi pelanggaran yang dilakukan oleh Fachruddin,” ujar Erwin Fitriansyah, komentator yang memandu jalannya laga dari layar kaca.
Sepanjang pertandingan, Erwin Fitriansyah berulang kali menyebut nama pemain sayap PSIM yang diganjal Fachruddin tersebut. Erwin menyebutnya sebagai pemain yang paling sering dilanggar pada pertandingan itu. Gerakan lincahnya memang menimbulkan kekacauan bagi lawan.
Sosok tersebut adalah FX Harminanto, pemain yang kala itu masih berusia 20 tahun dan sudah menjadi andalan lini serang PSIM. Malam itu, meski PSIM Jogja takluk 0-1 dari rivalnya, pria yang akrab disapa Antok atau Harmin itu telah menunjukkan permainan terbaiknya.
Potongan video yang menunjukkan berkali-kali Harminanto diganjal dengan keras oleh pemain belakang PSS Sleman. (YouTube FX Harminanto)
Thomas Widiyantoro adalah salah satu penonton yang hadir di stadion pada pertandingan yang digelar Jumat 10 Januari 2010 tersebut. Pria berusia 32 tahun yang kini menjadi leader kelompok suporter PSIM, The Maident ini menyebut Harmin sebagai Messi-nya Jogja.
“Postur tubuh kecil, skill di atas rata-rata. Banyak orang yang menyebut dia Messi-nya Jogja saat itu,” ujar pria yang akrab disapa Tobil ini.
Bagi Tobil, Harmin muda punya kecepatan sekaligus visi bermain yang apik. Harmin menjadi motor serangan PSIM pada laga itu dan banyak laga lain yang dimainkan PSIM. Meski karir sepak bola pria kelahiran 1988 itu tak berlangsung lama, sebagian suporter PSIM seperti Tobil terus mengingatnya.
Harmin kini memang sudah tak lagi menjadi pemain bola, namun juga tak jauh-jauh dari lapangan. Ia berpindah haluan menjadi wartawan. Menikmati sepak bola dari sisi yang berbeda.
Sejauh saya mengingat, tak banyak pesepakbola Indonesia yang pindah haluan menjadi wartawan lapangan. Hanafing, eks pemain Niac Mitra yang belakangan lebih dikenal sebagai pelatih kenamaan pernah menjajal jadi wartawan sepak bola di Jawa Pos. Tapi ia mengaku kapok dan tak bisa lama-lama jadi pewarta. Tuntutan deadline menyiksanya.
Bersinar di lapangan saat usia muda
Tapi Harmin, ternyata bisa menjalani pekerjaan ini cukup lama. Kesibukannya sebagai wartawan membuat saya cukup sulit membuat janji dengannya. Akhir pekan saja, jadwalnya penuh.
Beruntung, Sabtu (23/7/2022) siang menuju sore, saya bisa menemuinya di sela kesibukannya melakukan liputan di Kantor DPRD DIY. Ia tak punya waktu banyak lantaran sore harinya harus berangkat ke Stadion Maguwoharjo, meliput pertandingan pertama PSS Sleman di BRI Liga 1 2022/2023 melawan PSM Makassar.
Harmin berkisah tentang bagaimana karir sepakbolanya bermula. Tak ada darah olahragawan di keluarganya. Ayahnya karyawan swasta di Universitas Atma Jaya Yogyakarta dan ibunya merupakan ibu rumah tangga.
Ia mengawali semuanya saat bergabung dengan SSB Gama tahun 1998. Di sana, berkat sentuhan pelatih bernama Susiloharjo, bakat Harmin berkembang pesat. Lima tahun dibina di salah satu SSB terbaik di Jogja, Harmin berhasil mendapat tiket untuk bergabung dengan Timnas U-17 yang berlaga di Pra Piala Asia 2003.
Pada turnamen tersebut, Indonesia gagal lolos. Pertandingan pertama takluk dari rival bebuyutan Malaysia dengan skor 3-1. Namun saat itu, Harmin berhasil mencetak satu gol. Gol internasional pertama dan satu-satunya yang pernah ia cetak.
Selepas itu, Harmin hijrah ke tim junior Perseta Tulungagung hingga Mojokerto Putra. Saat di Mojokerto, Harmin dan tim berhasil menorehkan prestasi menjuarai Piala Soeratin 2005. Catatan itu membuatnya kembali dilirik timnas kelompok usia.
Tahun 2005, beberapa pemain muda Mojokerto Putra dipanggil ke Jakarta untuk mengikuti pemusatan latihan Timnas U-20 untuk ajang Pra Piala Asia. Kala itu, timnas sedang transisi dari pelatih lama Peter Withe menuju Rully Nere. Harmin lolos dan ikut dibawa ke Singapura. Bersama Harmin, ada nama-nama seperti Achmad Jufrianto hingga Ferdinan Sinaga yang turut dibawa pelatih.
Namun, ada satu cerita menarik tentang kelolosannya tersebut. Detik-detik akhir, terdengar isu pencoretan beberapa pemain sebelum akhirnya diberangkatkan ke Singapura. Pada momen itu, ada makan malam bersama antar-pemain, staf, termasuk manajer timnas.
Tak disangka, Harmin berjumpa dengan Subardi, sosok manajer timnas yang juga merupakan rekan kakeknya. Subardi dikenal sebagai tokoh masyarakat sekaligus politisi asal Yogyakarta. Saat itu, Harmin mengenalkan diri pada manajer yang ia sebut Mbah Bardi tersebut.
“Halo Mbah, saya Harminanto cucunya Mbah Dalyo, rumah saya kulon (barat) Apartemen Sejahtera,” ucap Harmin menirukan sapaannya pada sang manajer kala itu.
Sontak, terjadilah perbincangan hangat. Kebetulan Harmin merupakan satu-satunya pemain asal Jogja dalam skuad tersebut. Tak jauh dari tempat mereka berdua berdiri Rully Nere yang juga menyimak perbincangan. Belakangan Harmin penasaran, apakah perbincangan itu turut memengaruhi keputusan pelatih untuk membawanya.
“Nggak tahu sih gimana. Tapi belakangan aku penasaran aja dengan momen itu,” ucapnya tertawa.
Momen di Singapura jadi purna Harmin bersama tim nasional. Di sana ia main dua sampai tiga kali, berangkat dari bangku cadangan. Setelahnya, pemain bernomor punggung 8 ini pernah mencicipi pengalaman di Timnas Asean School yang berlaga di ajang Asia Tenggara, namun di bawah naungan Kemenpora bukan PSSI.
Babak karir Harmin selanjutnya banyak diwarnai kiprahnya di tim tanah kelahiran, PSIM Yogyakarta. Harmin tercatat meneken kontrak profesional bersama PSIM pada tahun 2007. Usianya masih muda, namun sudah jadi andalan di lini depan tim kebanggan warga Kota Yogyakarta. Namanya kerap dielu-elukan, seperti yang dikatakan Tobil sebagai Messi-nya Jogja.
Masih hangat dalam ingatan Harmin kala ia mencetak gol perdana bagi PSIM. Gol itu tercipta pada ajang Copa Indonesia musim 2007/2008. Namanya tercantum di papan skor bersama Seto Nurdiantoro -sosok yang sekarang jadi pelatih PSS- pada laga melawan Persipasi Bekasi. Sontekan mendatar Harmin, berhasil membobol gawang Abdi Yolanda pada menit ke-51, mengamankan kemenangan PSIM di Mandala Krida.
Di sela-sela kesibukannya sebagai wartawan, Harminanto dan legenda PSIM Jogja yang lain kerap bernostalgia lewat fun footbal. (Instagram FX Harminanto)
Masa keemasan Harmin terjadi di tahun 2008-2009. Penampilan gemilangnya bersama PSIM di Divisi Utama membuat banyak tim papan atas kepincut. Ia mendapat penawaran dari PSMS Medan, Pro Duta, Persiba Balikpapan, hingga Arema. Namun ia gagal hijrah ke tim-tim tersebut.
“Semuanya sudah di tahap negosiasi. Sama PSMS Medan sudah ke Jakarta, sama Pro Duta sudah negosiasi, ke Arema juga tinggal berangkat. Semua sudah dekat, posisiku aku kudu istirahat karena patah ankle. Saat itu komunikasiku terkait kontrak belum baik, belum bisa menjelaskan kondisi cedera, karena sendiri juga nggak ada agen. Kalau ada agen mungkin bisa jembatani komunikasi,” kenangnya.
Derby Mataram dan keputusannya mengakhiri karir sepak bola
Ada beberapa pertandingan yang begitu membekas di benak Harmin saat berseragam PSIM Jogja. Salah satunya, saat berlaga melawan PSS di Stadion Maguwoharjo. Baginya, bermain di sana selalu seru dan penuh tantangan.
“Banyak hal di menarik di sana. Dulu kan masih boleh bawa botol ya, botol air mineral yang dilempar suporter ke lapangan itu kuning isinya, uyuh (kencing),” ujarnya, lagi-lagi tertawa.
Selain itu, Derby Mataram melawan Persis Solo juga tak kalah menarik. Lanjutan Divisi Utama 2008/2009 saat melawat ke Solo, kondisi finansial sedang sangat memprihatinkan. Kala itu, PSIM masih transisi dari pendanaan yang dibiayai APBD menuju aturan terbaru dari Mendagri yang melarang penggunaan APBD untuk operasional klub.
Berangkat ke Solo di pertandingan dan hanya transit di musala tanpa mampir hotel sama sekali. Namun, PSIM berhasil meraih kemenangan di Solo pada laga krusial kali itu.
Masa-masa indah karir sepak bola Harmin tak berlangsung lama. Tahun 2011, ibu Harmin meninggal dunia. Pukulan berat terasa baginya. Tahun 2012, saat ia berencana bangkit dan kembali mengamankan posisi utama di PSIM Yogyakarta, kontraknya disudahi klub. Baginya, tahun itu memang masa penuh tekanan. Beban kuliah, karir sepak bola yang diambang jurang kegagalan, hingga titik nadir kondisi finansial.
Pasca-putus kontrak dengan PSIM Jogja, Harmin mendapat tawaran dari Persiba Bantul yang kala itu bermain di kasta teratas Indonesia Premier League. Kondisi finansialnya membaik. Namun, pada penghujung tahun 2013 IPL dihentikan. Kondisi sepak bola Indonesia carut marut dengan dualisme yang ada. Karir Harmin ikut kena dampaknya.
Harmin akhirnya memilih bermain di kompetisi amatir. Fokus menyelesaikan studi dan akhirnya banting stir menjadi wartawan. Profesi sebagai wartawan sudah ia jalani sejak tahun 2014. Dihitung-hitung, ia telah menjalani profesi ini lebih lama ketimbang durasinya menjadi pesepakbola profesional. Harmin mengaku nyaman.
“Nyaman, jadi wartawan iso ngrasakke ketemu banyak orang, PSK tekan gubernur. Bisa bertahan delapan tahun ya ternyata, sudah lebih lama dari sepak bola profesional dulu,” ujarnya tertawa.
Karir Harmin menjadi wartawan tak bisa dipisahkan dari latar belakang studinya. Ia merupakan lulusan Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Masuk tahun 2007 dan diwisuda tahun 2014.
Meski masuk jurusan yang linier dengan industri media, Harmin mengaku tak punya ekspektasi akan menjadi wartawan. Padahal konsentrasi studi yang ia pilih juga jurnalisme.
“Saya masuk komunikasi sesederhana karena tidak ada pelajaran matematika. Pilihan konsentrasi jurnalistik karena saat itu saya lihat tidak terlalu banyak project besar seperti konsentrasi lain,” sambungnya.
Meski begitu, rezekinya menjadi wartawan juga datang dari si kulit bundar. Pada akhir-akhir masa menjadi pemain profesional, tak jarang ada tawaran bermain fun football bersama Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Lewat acara itu, ia bisa mengenal lebih dekat para wartawan yang biasanya meliput aksinya di stadion.
“Ketika beberapa kali main bareng mereka, ditanyain nih, kamu kuliah apa? Saya jawab jurnalistik. Loh ngopo ra ning media? Ketika itu aku belum lulus, masih kontrak di Persiba. Jalan terus, ada tawaran dari Kedaulatan Rakyat (KR). Dirut sekarang Pak Wirmon itu kan suka bola juga, beliau ngajak, ayo mas ikut KR saja. Akhirnya saya coba masuk,” ujarnya.
Menjelang masuk KR ia mengaku masih terikat kontrak dengan tim amatir Persig Gunung Kidul. Juga ada sejumlah tawaran untuk bermain di beberapa klub dengan kasta yang lebih tinggi. Tapi menurut Harmin, kondisi sepak bola saat itu sedang kacau. Dualisme liga dan beberapa permasalahan lain yang mendera dunia sepak bola tanah air membuatnya mantap untuk banting setir.Tahun 2014, tak lama setelah ia diwisuda, resmi lah Harmin menjadi seorang wartawan.
Pindah haluan karir tentu bukan perkara mudah. Meski dirinya punya latar belakang studi yang mendukung, lantaran masa kuliahnya dijalani sembari fokus bermain bola, Harmin mengaku tak membawa bekal banyak.
Adaptasi harus ia lakukan. Ia perlu banyak membaca dan belajar. Hingga akhirnya bisa beradaptasi dan menuntaskan beban-beban harian membuat berita yang ditugaskan padanya. Sebelumnya, banyak orang yang tak mengira Harmin bisa menjalani profesi ini.
“Dosenku yang ngajar sampai jadi pembimbing skripsiku sampai kaget, koe jebul iso dadi jurnalis ki. Semua orang tidak menyangka,” ujarnya.
Sebagai wartawan, Harmin bertugas meliput berbagai hal. Tak sekadar topik sepak bola yang menjadi keahlian sekaligus kecintaannya. Memang, ia mengaku paling menikmati ketika liputan ke stadion. Namun ada masa, ketika melihat pertandingan bola terasa menjemukan. Ada beban di hatinya yang tertinggal dan perasaan ingin menyingkir dari lapangan sejenak.
“Mungkin, awal-awal itu ada luka yang belum tuntas,” curhatnya.
Waktu berjalan, ia sudah bisa menerima semua dengan lapang dada. Harmin yang sudah menikah dan dikarunia satu putri ini sekarang bisa lega, menikmati pekerjaannya sebagai pewarta sekaligus mencintai sepak bola dari sisi berbeda.
Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono