Suara kereta api mulai terdengar dari kejauhan. Rel mulai bergetar dan lonceng sirine mulai berbunyi tanda peringatan bagi siapa saja agar tidak melintas. Namun, di sisi selatan, seorang lelaki paruh baya tiba-tiba menerobos pagar perlintasan kereta api.
Kereta semakin dekat dalam radius kurang lebih seratus meter saja. Namun, lelaki itu justru terus melangkah ke arah rel tanpa ragu. Sumantri (40) yang saat itu sedang tugas berjaga di perlintasan kereta panik. Lelaki di seberang tiba-tiba saja merebahkan badannya di tengah rel.
“Saya mau menolong, menarik bapaknya itu, tapi kereta dari arah barat sudah terlalu dekat,” kata Sumantri.
Kereta itu pun melintas. Ketika seluruh gerbong kereta sudah lewat, tubuh bapak itu terlihat. Ternyata masih utuh tanpa terlindas kereta. Sumantri menghela nafasnya.
“Kalau kepala bapak terangkat sedikit saja, sudah pasti, terlibas,” ujarnya.
Usai kereta lewat, bapak itu beranjak dari rebahnya. Para warga langsung menghampiri dan memanggil polisi. Lelaki itu diamankan dan dijauhkan dari rel.
Di sisi timur, kereta itu berhenti dan masinisnya mencoba memastikan keadaan bapak tadi. Sumantri dengan sigap mengabarkan bahwa situasi aman agar kereta itu segera melanjutkan perjalanan dan tidak mengganggu perlintasan.
“Itu kejadian tahun 2016 kalau tidak salah. Pengalaman menegangkan yang pernah alami saat bertugas,” tutur Sumantri saat ditemui di sela kesibukannya di pos gardu perlintasan kereta api.
Kamis (10/11), Sumantri sedang mendapat jadwal tugas pagi. Sejak pukul enam sampai dua siang ia fokus menjaga Pos Gardu 349 perlintasan kereta api di Jalan Timoho, selatan kampus UIN Sunan Kalijaga. Perlintasan ini merupakan yang paling ramai di Kota Yogyakarta.
Matanya terus menatap ke sekitar perlintasan. Mengawasi setiap jengkal area yang masih dalam pandangan mata. Ia tak mau ada kejadian serupa seperti yang dialaminya dulu. Di sisi selatan, banyak warung-warung makan berjejeran.
“Saya suka mengamati orang yang nongkrong atau makan di sana,” ujarnya.
Sembari memandang sekitar, tangannya tetap memegang pena. Di sebelahnya ada secarik kertas jadwal kereta yang sudah melintas sejak pagi tadi. Terhitung, sudah ada 21 kereta yang lewat sejak jam enam hingga sebelas siang ini. Sampai nanti jam dua siang akan ada sekitar 34 kereta yang perlu dipantau. Secara total, sehari ada 100 kereta yang terjadwal melintasi pos ini.
“Sebentar lagi KRL Jogja-Solo lewat,” ucapnya singkat.
Matanya sesekali mengecek jadwal perjalanan yang tertempel di kaca depan pos. Suara dari radio terdengar samar-samar. Ia mengambil HT yang tergeletak di meja dan mendekatkannya ke mulut.
“Copy..copy,” sahutnya.
Suara sirine dari alat bernama genta yang dikontrol dari stasiun mulai berbunyi. Tak berselang lama, tombol untuk menurunkan palang ia tekan. Menghambat laju para pengendara dari arah utara dan selatan.
Sumantri lantas mengambil topi yang tercantol di dinding. Menggunakannya dengan saksama dan perlahan melangkah keluar pos. Dari sisi timur, KRL melaju cepat, sang petugas melambaikan tangannya. Selepas itu ia kembali masuk, mengangkat palang dan mencatat kereta ke-22 yang melintas pada jam jaganya.
Tantangan menjadi seorang Penjaga Jalan Lintasan (PJL)
Sejak 2015, Sumantri mulai menggeluti profesi yang secara resmi disebut Penjaga Jalan Lintasan (PJL) kereta api. Menurutnya, tugas utama profesi ini adalah mengamankan perjalanan kereta.
“Untuk pengguna jalan sebenarnya bukan fokusnya. Tapi tetap kami jaga sebaik mungkin,” paparnya.
Setiap hari ia bekerja delapan jam mengawasi puluhan transportasi massal yang melintas. Setiap delapan jam hanya ada satu orang petugas yang berjaga. Bergantian tiga kali selama 24 jam sehari.
Tempatnya berjaga ini memang tergolong perlintasan yang ramai dan rumit. Di sisi utara ada tiga ruas jalan yang terhubung tepat di sisi rel. Hal yang sama juga terjadi di sisi selatan. Kedua sisinya juga diapit perguruan tinggi dan sekolah. Sehingga lalu lintas kendaraan begitu padat.
Ia harus menghadapi beragam tipikal pengendara. Ada yang sabar, tapi ada juga yang kerap mengabaikan peringatan. Ketika sirine sudah berbunyi, bukannya melambat, tapi berusaha secepat mungkin menerabas palang yang hendak diturunkan.
“Harusnya waspada malah ngegas, kan bahaya,” curhatnya.
Semua lalu lintas kereta memang sudah terjadwal. Namun, kadang kala ada keterlambatan sehingga kabar radio harus ia dengarkan dengan jeli. Ketika kereta mendekat, suara dari genta akan menyala. Para petugas ini perlu menyesuaikan dengan situasi lalu lintas kendaraan sebelum menurunkan palang.
“Jadi tetap pakai perkiraan. Kalau jalan lagi ramai langsung kita tutup begitu ada bunyi. Tapi kalau sedang sepi, kita tunggu sejenak. Biar pengendara tidak menunggu terlalu lama,” terangnya.
Setiap ada kereta yang melintas, para PJL harus keluar pos menggunakan atribut topi dan melambaikan tangan. Hal itu sudah jadi prosedur untuk memastikan keamanan perlintasan.
Selain situasi jalan raya yang begitu ramai, kejadian seperti kendaraan mogok tepat di rel perlintasan sesekali terjadi. Jika hal itu terjadi, maka petugas segera menghubungi pos sebelumnya untuk berusaha menghentikan kereta sejenak.
Jika sedang berjaga di siang hari, tantangan terberatnya adalah menahan terik matahari di pos sempit yang hanya difasilitasi kipas angin kecil. Sedangkan saat berjaga malam, para petugas tak boleh lengah mengantuk. Terlambat menurunkan palang bisa berakibat fatal.
Ketika para petugas sudah berupaya menahan kantuk dan menghindari lamunan yang melenakan, terkadang ada saja orang-orang yang tidak fokus. Baik saat berkendara maupun berjalan kaki melewati perlintasan.
“Pernah ada anak muda, mahasiswa sepertinya, tidak fokus saat menyeberang,” terangnya.
Saat itu palang sudah ditutup, kendaraan sudah tidak bisa melintas, tapi mahasiswa itu tetap berjalan santai. Kereta dari arah timur sudah melintas. Namun, ia tidak menyadari bahwa ada kereta lain mendekat dari arah barat di waktu hampir bersamaan.
“Dia keserempet. Untung cuma tasnya aja. Tasnya sampai mambrul-mambrul. Untung tasnya lepas, kalau nggak bisa keseret,” tuturnya.
“Kadang mereka itu tidak tengok kanan kiri,” sambung lelaki asal Sedayu, Bantul ini.
Lelaki ini bekerja dengan status kontrak melalui perusahaan pihak ketiga. Sebenarnya ia mengaku ingin mendaftar rekrutmen pegawai tetap dari PT KAI yang dibuka beberapa waktu lalu. Namun sayang, usianya sudah melewati batas.
“Terakhir, pembukaan untuk pegawai dinas maksimal usianya 35, saya sudah lewat,” ujarnya sedikit pasrah.
Kebahagiaan menjadi seorang PJL
Sumantri, meski menjaga perlintasan yang padat, tapi hanya menjaga satu jalur palang. Lain halnya dengan petugas bernama Didin Muhammad Rifai (27) yang harus mengatur dua jalur perlintasan dari satu pos gardu.
Didin menjaga pos sekitar satu kilometer di sisi timur tempat Sumantri berjaga. Di sana ia harus mengatur dua palang perlintasan sekaligus. Satu menggunakan tombol otomatis sedangkan satunya lagi palang manual yang harus diengkol dengan tangan.
Ketika saya hampiri Pos Gardu 348 tempat Didin berjaga, KA Ranggajati rute Cirebon-Surabaya baru saja melintas. Ia langsung masuk kembali dan menekan tombol untuk menaikkan palang pertama. Sejurus kemudian memutar tuas untuk menaikkan palang lain yang berada sekitar 200 meter di timur posnya.
Selain perlu tenaga ekstra, proses tutup buka palang manual juga butuh perhatian lebih. Pernah ada kejadian tuasnya macet sehingga palang tidak bisa tertutup sempurna saat ada KA yang melintas.
“Hanya nutup separuh. Untung pengguna jalan tahu ada kereta jadi berhenti, habis kereta lewat baru tak coba perbaiki tapi tetap susah, terus laporan ke teknisi,” curhatnya.
Bagi Didin, profesi ini perlu memperhatikan detail-detail kecil karena menyangkut keselamatan manusia. Selain itu, ia terlatih untuk selalu fokus dan displin waktu.
Lelaki asal Kulon Progo ini mengaku menikmati pekerjaan yang sudah ia jalani sekarang. Ia merasa bahwa ini pekerjaan yang punya dampak besar bagi banyak orang. Selama lima tahun terakhir, ia mengaku tidak bosan berjaga delapan jam sehari di pos yang luasnya hanya sekitar 2,5 x 3 meter ini.
“Hal yang buat senang ya timnya yang suportif. Pekerjaan ini juga tidak ada target seperti kerja di pabrik. Jadwal kereta yang melintas bisa diperkirakan secara pasti setiap hari,” ucapnya.
Tak berselang lama suara sirine genta kembali berbunyi. Kali ini KA Jayabaya yang hendak melintas. Didin langsung bersiap-siap. Ada dua palang perlintasan kereta yang harus ia kendalikan. Fokus dan cekatan selama bekerja adalah hal yang wajib dilakukan.
Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono