Polda DIY punya Kombes Yuliyanto, Kepala Bidang Humas Polda DIY yang kesehariannya ‘blusukan’ di berbagai media sosial. Salah satunya menanggapai komentar di Grup Facebook Info Cegatan Jogja, grup yang beranggotakan lebih dari 1 juta anggota. Dihujat dan dapat komentar pedas dari warganet yang garang di media sosial itu sudah biasa.
***
Yuliyanto tiba-tiba memanggil salah satu anggotanya menghadap ke meja kerjanya. Setelah seorang polisi muda datang, tangan Kabid Humas Polda DIY itu sibuk menunjuk-nunjuk layar ponsel seraya memberikan penjelasan “ini pesannya ditaruh di bagian awal baru setelah itu dimasukkan musik-musiknya.”
“Baik Ndan,” jawab sang bintara polisi. Ia pun langsung beranjak pergi untuk mengedit kembali sebuah tayangan yang akan ditampilkan di media sosial Polda DIY.
Siang itu, Yuli, sapaan akrab perwira menengah polisi dengan pangkat Komisaris Besar ini sedang tidak ada kegiatan di luar. Ia mempersilahkan saya menemuinya di ruang kerja bagian Humas Polda DIY. Di ruangan yang luasnya sekitar 4 x 4 meter persegi ini, ia biasanya mengerjakan keperluan administratif, sekaligus memantau lini masa media sosial.
Yuli memang dikenal sebagai polisi yang lincah, bukan hanya saat bergerak menjalankan tugas di lapangan, namun juga dalam bergerilya di media sosial. Sejak 2017, namanya banyak dikenal oleh warganet Jogja.
Musababnya, lelaki kelahiran Moyudan, Sleman ini kerap berselancar di Grup Facebook Info Cegatan Jogja (ICJ). Sebuah grup dengan anggota lebih dari satu juta dengan ratusan postingan setiap harinya. Grup ini jadi yang terbesar dan teraktif, bukan hanya di Jogja, bahkan di Indonesia.
Banyak hal yang dilakukan Yuli lewat ICJ. Mulai dari menyampaikan edukasi, menanggapi ketika ada laporan praktik tidak benar yang dilakukan polisi, sampai sekadar berbagi kabar kegiatan. Postingan Yuli, kerap mendatangkan ribuan tanggapan. Terutama kalau sudah urusan keluhan masyarakat tentang polisi.
Namun, manuver Yuli tak cuma di grup itu saja. Suatu ketika, ia pernah tiba-tiba masuk dan mengagetkan grup Facebook Jogja Gowes. Ia masuk saat tren bersepeda sedang kencang-kencangnya di awal masa pandemi.
Begitu diterima oleh moderator, Yuli langsung memposting sebuah video berisi pesepeda yang berderet rapi dalam satu barisan tanpa memenuhi ruas jalan. “Naaahhh.. model gini kan asyik, nggak menuhin jalan. Semoga sehat selalu dan selamat sampai tujuan para goweser,” tulisnya.
Sontak, unggahan tersebut menuai banyak respons. Ada yang menanggapi positif, namun ada juga yang melempar candaan, “Pak Humas saiki mlebu neng Jogja Gowes, wis koyo ICJ iki.. Ngepitku kudu tertib saiki.”
Eranya orang garang di media sosial
Yuli mengakui bahwa sebenarnya tidak ada tugas pokok seorang Kabid Humas untuk aktif bermedia sosial. Terlebih nimbrung dan merespons beragam isu, utamanya yang berkaitan dengan kerja-kerja polisi, di media sosial. Apalagi menggunakan akun pribadi.
Namun, ia melihat bahwa aparat perlu dirasakan kehadirannya di forum-forum media sosial. Menanggapi persoalan yang mungkin akan semakin melebar eskalasinya jika tidak segera diberi pencerahan.
“Intinya saya membaca dahulu isunya. Memprediksi kalau tidak saya tanggapi permasalahannya bisa melebar. Meski prediksi itu tidak selalu benar, ya,” ujarnya.
Selain itu, ia menyadari bahwa tidak semua masyarakat berani datang ke kantor polisi. Bahkan untuk sekadar bicara dengan polisi saja ragu. Sehingga, banyak laporan-laporan yang dilayangkan lewat forum-forum di media sosial seperti ICJ. Ada yang disampaikan secara santun, tapi ada juga yang warganet yang menyampaikan dengan garang di media sosial.
“Mereka tentu ingin didengar. Makannya di situlah saya coba hadir. Sebenarnya, kami sudah mencoba membuka sebanyak-banyaknya saluran untuk menerima aduan masyarakat,” terangnya.
Yuli bahkan tidak segan-segan untuk membagikan nomor pribadinya di media sosial jika ada aduan yang perlu segera disampaikan. Ia coba balas satu per satu pesan yang masuk. Ya meski pada akhirnya tidak semuanya bisa ia respons sendiri.
“Berkaitan dengan komentar, siapa pun punya akses ke situ. Tanggapan positif ya bagus, kalau negatif ya nggak papa,” ujarnya.
“Bahkan kasarannya, mereka menghujat saya itu biasa. Ketika mereka bertemu langsung dengan saya, ya nggak berani juga buat hujat dan maki-maki,” sambungnya datar, tanpa tawa dan senyuman.
Menurutnya sekarang memang eranya banyak orang terlihat garang di media sosial. Menghujat dengan ringan. Namun, ia mengatakan bahwa hal-hal itu tidak memengaruhi dirinya.
Terkadang, pagi hari ia mengunggah sesuatu lalu siang hari ketika ia cek sudah berisi ribuan komentar. Jika ada komentar yang berkaitan dengan keluhan dan banyak yang menandai akunnya di komentar tersebut, ia berusaha untuk meresponsnya. Namun, ia mengaku tidak mengecek keseluruhan komentar tersebut.
Tak terbayang sebelumnya bahwa Yuli akan duduk di posisi yang mengharuskannya berhadapan dengan beragam sentimen publik terhadap instansi kepolisian. Namun, saat ditunjuk menjadi Kabid Humas pada 2017 silam, pilihannya hanya satu: segera beradaptasi.
Yuli merupakan lulusan Akademi Kepolisian 1995. Selepas lulus, ia langsung mengemban tugas untuk berdinas di Sulawesi Selatan. Sepuluh tahun setelahnya, ia melanjutkan studi di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) di Jakarta. Sebelum akhirnya berpindah tugas ke Aceh pada 2006.
Saat tiba di Aceh, suasana wilayah itu belum pulih sepenuhnya dari bencana tsunami besar yang melanda pada akhir 2004. Selain itu, situasi tegang pasca-resolusi konflik dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) juga masih terasa di berbagai penjuru kawasan.
“Saya pernah jalan ke satu daerah, saat balik ke kantor bercerita ke anggota, mereka langsung kaget. Ternyata di daerah itu basis GAM,” terangnya.
“Pantas saja, pas saya lewat itu, pandangan mereka terasa aneh,” gumamnya.
Di Serambi Mekkah, Yuli bertugas di Polres Banda Aceh sampai Polda Aceh. Kebanyakan menduduki posisi-posisi di bagian lalu lintas.
Pada 2012, tugas membawanya kembali ke tanah kelahiran. Bisa pulang, tentu menjadi kebahagiaan tersendiri buat Yuli. Terutama karena bisa lebih dekat dengan keluarga besarnya dan sang istri.
Di tanah kelahiran, ia sempat menduduki posisi strategis sebagai Kapolres di Polres Kulon Progo dan Polres Sleman. Sebuah posisi yang menurutnya lumayan memberi bekal untuk mengarungi tugasnya sekarang sebagai Kabid Humas Polda DIY.
Jabatan sebagai Kapolres membuatnya punya pengalaman untuk berkomunikasi dengan publik dan juga media. Perihal menyampaikan pesan yang baik dan segala strateginya banyak ia pelajari saat menjabat posisi itu.
“Tapi kemudian saat di bidang humas, tantangannya berbeda. Kapolres kan sudah dibantu fungsi humas yang mengelola strategi komunikasinya. Kalau di sini, saya harus mengelola konferensi pers, mengolah informasi, menjaga situasi pemberitaan, sampai monitor media sosial,” terangnya.
Upaya untuk memahami betul urusan-urusan di humas lah yang membuatnya yakin untuk terjun dan aktif bermedia sosial secara pribadi. Meski ia mengaku bahwa banyak tantangan yang harus dihadapi.
Tantangan Polri ada di citranya
Dinamika di media sosial juga membuat ia menyadari, tantangan terbesar Polri ada di citranya. Ia banyak menghadapi sentimen-sentimen buruk masyarakat yang tersebar di lini masa media sosial. Seperti yang disebutkan tadi, ada saja warganet yang garang di media sosial yang disampaikan lewat cuitan dan komentar di unggahan dunia maya.
Ia mengakui bahwa masih ada sejumlah kinerja polisi yang perlu diperbaiki. Namun di sisi lain, potensi komplain dan ketidakpuasan masyarakat, menurutnya terjadi karena sentuhan dan irisan polisi dengan masyarakat yang begitu besar.
“Kepolisian itu institusi besar. Mulai dari level pusat, daerah, sampai ke pos polisi di pinggir jalan. Ada 400 ribu lebih anggota yang ketika satu berbuat salah, maka imbasnya ke seluruh institusi,” paparnya.
Belum lagi, sebagai humas, saat ini ia melihat tantangan menjaga citra polisi di luar kinerja mereka di lapangan. Aktivitas pribadi aparat di media sosial kini menyita perhatian masyarakat. Banyak polisi yang kerap mengunggah sesuatu yang menuai respons negatif.
“Ya misal ada polisi muda pamer seragam atau senjata di media sosial. Seharusnya, dia bisa berpikir imbas dari unggahan tersebut. Sekarang faktanya belum semua bisa berpikir ke arah situ,” jelasnya.
Di Twitter misalnya, Yuli mengaku turut mengikuti sejumlah akun-akun yang biasanya mengunggah tindak-tanduk aparat yang dianggap menjengkelkan atau merugikan masayarakat. Baginya, hal seperti itu lumrah.
“Di sisi lain, sebenarnya itu jadi masukan. Sebuah koreksi bagi polisi, oh ternyata kalau ada postingan anggota modelnya begini masyarakat nggak suka,” papar bapak dua anak ini.
Dari perjumpaan secara lebih dekat kali ini, Yuli terlihat sosok yang tegas. Sebelumnya, saya pernah beberapa kali bersua dengan sosoknya dalam beberapa agenda konferensi pers di media sosial, namun belum pernah berbincang empat mata secara intens.
Jarang sekali ia tertawa saat berbincang. Sampai ketika membicarakan pribadinya, ia mulai sedikit cair. Di tengah kesibukan padatnya, ia mengaku bukan orang yang punya kesukaan mendalam terhadap suatu hal. Tidak ada hiburan yang jadi andalannya untuk melepas penat.
Kuliner misalnya, ia mengaku tidak menggandrungi sebuah makanan tertentu. Baginya, ya makanan sebagaimana fungsinya untuk mengganjal perut dan sumber energi, sama saja.
“Kalau hobi… nggak ada juga sih,” ujarnya datar.
Ia juga mengaku bukan orang yang gandrung terhadap olahraga. Di waktu senggangnya, sesekali ia hanya bersepeda.
“Tapi bukan roadbike ya. Sepeda biasa saja. Selain itu, sepakbola saya nggak bisa, bulu tangkis nggak bisa. Ya sepeda itu paling,” ujarnya.
Tiba-tiba, di tengah perbincangan tentang klangenan dan hiburan ini, Yuli melayangkan pertanyaan, “Kamu tahu Nopek?”
Saya hening sejenak. Berpikir siapa atau apa Nopek yang dimaksud beliau.
“Itu yang biasa sama Livy.. Livy Renata,” cetusnya. Saya langsung tertawa dan langsung mengingat salah satu stand up comedian yang juga seorang YouTuber tersebut.
“Ada konten Nopek waktu itu lagi olahraga. Dia bilang di kampung olahraga itu nggak penting. Sebab petani di kampung itu ya aktivitasnya olahraga. Ke sawah terhitung olahraga, merumput pun demikian,” bebernya.
Saya tertawa. Akhirnya, di akhir perbincangan panjang ini, suasananya sedikit cair.
Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono