Sejak 1919, berjaya berkat nenek pecinta tembakau susur
Usaha berjualan tembakau sudah dirintis keluarga pemilik toko ini sejak tahun 1919. Berawal dari perempuan bernama Tan Kwi Hua yang merupakan orang tua dari sosok Wiwoho yang dijadikan nama toko ini.
Mulanya, tembakau hanya pelengkap di toko ini. Sebelum menjadikan tembakau sebagai dagangan utama, keluarga ini menjalankan usaha toko kelontong yang menjual berbagai kebutuhan pokok warga.
Waktu berjalan, Wiwoho yang merupakan anak tunggal dari Tan Kwi Hua menikahi perempuan asal Parakan, Temanggung bernama ME Setyowati. Sepeninggal orang tuanya, sang anak melanjutkan dan mengembangkan usaha ini.
ME Setyowati yang berasal dari Parakan, mengenalkan tembakau khusus susur yang kegunaannya tidak untuk dilinting dan dibakar seperti tembakau rokok pada umumnya. Susur dinikmati dengan dikunyah setelah dicampur beberapa bahan pelengkap lain.
“Tembakau susur itu kan khusus. Tembakau dikasih air kapur, ditambah gambir, nanti dikunyah,” terang Untung.
Kehadiran tembakau susur dari Temanggung itu ternyata begitu digemari pelanggan. Terutama kalangan lansia perempuan. Membuat Toko Wiwoho kebanjiran antrean berkah dari para nenek penyuka tembakau susur.
“Dulu mbah-mbah perempuan banyak yang suka sekali susur. Laki-lakinya ngelinting, perempuannya nyusur. Sampai antre panjang dulu pada beli susur,” kenangnya.
Jika tembakau khusus susur datang dari Temanggung, untuk tembakau lintingan yang banyak dicari berasal dari Boyolali. Mulanya, tembakau-tembakau yang dijual di warung ini memang hanya dari daerah terdekat Jawa Tengah dan DIY.
Tren susur tembakau perlahan hilang. Toko ini masih menjualnya, meski stoknya tidak sebanyak dulu. Untung menunjuk sebuah bungkusan plastik besar di rak belakang. Plastik itu berisi gambir, salah satu bahan pelengkap susur tembakau.
“Ya kalau sekarang, orang tua itu pada beli titip ke anak atau cucunya. Mungkin generasi lama kan sudah sepuh sekali, sudah nggak bisa datang sendiri,” ujarnya.
Kami ngobrol berhadapan dengan berdiri. Disekat etalase kaca yang menenuhi area depan toko. Di dinding belakang, terlihat wayang tokoh punakawan terpajang. Wayang-wayang itu, menurut Untung, sejak dulu memang terpampang di sana.
“Memang dulu ketika Pak Wiwoho masih hidup, beliau suka sekali wayang,” katanya.
Dulunya dikenal sebagai Toko Mbah Petruk
Keberadaan sosok punakawan di sana, termasuk Petruk, membuat tempat ini sempat mendapat julukan Toko Mbah Petruk. Di kalangan orang lama, julukan tersebut lebih dikenal ketimbang Toko Wiwoho.
Selain itu, di dalam terlihat banyak anggota keluarga yang berseliweran. Sebagian masih terlihat muda. Mungkin generasi penerus keluarga ini.
Salah satu anak muda yang dari tadi sibuk membantu di kasir menghampiri. Namanya Nicholas Verrel (21), yang ternyata salah satu cucu dari Pak Wiwoho dan Bu ME Setyowati. Ia yang masih kuliah di Universitas Amikom sudah mulai membantu urusan toko.
“Aku mulai bantu-bantu sedikit. Terutama urusan branding. Itu logo baru di depan aku yang buat,” katanya sambil menunjuk plang logo bulat bertuliskan “Toko Tembakau Wiwoho” di luar.
Menurut Nicho, banyak orang yang masih bingung tentang nama toko ini. Dulu disebut Toko Mbah Petruk, lalu disebut Toko Tembakau Tugu.
“Ada yang tahunya Toko Pria Punya Selera,” celetuk Edwin tertawa di sebelah sambil sibuk melayani pelanggan. Di bagian atas bangunan memang tertulis slogan rokok Gudang Garam yang terkenal itu.
Hal-hal itulah yang membuat Nicho merasa perlu memperkuat branding toko ini sebagai Toko Tembakau Wiwoho. Ia mulai membuat logo hingga mengelola sosial media toko ini.
Baginya, sebagai penerus, ia perlu menjaga dan mengembangkan apa yang sudah diwariskan turun temurun dari nenek buyutnya. Toko ini bertahan juga berkat keinginan para penerus untuk menjaga warisan keluarga secara bersama-sama.
“Kami ingin menjaga sisi autentiknya. Ini kan sudah dari leluhur, jatuhnya jadi tanggung jawab anak cucunya. Apa yang dijual itu dipertahankan dan dikembangkan juga sesuai perkembangan zaman,” ucapnya bijak.
Pelanggan hingga pengunjung dari luar daerah
Lokasinya yang strategis membuat toko ini banyak dikunjungi wisatawan. Sebagian ingin membeli oleh-oleh untuk dibawa pulang. Namun, ada juga yang sekadar ingin tahu berbagai hal tentang tempat yang terbilang cukup bersejarah ini.
Beberapa tour guide, menurut Nicho, kerap membawa pelancong mampir ke sini. Mereka yang merokok bisa membeli dan menyicip tembakau. Namun, buat yang tidak, mereka bisa mendapat cerita sekaligus pengalaman membuat lintingan.
“Tour guide datang ke sini kebanyakan menjelaskan sejarah. Banyak orang ke sini cuma mau lihat dan merasakan experience-nya. Ya melihat proses bikin lintingan dan segala macam,” ujarnya.
Soal penjualan, toko ini memang punya banyak pelanggan dari luar daerah. Sebagian bahkan untuk dijual kembali. Namun, tempat ini tidak menjualnya secara grosir. Melainkan tetap eceran.
Setidaknya ada lebih dari 500 produk yang dijual di Toko Tembakau Wiwoho. Mulai dari rokok, tembakau, cerutu, hingga berbagai aksesoris lintingan.
Tembakau yang dulunya hanya diambil dari Jawa Tengah dan DIY, sekarang sudah beragam. Beragam varian dari berbagai pulau di Indonesia. Paling mahal dijual di sini ada tembakau Kasturi Senang dari NTB seharga Rp50 ribu per ons dan tembakau Gayo seharga Rp60 ribu per ons.
Untuk cerutu, salah satu yang paling dicari adalah Cerutu Tarumartani. Sebuah pabrik cerutu legendaris yang juga berasal dari Jogja. Selain Tarumartani, cerutu yang dijual juga banyak dari pabrikan di Jember. Salah satu produk terbaik sekaligus termahal dibanderol seharga Rp600 ribu perbatang.
“Ada keluaran Tarumartani. Namanya, Cerutu Maestro yang perbatang Rp600 ribu,” ujar Edwin yang sudah bergabung kembali setelah melayani pelanggan.
Sejarah Cerutu Tarumartani berawal sejak tahun 1918. Dulunya unit usaha milik pengusaha Belanda lalu kini beralih di bawah pengelolaan Pemerintah Daerah DIY. Bangunan pabrik Cerutu Tarumartani telah menjadi cagar budaya.
Ternyata, toko kecil di sudut Tugu Jogja ini usianya sepantaran dengan pabrik bersejarah itu. Bertahan melintas zaman menemani generasi demi generasi perokok untuk memenuhi hajatnya.
Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono