Penolakan rencana penambangan batu andesit di Desa Wadas, Jawa Tengah, terus bergulir. Hasil bumi Wadas dan karya para seniman jadi media perlawanan nir-kekerasan.
***
Presiden Joko Widodo tersenyum. Di kiri dan kanannnya, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan tertawa lebih lebar. Di depan ketiganya, dua mesin keruk tampak perkasa mengeduk tanah dengan para aparat yang rapat membentengi.
Semua itu berhadap-hadapan dengan dua orang yang mengenakan caping—petani. Ilustrasi dari montase foto ini menjadi gambar sampul sebuah kemasan kopi. Bungkus lain menampilkan seorang petani renta dengan paras sedih. “Kita bakal mati,” demikian tertulis di bungkus itu, “tapi tanah Wadas harus lestari.”
Gambar lain mencantumkan pesan lebih lugas, yakni para petani mengepalkan tangan di atas teks: Desa Wadas menolak quary. Puluhan kemasan kopi yang berisi pesan-pesan penolakan tambang batu alias quary di Wadas semacam itu dipajang di pameran ‘Kepada Tanah: Hidup dan Masa Depan Wadas’.
Pameran ini digelar di Kedai Kebun Forum (KKF), Yogyakarta, 20-28 Februari. Selain di Jogja, pameran serupa juga digelar di lima kota, yakni, Bali, Batu, Jakarta, Semarang, dan Bandung. Di ujung pameran, penyelenggara juga mengadakan diskusi soal Wadas.
Menurut penyelenggara, panitia di sejumlah kota mendapat telepon dari aparat soal diskusi ini. Di Semarang, acara bahkan harus berpindah tempat karena mendapat intimidasi. Di Jogja, diskusi yang digelar di KKF, Minggu (27/2) sore, berjalan lancar ditemani seduhan segelas kopi panas dari Wadas.
Desa ini cocok untuk budi daya kopi karena masih bagian pegunungan Menoreh, daerah endemi untuk jenis kopi robusta. Aroma kopi Wadas konon berbeda-beda—misalnya terselip aroma cengkeh—karena ditanam secara tumpangsari di antara tanaman lain.
Di acara ini, sebungkus kopi Wadas ukuran 250 gram ditawarkan ke pengunjung seharga Rp50 ribu. Kopi dengan kemasan khusus yang dihiasi karya para seniman dibanderol Rp400 ribu. Semua hasil penjualan akan didonasikan untuk para warga Wadas yang menentang tambang.
Kondisi Wadas memanas 8 Februari 2022 lalu saat ribuan polisi diterjunkan ke desa itu. Para aparat itu disebut hanya akan mengawal proses pengukuran lahan yang akan ditambang. Batuan andesit di wilayah tersebut akan diambil sebagai bahan material Bendungan Bener yang berjarak 10 kilometer dari Wadas.
Namun saat itu aparat juga melakukan kekerasan dan meringkus para warga yang menentang tambang. Setidaknya 67 warga ditangkap, termasuk 10 anak-anak. Tak sedikit pula warga yang mengungsi dan mengalami trauma.
Teror negara
Kejadian di Wadas kala itu masih segar dalam ingatan Arafah, salah satu warga Wadas yang berbicara di diskusi sore itu. Menurut dia, kejadian 8 Februari lebih parah dari situasi 23 April 2021 saat aparat juga mendatangi Wadas.
Waktu itu kami hanya kumpul di masjid. Kami tidak melawan. Tapi kami ditangkapi. Rumah warga didobrak. Ada yang dipukul, dipiting,” tuturnya dengan suara parau.
Menurutnya, perjuangan warga menentang tambang telah berlangsung selama delapan tahun. “Kami sudah mendatangi semua pihak, dari Bupati Purworejo hingga Gubernur Jateng, tapi aspirasi kami tidak didengar,” katanya.
Arafah menyatakan, penolakan warga atas tambang bukan lantaran provokasi pihak luar seperti narasi yang dikembangkan sejumlah pihak. “Sekitar 90 persen warga Wadas itu petani yang bergantung pada alam. Kami sadar pentingnya lingkungan dan manfaat lahan kami,” kata dia.
Perempuan muda ini bercerita di desanya terdapat 27 mata air yang bakal terancam karena penambangan. “Selama ini kami enggak pernah beli air. Waktu kemarau, Wadas juga enggak pernah kekeringan,” ujarnya.
Apalagi, sesuai dokumen amdal Bendungan Bener, penambangan batuan itu juga dengan cara-cara merusak alam, seperti penggunaan 5300 ton dinamit. Sementara sejumlah titik di Wadas rawan longsor.
“Ini ruang hidup yang kami jaga turun temurun. Tidak hanya kehilangan ruang hidup, tapi juga sejarah kami nanti juga hilang,” katanya.
Sana Ullaili dari Serikat Perempuan (SP) Kinasih, yang masih bolak balik ke Wadas untuk mendampingi warga, terutama perempuan dan anak-anak, turut berbagi di acara ini. Bukan hanya pengalamannya, ia juga berbagi hasil alam Wadas yang dibawanya langsung sepulang dari Wadas sore itu. Alhasil, selain kopi, peserta diskusi menikmati buah-buahan salak, pisang, dan rambutan dari Wadas.
Ketika peristiwa penerjunan aparat itu, Sana dan dua rekannya adalah relawan pertama yang dapat masuk ke Wadas di tengah penjagaan ketat dan skrining. “Saya lolos karena mungkin saya perempuan dan badannya kecil,” ujar dia setengah tertawa.
Sana menyatakan, ribuan aparat terjun ke Wadas untuk menangkapi sosok-sosok tertentu. “Ada orang-orang yang ditarget, seperti local leader dan anak-anak muda,” ujarnya.
Padahal warga telah sepakat untuk tidak melakukan perlawanan dan menggelar mujahadah di masjid. Namun penangkapan berlangsung, seperti saat warga keluar masjid untuk mengambil air wudhu atau selepas salat.
Dengan begitu, ketika itu hanya tersisa perempuan dan anak-anak di masjid. Sejak itu, warga mengalami trauma, seperti takut pada sosok berseragam polisi. “Dampaknya dua minggu mereka tidak berani ke kebun. Takut ditangkapi,” ujarnya.
Sana menyebut Negara telah melakukan teror ke warga Wadas. “Warga yang ditangkapi itu enggak ngapa-ngapain. Tidak ada gunanya melakukan perlawanan dengan kekerasan karena akan banyak korban karena aparat bersenjata lengkap,” tuturnya.
Dalam menentang tambang, warga Wadas melawan dengan pendekatan kultural yakni dengan mengolah hasil bumi dan makan bersama, hingga pendekatan spiritual, seperti menggelar doa bersama atau mujahadah.
“Ini jalan tertinggi manusia pasrah ke penguasa semesta, tapi ini juga bentuk perlawanan dengan bahasa-bahasa semesta,” kata Sana. “Mereka tidak dididik untuk melakukan kekerasan.”
Sana menyatakan warga Wadas membutuhkan solidaritas untuk melawan penambangan. Tentu saja caranya adalah melalui jalan anti-kekerasan seperti dilakukan warga Wadas selama ini. “Yang paling efektif melalui media sosial, media konvensional, aksi-aksi seni, seperti pameran Kepada Tanah ini. Ini jalan perlawan yang anti-kekerasan.
Melawan dengan kopi
Salah satu seniman yang urun karya di pameran Kepada Tanah, Farid Stevy, mengingat, sejumlah seniman diajak untuk terlibat dalam kerja-kerja seni di Wadas pada September 2021.
Farid semula mengakui ia bingung dengan berbagai narasi dan informasi soal Wadas. Namun setelah datang ke Wadas, menyaksikan dan mendengar sendiri cerita warga, para seniman seperti dirinya menemukan “rasa” untuk mendukung penolakan tambang.
Setelah itu, mereka lantas membuat karya di berbagai sudut desa itu, melalui mural, panel, dan bekas-bekas baliho. Tak heran, sejak itu Wadas riuh oleh poster-poster perlawanan. Saat penerjunan aparat kala itu pun, tugas awal mereka membersihkan Wadas dari poster-poster perlawanan. “Solidaritas seniman dianggap penting untuk menyuarakan isu Wadas,” kata Farid.
Para seniman juga bertemu dengan petani dan anak muda wilayah terdampak tambang untuk melanjutkan aktivisme seni itu ke bentuk lain. Hingga muncul ide untuk menampilkan karya soal penolakan tambang di kemasan kopi—salah satu hasil alam dari wilayah tersebut.
“Kopi ini produk populer dan tengah berada di titik puncaknya di kalangan anak muda, apalagi ada ribuan coffee shop. Jadi kopi bisa jadi alat untuk membicarakan apa yang terjadi di Wadas untuk publik,” ujarnya.
Meski semula hanya seniman Jogja, dukungan mengalir dari seniman daerah lain. Hingga akhirnya total 22 seniman terlibat untuk berkarya dalam 155 kemasan yang dipasarkan di enam kota. Menurutnya, sejumlah seniman yang biasanya emoh ikut suatu gerakan solidaritas pun bersedia terlibat.
Dengan langkah ini, seniman berharap produk alam Wadas dapat dikelola dan dipasarkan dengan baik, sehingga dapat membantu perekonomian warga. “Semua hasilnya untuk Wadas, untuk memperpanjang napas perjuangan,” kata dia.
Farid melihat rencana penambangan di Wadas merupakan sebentuk tindakan tidak kreatif. Hal ini jelas kontras dengan hakikat para seniman atau pekerja kreatif.
“Jadi kami melakukan yang sebaliknya. Mereka merusak, kami merawat. Mereka dengan kekerasan, kami dengan kelembutan. Kami melawan ini bukan untuk menang, tapi sebenarnya untuk menyeimbangkan,” tutur Farid.
Reporter: Arif Hernawan
Editor: Purnawan Setyo Adi
BACA JUGA Diorama Arsip Jogja yang Tak Bikin Bosan, Pelajaran Sejarah Lewat Multimedia dan Seni Rupa liputan menarik lainnya di Susul.