Shelter Syantikara, Nyaman untuk yang Isoman Berbeda Iman

Shelter Syantikara, Nyaman untuk yang Isoman Berbeda Iman

Shelter Syantikara, Nyaman untuk yang Isoman Berbeda Iman

Rumah Pembinaan Carolus Borromeus (RPCB) Syantikara di Yogyakarta yang dikelola biarawati Katolik sejak awal Agustus 2021 dijadikan tempat isolasi mandiri (isoman) bagi orang-orang yang terpapar Covid-19. Tidak membatasi diri hanya pada orang-orang seiman, tempat ini terbuka bagi siapa saja yang membutuhkan tempat isoman tanpa dipungut biaya.

****

Ratna Novita (23), pekerja asal Kabupaten Pati, Jawa Tengah yang kos di Jogja panik. Hasil tes menunjukkan ia positif Covid-19. Ia bingung karena harus mencari tempat isoman. “Nggak mungkin di kos, tempatku padat penduduk,” katanya. 

Nanov, begitu saya memanggilnya, sempat aktif di komunitas mahasiswa penulis yang saya asuh ketika kuliah. Ia bertanya, tentang prosedur dan bagaimana mendapatkan shelter di Sleman. Saya sarankan untuk datang ke Puskesmas untuk minta rujukan tempat isoman. Ia kemudian mendapat rujukan untuk isoman di Shelter Syantikara di Jalan Colombo Yogyakarta No. 001, Samirono, Caturtunggal, Depok, Sleman.

Ia datang ke shelter tersebut 1 Agustus 2021, tepat hari di mana secara resmi shelter tersebut beroperasi. 

Awalnya ia belum tahu, Syantikara yang dijadikan shelter itu sebenarnya tempat apa. Ketika saya memberi informasi kalau itu tempat yang dikelola biarawati Katolik atau suster. Ia agak takut. 

“Tahu nggak pas kamu bilang begitu, aku takut ketemu Valaaaak,” katanya tertawa. Valak, iblis dalam terminologi Kristen yang kemudian digambarkan oleh Hollywood dalam film ‘The Conjuring’ dan ‘The Nun’ ternyata membuat takut gadis yang belum lama ini lulus dari UIN Sunan Kalijaga. 

Nanov mendapatkan kamar yang isinya dua orang. Ibu-ibu paruh baya.  “Dipikir-pikir seru juga, apalagi lingkungan yang beda banget, keknya yang Islam aku tok wkwkw. Jadi ada pandangan yang baru dan cerita baru,” katanya.

Sehari kemudian, Nanov, meralat ucapannya. Dari balik jendela kamarnya di lantai dua, ia melihat seorang wanita mengenakan mukena melintasi halaman saat subuh. “Tadi  pagi aku melihat orang isoman jalan-jalan pakai mukena, keknya bukan aku lagi deh yang Islam di sini katanya tertawa,” katanya. 

Beberapa hari menjalani Isoman, Nanov mengaku takjub dengan pengalaman-pengalamannya di shelter. Saat saya menawarkan untuk mengirim makanan. Ia menolak. “Makanan itu sudah banyak di sini Mas, turah-turah, tenan. Buah-buahan banyak.” Meski tinggal berdua dalam satu kamar, ia juga merasa nyaman. 

Hari ke-8 di Shelter Syantikara, Nanov mengajak saya virtual tour di lingkungan shelter. Nanov bercerita di bangsalnya ia sering mendengar orang-orang isoman telepon keluarganya, mereka bilang kalau Syantikara, suasananya damai. “Mereka bersyukur isoman di sini, kalau di rumah nanti stress,” katanya. 

Namun, ada juga ia melihat seorang perempuan tua yang menangis karena harus isoman sendiri, tidak ada keluarga yang menemani. “Ini kolam ikan tempat saya ngasih makan,” katanya saat sampai di taman. 

Ketika saya tanya bagaimana dia beribadah, Nanov, mengaku tak kesulitan untuk melakukannya. Ia tinggal menggelar sajadah dan salat di kamarnya. Di dekat shelter juga ada masjid yang setiap azan terdengar jelas di kamarnya sehingga ia tidak perlu mengecek waktu salat di jamnya.

Melalui videonya, Nanov menunjukan kerindangan shelter Syantikara. Suasana shelter yang rindang dengan pepohonan yang besar membuatnya betah. Meski sebetah-betahnya di tempat orang, ia ingin segera pulang. 

Di Taman, suasana siang saat itu sepi. Warga isoman banyak yang memilih santai di kamar. Ada juga beberapa penghuni yang pulang. “Saya sudah dinyatakan negatif, dua hari lagi bisa pulang,” kata Nanov.

Salah satu sudut taman di Shelter Syantikara. Foto Dok. Ratna Novita/Mojok.co

Ia tentu masih akan mengingat ketika paginya selalu diwarnai sapaan suster melalui speaker ke semua penghuni shelter. Menyapa, mengajak ngobrol, mensyukuri nikmat, mengingatkan untuk minum obat, cek tensi dan lainnya. 

“Suster jaganya garcep, yang orang-orang tua kan nggak bisa upload hasil cek kesehatan ke web, mereka laporan hasil cek kesehatan via WA ke nomor suster jaganya. Dan itu selalu ditanggepin, ditanyain kondisinya, ramah banget,” katanya. 

Nanov, menunjukan semacam police line yang menjadi garis batas bagi penghuni isoman. Mereka, orang-orang yang sedang isoman tidak boleh melewati garis tersebut.

Shelter ada karena prihatin rumah sakit kewalahan

Penanggungjawab Shelter Syantikara Drs. P. Didit Krisnadewara mengatakan kompleks Syantikara sangat luas, terdiri aula, ada juga asrama mahasiswa, youth centre dan RPCB Syantikara. Dari banyaknya bangunan di kompleks tersebut, hanya RPCB Syantikara yang sebelumnya digunakan sebagai tempat retret, pertemuan dan pembinaan di lingkungan yayasan yang digunakan sebagai shelter isoman. 

“Ada 10 bangsal yang kami siapkan dengan ketersedian bed atau tempat tidur sebanyak 164,” kata laki-laki yang akrab dipanggil Pak Didit ini saat Mojok menghubunginya, Sabtu (7/8/2021). 

Meski, shelter dibuka secara resmi mulai 1 Agustus 2021. Namun, sebenarnya, shelter tersebut sudah menerima orang-orang yang isoman sebelum tanggal tersebut. “Kami terima tenaga-tenaga kesehatan yang memang saat itu banyak yang terpapar, jadi sebelum kami buka resmi, sudah ada tenaga kesehatan yang isoman di tempat kami,” imbuh Didit. 

Didit mengatakan, Shelter Syantikara dibuat atas keprihatinan Uskup Keuskupan Agung Semarang (KAS), Mgr. Robertus Rubiyatmoko yang resah dengan banyaknya pasien Covid-19.  Rumah Sakit serta pelayanan kesehatan kewalahan menampung pasien. Di sisi lain juga banyak pasien kesulitan mendapatkan akses dalam pelayanan kesehatan. Karena itu, Mgr. Robertus Rubiyatmoko mengajak para pimpinan Kongregasi dan Tarekat di KAS untuk menanggapi keprihatinan ini. 

Sr. Yustiana CB sebagai Provinsial Kongregasi CB segera bertindak dan memutuskan RPCB Syantikara dijadikan shelter untuk menampung pasien-pasien yang kesulitan  tempat isoman maupun mereka yang seharusnya dirawat di rumah sakit. Pihak yang digandeng antara lain Yayasan Panti Rapih. 

Yang luar biasa itu adalah para relawan, banyak sekali orang-orang dan pihak-pihak yang mengajukan diri sebagai relawan, ada dari kelompok Gusdurian, ada Srikandi Lintas Iman, dan banyak mahasiswa di Yogyakarta,” kata Pak Didit. Banyaknya pihak-pihak yang terlibat membuatnya terharu. Tidak ada sekat agama, ras atau golongan. 

“Orang-orang yang kami terima di shelter untuk isoman juga dari berbagai latar belakang agama, ras, suku, semua kami terima. Dan semuanya gratis,” kata Pak Didit. Ia mempersilahkan bagi warga di Yogyakarta yang ingin menggunakan shelter. Hingga hari Sabtu, baru sekitar 51 tempat tidur yang terisi. 

Orang yang diterima isoman di Syantikara merupakan orang yang positif Covid-19 dengan gejala ringan atau orang tanpa gejala (OTG). “Itu penting karena mereka nantinya harus mandiri, nyuci sendiri, ngukur tensi sendiri,” kata Pak Didit. Shelter juga terbuka untuk laki-laki atau perempuan. 

Kegiatan rutin di shelter, pagi hari, warga isoman berjemur di sekitaran bangsal masing-masing, ada juga diputar lagu-lagu untuk menghibur. Setiap sore, pengelola menyediakan kegiatan healing melalui zoom, juga disediakan psikolog jika ada yang membutuhkan.

“Prosedurnya setelah dinyatakan positif, silakan minta rujukan dari Puskesmas dimana periksa. Bisa dari wilayah manapun di DIY. Jangan ragu-ragu datang ke tempat kami,” kata Pak Didit. 

Selain shelter, di Syantikara ada juga unit youth center yang sejak pandemi melanda, aktif untuk membuat dapur umum yang membagikan membagikan makanan ke orang-orang yang membutuhkan seperti pemulung, tukang becak, anak kos, masyarakat umum dan shelter-shelter di DIY. Kegiatan itu dilakukan sampai sekarang. 

Jadi relawan karena panggilan

Relawan-relawan yang bertugas di Shelter Syantikara bermacam tugasnya. Ada yang berjaga  sebagai keamanan di pintu gerbang shelter. Ada juga yang bertugas membantu pengadaan makanan, relawan yang membantu penerimaan logistik, serta sumbangan-sumbangan. 

Mas Sawil dengan pakaian APD di Shelter Syantikara. Foto dok Mas Wasil/Mojok.co

Ada juga relawan yang masuk ke zona merah. Sebutan untuk zona yang dihuni isoman. 

Salah satunya adalah Mas Wasil (25), yang bertugas untuk membersihkan sampah-sampah di zona merah di shelter  serta mengirimkan makanan untuk warga yang isoman. Wasil sendiri mendapat informasi adanya kebutuhan relawan dari jaringan Gusdurian dimana ia aktif di dalamnya. 

“Saya lulusan keperawatan meski nggak kerja jadi perawat, tapi saya terpanggil untuk membantu,” kata Wasil yang saat ini membuka jasa usaha konveksi dan jadi penulis lepas. Ia sudah bertugas sejak 20 Juli di Shelter Syantikara. 

“Tugasnya memastikan lingkungan tetap bersih, misalnya membersihkan gagang pintu dengan cairan desinfektan, mengantar makanan untuk yang isoman, membuang sampah isoman,” kata Wasil. Karena bertugas sebagai relawan yang masuk ke zona merah ia harus mengenakan APD. 

Sistem kerjanya juga bergantian dengan rekan relawan yang lain. Untuk shift pagi, mulai masuk pukul 08.00 hingga pukul 14.00 dan shift sore, pukul 13.00 – 20.00 WIB. 

Sebagai orang yang aktif di jaringan Gusdurian, ia biasa berinteraksi dengan teman-teman yang berbeda iman. Namun, pertanyaan-pertanyaan sempat muncul dari relawan lain yang beragama muslim. “Misalnya nanti harus gimana, nanti salat-nya gimana,” kata Wasil. 

Pertanyaan yang kemudian terjawab, karena pengurus shelter menyediakan tempat salat di aula bagi relawan muslim yang akan menjalankan ibadahnya. Setelahnya relawan-relawan yang berasal dari perorangan maupun organisasi masyarakat nyaman-nyaman saja menjalankan ibadahnya. Meski banyak dari mereka berbeda dalam keyakinan, namun bahasa kemanusiaan lah yang menyatukan mereka dalam kerja-kerja kerelawanan.

BACA JUGA Mereka Memburu Oksigen Medis untuk Berkejaran dengan Waktu  liputan menarik lainnya di rubrik SUSUL.

Exit mobile version