Indo NFT Festiverse jadi gebrakan masuknya Indonesia ke dalam Metaverse. Berawal dari aksi sosial terhadap korban erupsi Gunung Semeru, Sewon NFT Club menjadi motor festival NFT terbesar se-Indonesia.
***
Perhelatan Indo NFT Festiverse berlangsung dari 9-17 April 2022. Festival NFT terbesar se-Indonesia ini diadakan di Galeri R.J. Katamsi, Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Acara yang diadakan atas kerjasama Art Pop-Up dan Sewon NFT Club ini digadang sebagai portal bagi masyarakat Indonesia menuju dunia Metaverse dan NFT.
Non-Fungible Token (NFT) menurut pintu.co.id adalah aset digital berbasis teknologi blockchain. Aset ini mewakili barang berharga yang tidak dapat ditukar atau digantikan. Data transaksi sampai orisinalitas NFT ini terekam di dalam blockchain. Data Reuters memperlihatkan perdagangan NFT mencapai lonjakan signifikan pada kuartal III tahun 2021.
Lonjakan tren ini sampai ke Indonesia. Tercatat sudah ada 13 perusahaan aset kripto yang mengantongi izin Bappebti. NFT sebagai produk seni yang erat dengan mata uang kripto mulai mendapat perhatian. NFT dipandang sebagai barang seni, bentuk dukungan ke seniman/kreator, dan aset/investasi.
Pesatnya perkembangan NFT di Indonesia jadi alasan lahirnya Indo NFT Festiverse. Intan Wibisono selaku pendiri Art Pop Up menyatakan perhelatan ini sebagai ajang yang mengakomodir gelombang baru seni dan teknologi. “Indo NFT Festiverse dirancang sebagai perhelatan rutin. Untuk menguji dan mengapresiasi ekosistem NFT,” ujar Intan dalam sambutannya saat membuka ajang Indo NFT Festiverse, Sabtu (9/4/2022).
Pembukaan festival yang dihadiri Rektor ISI, perwakilan Telkom, perwakilan Kementerian Pariwisata, dan berbagai pihak ini memang berbeda. Dari awal memasuki area pameran, sistem tiket menggunakan pendaftaran digital. Melalui website art-popup.com, pengunjung bisa mendaftarkan diri secara gratis. Tentu senada dengan era serba digital yang dibawa Metaverse.
Memasuki area pameran, suasana futuristik mulai terasa. Permainan cahaya merah, biru, dan ungu begitu dominan. Meskipun galeri R.J. Katamsi adalah bangunan lama, namun sukses dikemas ulang sebagai ruang pameran bernuansa sci-fi.
Berbeda dengan pameran seni pada umumnya, tidak ada lukisan berpigura. Yang ada hanya monitor yang menampilkan berbagai cuplikan karya digital NFT. Ada sekitar 233 karya seni yang dipamerkan. Menurut Intan, karya dibagi menjadi dua: primary yang berasal langsung dari seniman dan secondary yang merupakan koleksi para kolektor. Setiap layar akan menampilkan dua sampai tiga karya secara bergantian.
Beberapa karya tidak hanya berupa gambar visual. Adanya audio ikut menambah nilai artistik karya NFT. Saya tertarik pada satu karya berjudul Kill The Time #1 Karya seniman madfire. Karyanya menggabungkan visual tengkorak berbusana punk di gerbong kereta dengan audio yang mirip EDM. Rasanya ingin membeli karya ini, tapi saya ingat belum punya crypto-wallet.
Ada juga karya cetak yang ditampilkan dalam Indo NFT Festiverse. Namun versi digital karya ini tetap bisa diakses dan dibeli sebagai NFT. Di bagian paling barat, terdapat ruang lelang yang juga menampilkan karya NFT dengan proyektor yang ditembakkan ke dinding. Ruangan ini menjadi area paling sering untuk selfie.
Menurut Rain Rosidi, penasehat Sewon NFT Club, karya yang dipamerkan adalah gambaran dari karya asli yang berupa NFT. “Kami menghadirkan acara ini di dunia nyata sebagai edukasi soal NFT,” ujar Rain.
Saya sempat berbicang dengan Rama Mamuaya, founder dan CEO DailySocial.id. Ia mengaku bangga bisa ikut dalam perhelatan NFT yang dipandang sebagai gebrakan. Namun bagi Rama, jalan masih panjang bagi masyarakat Indonesia untuk bisa memahami dan masuk ke dalam Metaverse.
Salah paham tentang Metaverse khususnya NFT seringkali jadi penghalang utama. Rama sendiri mengaku sering kewalahan menjelaskan sistem NFT kepada investor. “Harapannya event kayak gini bisa menjawab salah paham tentang NFT dan blockchain,” imbuh Rama.
Untungkan kreator
Kreator NFT Rato Tanggela ikut memamerkan salah satu karya NFT miliknya. Pria yang telah memproduksi 20 lebih karya NFT ini mengaku belum genap setahun berkarya melalui NFT. Sebelumnya, ia membuat karya konvensional seperti gambar manual dan desain grafis. Anggota Sewon NFT Club ini mengaku aktivitas di dalam komunitasnya sangat membangun. “Semua saling dukung karena belum semua yang paham NFT,” ujarnya.
Rato sendiri menampilkan karya bertajuk The Guard. Rato menggambarkan sosok seperti astronot menggenggam pedang di antara tangga di antariksa. Karya ini diperindah dengan pemakaian warna neon yang kontras. Karya ini dijual melalui knownorigin.io seharga 0.085 Tezos atau sekitar $280.
Rato menilai NFT lebih menguntungkan bagi kreator. Sistem royalti yang tidak terputus salah satu sebabnya. Ini berbeda dengan model konvensional dimana karya seni dibeli putus oleh kolektor. Rato tak menyebut detail soal profit hasil jualan karya lewat NFT. Ia mengaku masih belum mengkonversi seluruh token Tezos miliknya menjadi uang rupiah. “Tapi kalau dihitung-hitung, sudah bisa beli 4 motor Supra,” ujar Rato seraya tertawa.
Berawal dari aksi solidaritas
Rudi Hermawan, salah satu perwakilan dari Sewon NFT Club, menceritakan bagaimana komunitas ini berdiri. Mulanya adalah ketertarikan para seniman yang pernah kuliah di ISI terhadap NFT. “Awalnya karena ada salah satu teman yang sudah bermain NFT,” ujar Rudi.
Seniman-seniman ini kemudian ngobrol soal NFT melalui aplikasi Discord. Kemudian banyak alumni dan mahasiswa ISI yang bergabung. Diskusi tentang NFT pun makin intens dilakukan. Seperti sharing ilmu tentang proses menjual karya sebagai NFT. Interaksi inilah yang menurut Rudi menjadi embrio dari Sewon NFT Club.
Kemudian, pada tahun 2021 terjadi erupsi Gunung Semeru. Bencana ini mengetuk hati Rudi dan kawan-kawannya untuk bersolidaritas. “Jogja dulu juga pernah kena bencana erupsi dan gempa, secara kebencanaan saya pernah mengalami dan peduli,” ujar Rudi.
Rudi lantas melemparkan wacana aksi solidaritas ke komunitas via Discord. Tercetuslah sebuah kegiatan charity bertajuk #Tezos4Semeru. Ia menggandeng seniman/kreator lain untuk aksi ini. Setelah rencana aksi solidaritas matang, Rudi dan rekan-rekannya melempar wacana ini ke Twitter.
Melalui Twitter Space, rencana ini kemudian ramai diperbincangkan. Selama dua minggu kegiatan ini berlangsung hingga seluruh Tezos terkumpul. Salah satu teman Rudi dari Boyolali ikut bergabung untuk membantu proses konversi token Tezos menjadi uang yang disumbangkan 100% bagi masyarakat terdampak.
Setelah #Tezos4Semeru, Sewon NFT Club ingin ada kegiatan lainnya yang berkelanjutan. Keinginan ini berupa pameran karya NFT. Sebagai alumnus ISI, Rudi langsung memikirkan untuk menggunakan galeri R.J. Katamsi sebagai lokasi pameran. Wacana ini juga yang mempertemukan Rudi dengan Intan dari Art Pop Up.
Muncullah ide festival. Lahirnya istilah Festiverse ini adalah perpaduan festival dengan metaverse yang menjadi dunia NFT. “Perjalanan ini panjang, karena direncanakan bulan Maret tapi kami undur sampai bulan ini,” imbuh Rudi.
Sewon NFT Club mempunyai anggota yang beragam. Ada alumni, mahasiswa aktif, sampai dosen. “Usiaku saja 39, sedangkan masih ada yang kuliah usia 20 tahun,” ujar Rudi.
Rudi melihat keuntungan dari NFT sangat besar. Selain profit, ia juga bisa berkomunikasi dengan kreator dari berbagai belahan dunia. Rudi juga bisa belajar lebih dalam tentang sistem blockchain dan mata uang kripto. Selain itu, ia juga belajar tentang investasi jangka pendek dan panjang.
Potensi yang paling utama adalah perkara royalti. Bagi Rudi, sistem royalti adalah perkara yang tidak pernah selesai di dunia seni. Dengan NFT, sistem royalti dan orisinalitas karya akan lebih terjaga karena ada catatan jelas dalam blockchain.
Saya pun meminta Rudi untuk menunjukkan karya yang dipamerkan. Karya berjudul “Work Done Right” milik Rudi menggambarkan situasi pekerja pabrik saat bekerja. Dengan wajah tertutup topeng seperti kantong plastik kuning, Rudi mempersilahkan memaknai karya miliknya. Karya yang dijual seharga 1.5 Solana atau sekitar $171.
Saya melanjutkan tur pribadi di Indo NFT Festiverse ini. Mengagumi karya NFT yang memang sedang menjadi tren. Di tengah ruang lelang, saya membiarkan diri untuk diterangi sorotan proyektor yang menampilkan berbagai karya. Bukan untuk selfie, tapi membayangkan bagaimana Metaverse menjadi masa depan umat manusia.
Reporter: Dimas Prabu Yudianto
Editor: Purnawan Setyo Adi