Bermodal jempol, seorang anak muda mengemban misi sebelum menyelesaikan skripsi, naik Gunung Rinjani. Perjalanan tersebut memberi pengalaman sekaligus pelajaran hidup.
***
Gunung Rinjani selalu megah dalam benak. Satu dari seven summit Indonesia ini memang menggoda untuk didaki. Kemegahan gunung di tanah Lombok ini menjadi paran jujugan banyak manusia. Pendaki dari berbagai belahan dunia tumpek bleg mengagumi keindahan gunung setinggi 3.726 meter ini.
Begitu juga dengan mahasiswa pecinta alam. Setidaknya dalam hidup mereka, sekali saja bisa mendaki gunung ini. Salah satunya adalah narasumber saya kali ini. Tapi blio tidak ingin menaklukkan gunung Rinjani dengan kenyamanan akses transportasi.
Narasumber Mojok ini menempuh 868,1 kilometer, dari Solo ke Gunung Rinjani. Dan untuk melintasi jarak sepanjang itu, narasumber saya menggunakan kekuatan jempol. Apa itu kekuatan jempol? Dan bagaimana narasumber saya bisa travelling 12 hari dengan biaya kurang dari 1 juta?
Skripsi dan naik gunung
Antonius Indra Setiawan (27) memang mencintai alam terutama gunung. Sejak SMA, blio sudah tergabung dengan ekstrakurikuler pecinta alam. Tapi kecintaan ini terjadi tanpa sengaja. Karena tuntutan sekolah, setiap siswa diminta mengikuti satu ekstrakurikuler pilihan. Sebenarnya Mas Indra lebih tertarik dengan bahasa Inggris.
Sial, saat Mas Indra menjadi siswa baru, ekskul Bahasa Inggris sedang hiatus. Karena gagal bergabung, Mas Indra memilih untuk nongkrong di kantin saat ekspo ekskul. “Waktu jalan, aku lihat ada rame-rame di salah satu sekre dab,” ujar Mas Indra. Keingintahuan pada keramaian tadi ternyata takdir yang tidak bisa ditolak. Keramaian itu dari ekskul pecinta alam, dan Mas Indra pun bergabung di dalamnya.
Takdir kembali bekerja saat kuliah di Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS). Sekali lagi, tuntutan yang membuat Mas Indra harus mencari Unit Kegiatan Siswa (UKM). Karena punya dasar di siswa pecinta alam, seperti insting untuk Mas Indra bergabung ke Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) Garba Wira bhuana UNS.
“Tapi yang paling menarik karena cerita kakak tingkatku. Katanya bergabung Mapala bisa jalan-jalan gratis,” ujar Mas Indra sambil terkekeh. Selain itu, Mas Indra juga tidak ingin jadi mahasiswa kupu-kupu alias kuliah pulang kuliah pulang.
Selama Mas Indra bergabung Mapala, sudah ada 12 gunung yang didaki. Ada beberapa gunung yang didaki berkali-kali. Misal Gunung Merbabu yang sudah didaki Mas Indra 8 kali. Saya penasaran, apakah Mas Indra juga sering mendaki Gunung Semeru. Apalagi gunung tertinggi di Pulau Jawa ini memang sempat viral gara-gara novel 5 Cm.
“Kalau Semeru aku baru sekali. Bangkrut nanti, sekali ndaki bisa habis hampir 1 juta,” jawab Mas Indra.
Tahun 2015 menjadi tahun dengan pendakian terbanyak bagi Mas Indra. Setiap bulan Mas Indra naik gunung. Dan sebagai kawan baik, saya jadi maklum kenapa Mas Indra lulus lama. Tapi tak apa, setidaknya telat lulusnya karena kegiatan. Saya sendiri telat lulus karena mager naik motor ke kampus.
“Tapi sebelum fokus ke skripsi, aku mau sekali lagi mendaki untuk perpisahan,” ungkap Mas Indra. Ternyata, pendakian perpisahan tadi adalah ke Gunung Rinjani pada tahun 2017.
Dari Solo, modal jempol ke Rinjani
Karena perpisahan, Mas Indra ingin sekalian mendaki gunung yang jauh. Rinjani yang sudah diidamkan Mas Indra menjadi pilihan. Namun untuk sampai ke sana, ada satu kendala utama. “Ga punya duit,” ujar Mas Indra sambil menyulut rokoknya.
Maka Mas Indra memilih jalur nekat: sampai ke Rinjani hanya bermodal menumpang truk dan kendaraan yang satu arah. “Sebenarnya ini juga cita-citaku. Tahun 2015 ada teman yang melakukan hal serupa untuk ke Bali. Tapi rame-rame,” ungkap Mas Indra.
Mas Indra mengajak 2 orang teman. Tapi tidak benar-benar bertiga berjalan bersama. Satu senior Mas Indra ikut perjalanan murah meriah ini dari Solo sampai Bali. Kemudian ada satu teman yang menyusul dan menemani Mas Indra dari Bali ke Lombok, sedangkan si senior menunggu mereka di Bali. “Jadi yang full dari Solo ke Lombok dengan menumpang cuma aku,” ujar Mas Indra.
Bicara metode, sebenarnya tidak rumit. “Intinya aku berjalan di pinggir jalan besar, lalu mengacungkan jempol ketika ada truk yang lewat,” ungkap Mas Indra. Meskipun terdengar sepele, tapi tetap saja Mas Indra ditolak berkali-kali. Pertama melakukan perjalanan modal jempol ini, Mas Indra harus berjalan 1,5 jam sampai ada truk yang memberi tumpangan.
Ketika ada truk melintas, Mas Indra mengacungkan jempol tanda ingin menumpang. Nanti truk akan berhenti dan Mas Indra basa-basi bertanya boleh menumpang atau tidak. Sang sopir tentu bertanya dahulu, kemana tujuan Mas Indra. Jika ternyata satu jalur dan berkenan, maka sopir truk akan mempersilahkan Mas Indra menumpang. Baik di kabin, atau di bak truk jika kosong.
Ketika sampai di titik perjanjian, Mas Indra akan turun dan kembali menanti truk yang melintas dan satu tujuan. “Selama perjalanan aman kok, tidak tersesat dan tidak ada masalah lain,” ujar Mas Indra.
Perkara menyeberang antar-pulau, Mas Indra juga tidak perlu membayar. Karena di pelabuhan, yang diwajibkan membayar adalah sopir. Untuk penyeberangan, yang wajib membayar adalah kendaraan dan bukan penumpangnya. “Jadi hitungannya bukan per orang tapi per kendaraan. Jadi aku ikut dibayarin sopirnya,” imbuh Mas Indra.
Setelah berhasil meninggalkan Pulau Jawa, Mas Indra diturunkan di titik kesepakatan. Nah kali ini ada salah paham. Ketika Mas Indra ingin menuju Pelabuhan Padangbae, Mas Indra dan temannya tidak menemukan truk besar, tapi pada akhirnya ketemu mobil pikap terbuka. “Tanpa pagar gitu, jadi langsung ngeblong,” terang Mas Indra.
Setelah menyampaikan keinginan untuk ke Mataram, supir pikap mengizinkan Mas Indra dan temannya menumpang. Singkat cerita, mereka diturunkan di sebuah warung dan kembali mencari tumpangan. Gayung bersambut, ada sopir yang berkenan untuk ditumpangi. Di sinilah terjadi salah paham yang menjadi pelajaran bagi Mas Indra.
Ketika sudah menyeberang, Mas Indra ditagih biaya transportasi. Dan dari keseluruhan perjalanan, hanya momen ini Mas Indra ditarik biaya dari tumpangan. “Ternyata kami salah paham, si sopir mengira kami mau bayar. Padahal tujuan kami hanya ingin menumpang,” ujar Mas Indra.
Awalnya sang sopir menarik biaya 100 ribu per orang. Tentu Mas Indra bertahan dengan argumen sejak awal sudah menyatakan ingin menumpang. Pada akhirnya mereka bersepakat 100 ribu untuk 2 orang. Setelah membayar, mereka diturunkan di titik kesepakatan di sebuah SPBU. Tapi tidak turun tanpa tujuan, karena si sopir tadi ‘mengoper’ Mas Indra dan temannya ke truk lain untuk mengantar sampai Kota Mataram. “Kayak naik bus antar kota gitu lho,” imbuh Indra.
Sebelumnya, ada alasan lain mengapa Mas Indra memilih waktu tersebut untuk mengunjungi Rinjani. Kebetulan, salah satu anak mapala sedang KKN di kaki Gunung Rinjani. Jadi makin kuat alasan Mas Indra untuk menuju Rinjani: mendaki gunung sebelum skripsi, dan mengunjungi teman satu mapala.
“Eh, rezeki anak sholeh mas. Kebetulan mereka (teman yang KKN) sedang belanja di kota. Jadi perjalanan berikutnya kami bisa numpang sampai Sembalun,” ujar Mas Indra sambil menyulut rokok. Saya pun menyusul menyulut rokok meskipun kami hanya bersua melalui daring.
Sembalun adalah desa tempat teman Mas Indra KKN. Mas Indra dan teman perjalanannya pun menumpang tidur semalam di posko KKN. Esoknya, mereka melakukan pendakian ke puncak Rinjani. “Kalau pendakiannya biasa aja mas, ga ada bedanya dengan pendakian lain,” ujar Mas Indra yang memilih melewati bagian mendaki gunung ini.
Setelah turun dari Rinjani, Mas Indra dan teman perjalanan pun menuju Sembalun kembali. Mereka juga sempat ikut acara pengumuman lomba 17 Agustusan di desa Sembalun. Bahkan bertukar minuman keras dengan pemuda setempat. Baru esoknya mereka melanjutkan perjalanan ke Gili Trawangan. “Kakak tingkatku yang menemani dari Jawa ke Bali mau menyusul kami ke Gili Trawangan,” ujar Mas Indra.
Dari Sembalun menuju Gili Trawangan, Mas Indra dan temannya pun sempat mampir ke pernikahan warga setempat. Meskipun tidak kenal, Mas Indra pede saja masuk bahkan menyalami mempelai. Ketika mas Indra mengutarakan siapa dia sebenarnya dan mengapa datang ke kondangan, blio dan mempelai tadi menyempatkan foto bersama. “Sayang, yang foto bersama malah ilang,” keluh Mas Indra.
Sepasang suami istri dan pemilik warung yang baik hati
Perjalanan pun berlanjut. Dari Sembalun menuju Gili Trawangan Mas Indra bergonta-ganti kendaraan modal jempol. Pertama dengan mobil dobel kabin yang mau menjemput tamu di Senaru. Kemudian sampai pasar setempat Mas Indra turun dan mencoba naik angkot. “Pada bagian ini ada kisah yang menyebalkan sekaligus mengharukan,” ujar Mas Indra.
Ketika mencari pikap tumpangan, Mas Indra dan teman perjalanannya ditawari naik angkot. Bahkan dipaksa meskipun Mas Indra menolak. Akhirnya Mas Indra bertemu pasangan suami istri yang habis belanja kebutuhan jualan dengan pikap. Pasangan ini setuju untuk ditumpangi Mas Indra sampai sebuah titik. “Tapi diam-diam si sopir angkot membuntuti kami,” ujar Mas Indra.
Di tengah perjalanan, pikap yang ditumpangi Mas Indra dicegat. Ternyata supir angkot tadi berniat memaksa Mas Indra untuk naik angkot yang dikemudikannya. Tentu Mas Indra menolak karena yang dicari gratisan. Setelah perdebatan panjang, sopir angkot tadi menyerah dan meninggalkan Mas Indra dan teman perjalanannya. Terpaksa mereka berjalan kaki tanpa tahu ada kesempatan lagi untuk mendapat tumpangan.
Tanpa dinyana, pasangan suami istri tadi menunggu di jalan depan. Mereka menanti Mas Indra untuk memberi tumpangan lagi sampai ke titik kesepakatan. “Ternyata masih banyak orang baik ya mas,” ujar Mas Indra.
Akhirnya Mas Indra kembali menumpang pasangan suami istri tadi. Setelah sampai titik kesepakatan mereka, Mas Indra kembali berjalan kaki. Karena mulai lapar, Mas Indra dan teman perjalanannya mampir ke sebuah warung. Dan sekali lagi, Mas Indra merasakan kebaikan orang-orang akar rumput.
“Waktu di warung kami makan siang mas. Kebetulan kami membahas perjalanan yang penuh lika-liku ini. Sepertinya pemilik warung menguping dan bersimpati. Akhirnya ketika mau bayar, uang kami tidak diterima mas. Malah kami diberi satu botol air mineral gratis,” kenang Mas Indra.
Pada akhirnya, perjalanan Mas Indra berlanjut sampai Gili Trawangan. Sampai sana, Mas Indra dan 2 orang temannya memutuskan untuk kemping sehari. Setelah kemping, Mas Indra dan teman-teman yang kini sudah berkumpul sepakat untuk pulang ke Solo. Sempat dijemput alumni kampus yang tinggal di Lombok, Mas Indra pun kembali memakai jempolnya untuk pulang.
Tapi perjalanan pulang modal jempol ini makin menguras tenaga Mas Indra. Pada akhirnya Mas Indra menyerah dan memilih naik Bus setelah sampai Mojokerto. “Lha gimana mas, jalan 3 jam di bawah terik matahari tapi tidak dapat tumpangan,” kenang Mas Indra di penghujung perjalanannya.
Habis Rp600 ribu untuk 12 hari perjalanan
“Mas, ada kisah menyentuh apa saja yang mas alami?” Tanya saya penasaran.
“Banyak banget mas,” ujar Mas Indra. Selain apa yang sudah diceritakan sebelumnya, Mas Indra juga mendapat kemurahan hati dari sopir yang ditumpangi. Di malam pertama perjalanan, sopir yang ditumpangi membelikan makan. Begitu pula sopir travel yang ditumpangi dari Pasuruan sampai Banyuwangi yang membelikan makan siang. “Aku percaya, masih banyak orang baik,” imbuh Mas Indra.
“Banyak pula yang aku pelajari dari 12 hari perjalanan modal jempol ini,” ujar Mas Indra sambil kembali menyulut rokok. Bagi Mas Indra, perjalanan bermodal jempol ini adalah pengalaman luar biasa. Mas Indra merasa pandangan tentang travelling makin luas. Apalagi ketika selama ini Mas Indra melakukan travelling dengan kemudahan. Baik transportasi maupun akomodasi lain.
Mas indra juga bertemu banyak jenis manusia. Menurut blio, ini pelajaran berharga yang diperoleh dari perjalanan modal jempol yang tidak mudah tadi. Selain bertemu orang baik, Mas Indra bertemu pula dengan orang yang menuntut kesabaran. “Waktu awal perjalanan, aku dan sopir truck tidur di SPBU. Tapi bagaimana mau tidur, lha ngoroknya keras banget. Pada akhirnya kami tidur dalam shift. Yang satu tidur menjauhi sopir, yang satu jaga barang. Aku belajar arti kompromi mas,” ujar Mas Indra sambil terkekeh.
Dan dalam perjalanan modal jempol ini, Mas Indra makin mencintai alam semesta. Karena dalam setiap langkah dari Solo ke Rinjani, semua selalu disyukuri oleh Mas Indra. Dan ini bukan langkah dalam arti kiasan. Namun benar-benar setiap langkah kaki terasa sangat berharga. “Setiap merasakan langkah kakimu, kamu akan menyadari dan mensyukuri apa yang di tuju,” imbuh Mas Indra.
Ini juga menentukan bagaimana Mas Indra menghargai proses. Dalam perjalanan liburan, seringkali yang dibayangkan hanya tujuan. Tapi kita lupa proses menuju kesana. “Ketika njempol seperti ini, kita tidak bisa tidur semaunya sepanjang perjalanan. Dan setiap prosesnya terasa sekali,” imbuh Mas Indra.
Satu hal lagi, perjalanan tadi jadi motivasinya untuk fokus menyelesaikan skripsi dan menjadi perpisahan yang manis dengan masa-masa mengjadi mahasiswa.
Ketika saya bertanya perihal biaya yang keluar, Mas Indra menyebut sekitar 627 ribu rupiah. “Itu sudah termasuk untuk biaya akomodasi dan naik ke Rinjani ya,” tekan Mas Indra. Biaya yang sangat murah untuk perjalanan jauh dan penuh makna.
Mas Indra pun berpesan pada mereka yang mau mencoba perjalanan seperti blio. “Nek wani ojo wedi-wedi, nek wedi ojo wani-wani,” ujar Mas Indra yang artinya kalau berani jangan takut-takut, kalau takut jangan asal berani. Mas Indra juga mengingatkan agar selalu open minded terhadap respon dan situasi yang dirasakan. Sehingga tidak ada rasa kagetan melihat realita.
Dan yang terpenting adalah planning atau perencanaan. “Mungkin yang kulakukan terlihat tanpa planning karena modal pertolongan orang. Tapi tidak sepenuhnya seperti itu! Minimal tahu tujuan sepanjang perjalanan dan punya backup plan. Pokoknya jangan goblok dan gegabah. Dan selalu punya pikiran dan pandangan luas!” Ujar Mas Indra.
“Lha ada rencana travelling modal jempol lagi ngga?” Tanya saya.
“Ada, rencana mau ke Flores NTT modal jempol lagi. Tapi entah kapan terlaksana. Masih terhalang pekerjaan,” ujar Mas Indra yang kini menjadi HRD itu. Yah, saya hanya bisa berdoa dan menanti kisah lain dari Mas Indra.
BACA JUGA Mereka yang Merawat Anjing Telantar dan liputan menarik lainnya di Susul.