Senjakala Petani Salak Banjarnegara, Dulu Makmur Kini Tersungkur

Ilustrasi senjakala petani salak Banjarnegara, dulu makmur kini tersungkur (Ega Fansuri/Mojok.co)

Dulu petani salak di Banjarnegara bisa hidup makmur saat kuantitas panen berlimpah dan harga menjanjikan. Namun, saat ini kebun salak luas pun hanya bisa membantu bertahan memenuhi kehidupan sehari-hari.

***

Salak jadi salah satu komoditas andalan di Banjarnegara. Di beberapa kecamatan seperti Madukara, Banjarmangu, hingga Sigaluh, lahan pertanian didominasi tumbuhan penghasil buah dengan kulit berduri satu ini.

Nyaris satu dekade silam, petani salak Banjarnegara masih bisa mengandalkan hasil panen untuk kebutuhan-kebutuhan besar. Seorang petani, Edi Suprianto (36) mengaku bisa membangun rumah dari hasil bertani selama tiga tahun.

“Dulu bangun rumah mulai 2013 sampai 2015 berkat hasil salak,” ujarnya sambil melongok rumahnya.

Selasa (5/9/2023) pagi, saya berjumpa warga Desa Kendaga, Banjarmangu, Banjarnegara ini di kebun salak yang terletak di samping tempat tinggalnya. Setiap pagi, salah satu aktivitas tetapnya adalah menengok tanaman yang sudah jadi sumber penghidupannya selama bertahun-tahun.

petani salak. MOJOK.CO
Kebun salak di Banjarmangu, Banjarnegara (Hammam Izzuddin/Mojok.co)

Edi mulai terjun penuh waktu menjadi petani sejak 2009. Meneruskan pekerjaan turun temurun dari orang tuanya. Optimisme masih ada di benaknya saat mulai mengurus beberapa bidang kebun dari orang tua.

Salak pondoh yang Edi tanam sebenarnya istimewa. Sekali ditanam, setelah berusia lima tahun dan produktif berbuah maka bisa bertahan lebih dari dua puluh tahun. Sebulan satu kebun bisa panen dua kali.

Selain itu, menurut Edi perawatannya terbilang lebih mudah ketimbang bercocok tanam sayuran. Mulai dari memupuk kebun secara menyeluruh setidaknya dua kali dalam setahun, menyerbuk rutin setiap dua pekan, menyiangi rumput dan ilalang, hingga proses panen.

Tak heran jika salak pondoh jadi primadona. Di masa saat hasil panen melimpah dan harga stabil di atas Rp4 ribu bahkan sampai Rp5 ribu petani seperti Edi bisa menabung cukup uang untuk kebutuhan-kebutuhan besar kehidupan.

“Beda dengan sekarang. Rata-rata harganya di bawah Rp3 ribu per kilo. Bahkan sering hampir di bawah Rp2 ribu,” curhatnya.

Penyebab jumlah panen menurun dan harga rendah

Satu hektare lahan salak bisa ia tanam hingga 2.500 hingga 3.000 pohon salak. Lahan seluas itu beberapa tahun terakhir menurut Edi hanya bisa menghasilkan 800 kilogram sampai 1 ton buah setiap kali panen. Padahal, tidak banyak petani yang punya lahan seluas itu.

“Sebelum 2015 itu masih bisa di atas satu ton. Bahkan sampai dua ton di lahan yang sama,” kenangnya.

Sebagai generasi petani yang masih tergolong muda, Edi masih pernah mencicipi ledakan harga salak. Hal itu terjadi sekitar tahun 2010-2012 saat terjadi erupsi Merapi yang mengganggu pasokan salak dari Sleman. Namun, kenangan itu sudah lewat lebih dari satu dekade.

Ada banyak faktor yang menyebabkan penyusutan hasil panen. Salah satunya pupuk bersubsidi yang kini susah untuk petani dapatkan dengan kuantitas yang ideal. Hal itu menyebabkan kebun tidak dipupuk secara optimal.

Jika harus membeli pupuk nonsubsidi, Edi berpendapat kebanyakan petani tak mampu. Terlebih di saat harga jual salak sedang konsisten rendah seperti beberapa tahun belakangan.

“Dulu beli pupuk bersubsidi berapa saja mudah. Bisa beli sesuai kebutuhan. Sekarang kuotanya terbatas sekali,” keluhnya.

Selain itu faktor iklim dan cuaca yang semakin tidak menentu turut memengaruhi hasil dari kebun. Musim kemarau dan hujan bisa berlangsung lebih lama dari biasanya.

Di sisi lain, petani salak di Banjarnegara cukup banyak di saat permintaan terhadap buah ini tidak bertambah besar. Alhasil harganya mengalami penurunan cukup jauh dari masa kejayaannya dulu.

Saat ini di Banjarnegara, luas lahan produktif untuk kebun salak mencapai sekitar 8.502 hektare. Rumpun produktifnya mencapai kurang lebih ± 12.651.800 buah.

Kecamatan Banjarmangu tempat Edi tinggal merupakan daerah penghasil salak terbesar kedua setelah Kecamatan Madukara. Di Banjarnegara, kebun salak berada di daerah dengan iklim yang mulai dingin, tapi belum ideal untuk bertani sayuran.

Anak muda banyak merantau karena salak semakin tidak menghasilkan

Edi, petani salak di Banjarnegara sedang menengok kebun (Hammam Izzuddin/Mojok.co)

Demi menyiasati situasi, Edi mengandalkan tanaman lain yang bisa menghasilkan pemasukan. Meski siklusnya tidak secepat salak. Ia misalnya, menanam kapulaga, pisang, pete, kelapa, hingga kayu albasia.

Tanaman itu bisa menjadi tabungan tambahan untuk mengganjal kebutuhan besar seperti biaya sekolah anak hingga renovasi rumah. Ia mengaku beruntung lantaran punya lebih dari satu bidang lahan.

“Kalau yang lahannya kecil, mereka sudah nggak bisa hidup dari salak saja,” katanya.

Alhasil banyak anak muda di desanya yang akhirnya memilih merantau menjadi buruh di kota-kota besar. Menjadi petani dengan lahan terbatas tidak jadi pilihan yang menjanjikan.

“Sekarang sebenarnya banyak petani yang mulai terpikir alih komoditas tapi masih bingung,” paparnya.

Kontur wilayah perbukitan dengan pengairan yang terbatas membuat menanam padi sedikit sulit. Sementara itu, menurut Edi, wilayah tempat tinggalnya juga belum cocok untuk bercocok tanam sayuran.

Salak masih menjadi pilihan banyak petani karena meski harganya rendah namun perawatannya mudah. Mereka belum berani berganti komoditas langsung secara menyeluruh.

Baca halaman selanjutnya…

Mengenang masa kejayaan petani salak Banjarnegara

Mengenang masa kejayaan petani salak Banjarnegara

Salak pernah membuat petani Banjarnegara berjaya. Kenangan akan masa-masa indah itu masih lekat di ingatan Kasrowi (76). Sejak awal 1980-an ia sudah menanami lahan miliknya dengan salak. Belum salak pondoh yang terkenal manis, saat itu petani masih menanam salak lokal Banjarnegara.

Salak lokal Banjarnegara punya cita rasa asam dan agak sepat. Namun, salak ini sempat punya banyak peminat.

Salak pondoh yang masih muda (Hammam Izzuddin/Mojok.co)

“Zaman itu masih belum ada petani di sini yang menanam salak pondoh. Salak lokal masih mendominasi,” kenangnya.

Salak mulai masif menjadi komoditas pertanian di Banjarnegara pada masa itu, sekitar tahun 1980-an. Secara cepat, hasil pertanian ini bisa mendongkrak perekonomian warga setempat.

Buat warga desa kala itu, bisa berangkat haji adalah penanda kemampuan ekonomi. Berkat hasil salak, Kasrowi bisa pergi ke Tanah Suci pada 1991. Kejayaan salak berlanjut pada era 1990-an. Petani yang berhasil bisa membangun rumah dan menabung untuk memperluas lahan.

Petani lain, Niyem (63) juga mengaku merasakan indahnya masa kejayaan bersama salak. Kala itu ia bisa membangun tempat berteduh untuk keluarganya dan membeli lebih dari sepuluh bidang tanah untuk bertani salak.

“Beberapa tahun terakhir yang ada sebaliknya. Tanah-tanah mulai dijual untuk kebutuhan besar,” curhatnya.

Di Banjarnegara, salak lokal mulai tergantikan dengan salak pondoh pada akhir 1990-an sampai awal 2000. Salak pondoh yang sejak lama sudah berkembang menjadi andalan warga Sleman mulai menarik minat petani di Banjarnegara.

Bersama salak pondoh petani Banjarnegara masih sempat merasakan masa-masa manis lebih dari satu dekade. Sampai perlahan harganya pun menjadi kurang menjanjikan lagi. Petani pun saat ini gigit jari.

Penulis : Hammam Izzuddin
Editor  : Agung Purwandono

BACA JUGA Ketika Salak Pondoh Tak Lagi Istimewa

Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News

Exit mobile version