Merawat Semangat Senang-senang agar Jurnalisme Musik Tetap Hidup

jurnalisme musik mojok.co

Ilustrasi jurnalisme musik (Ega Fanshuri/Mojok.co)

Lanskap media kini telah berubah. Semangat “senang-senang” perlu jadi dorongan agar jurnalisme musik bisa terus hidup.

“Jadi sekarang tuh senjakala jurnalisme musik gitu ya?” tanya Kiki PEA pada acara “Di Balik Panggung Road to Cherrypop 2023” dengan tema “Jurnalisme Musik dan Swasembada” pada Sabtu (5/82023).

Pertanyaan itu merespons obrolan para pembicara, jurnalis musik Nuran Wibisono dan Redaktur Mojok.co Purnawan Setyo Adi. Mereka membahas anggapan yang santer terdengar belakangan bahwa diskursus musik semakin jarang terjadi. Anggapan tersebut salah satunya didasarkan pada dua hal: sedikitnya tulisan musik di media arus utama dan tutupnya media musik besar macam Rolling Stone, Trax, dsb.

Nuran tak menampik lanskap jurnalisme musik berubah sejak media besar tersebut tutup. Namun, ia menolak menyebutnya sebagai senjakala.

Masih ada secercah api di jurnalisme musik. Ia berasal dari “semangat senang-senang” para penulis musik di platform digital, baik itu media sosial maupun blog pribadi. Semangat itu juga yang jadi satu-satunya modal agar jurnalisme musik bisa terus hidup di tengah “kematian” media musik arus utama.

Ketiga pria itu mengakuinya saat menceritakan awal mula pengalaman mereka di jurnalisme musik. Meskipun saat itu masih banyak media besar, dorongan terbesar mereka menulis (musik) sejatinya berasal dari semangat senang-senang.

Perkenalan dengan jurnalisme musik

Nuran pertama kali bersinggungan dengan jurnalisme musik ketika masih mahasiswa. Saat itu sekitar tahun 2006. Majalah Rolling Stone Indonesia sedang berada di masa jaya dan sebuah liputan di sana membuatnya terkesima. Liputan itu tentang Ari Lasso.

Sosok vokalis dari grup band legendaris Dewa 19 itu diulas menjadi feature panjang, sekira 10 halaman. Liputan tersebut menurut Nuran sangat bagus dan dalam. Apalagi, pada saat itu, kebanyakan musisi punya sisi yang misterius yang sulit diulik. “Ternyata bisa ya menulis musik kayak begini,” pikir Nuran kala itu.

Tulisan-tulisan di Rolling Stone pun menginspirasi eksperimen-eksperimen awal Nuran di jurnalisme musik. Saat itu, misalnya, Nuran baru masuk di Pers Mahasiswa Tegalboto, Universitas Jember, dan ia mengusulkan tema musik.

Selain itu, Nuran juga mulai menulis blog yang isinya kebanyakan mengulas musik. Tak cukup puas dengan platform tersebut, Nuran pun mencoba menulis untuk media yang lebih besar. Ia lantas coba-coba menulis untuk Jakartabeat, sebuah portal musik online yang juga beken saat itu di samping Rolling Stone Indonesia.

Tulisan pertama Nuran di Jakartabeat berupa ulasan album. Album yang diulas adalah Continuum karya John Mayer. Kebetulan, kala itu Nuran sedang patah hati dan album John Mayer beresonansi dengan perasaannya. “Narasumbernya ya aku sendiri, sebagai orang yang patah hati waktu itu,” ujar Nuran.

Adapun, pengalaman paling mengesankan bagi Nuran di awal karirnya sebagai jurnalis musik ialah ketika ia menulis perihal skena hair metal di Indonesia. Itu pertama kalinya ia melakukan reportase dan langsung mewawancarai pelaku musik.

Yang ia wawancara kala itu ialah punggaawa beberapa band seperti Gondrong Kribo Bersaudara (GRIBS), Sangkakala, dan EL-C/DC. Dari liputan tersebut, Nuran berkesimpulan bahwa hair metal berkembang di Amerika berbeda dengan yang ada di Tanah Air. “Di Indonesia, musisinya working class hero. Jangankan sex, drugs, booze and rock n roll, di sini kalau nggak kerja ya nggak makan,” seloroh Nuran.

Kesenangan personal

Apa yang dilalui Nuran ternyata juga kurang lebih sama dengan pengalaman Purnawan Setyo Adi atau yang kerap disapa Ipang. Eksperimen pertamanya di jurnalis musik dimulai dengan ulasan.

Ipang mula-mula mengulas musik Smashing Pumpkins, band rock kenamaan asal Chicago. Pilihannya mengulas musik Smashing Pumpkins pun didasari kesenangan personal. Smashing Pumpkins memang merupakan band favorit Ipang sejak remaja.

Tak sekadar mengulas, Ipang juga menonton langsung konser Smashing Pumpkins di Java Rockin’ Land, Jakarta, pada 2010. Alhasil, ulasannya ditulis dengan format feature. “Waktu itu nulis feature, jadi gua bisa lebih leluasa nulis, karena ini secara history di aku juga deket banget,” ujar Ipang.

Adapun, pengalaman reportase pertama Ipang sama dengan Nuran. Ia juga mewawancarai Sangkakala. Namun, meliput Senyawa menjadi salah satu yang paling berkesan bagi di awal karirnya menulis musik. Ia terkesiap ketika menonton langsung penampilan band eksperimental tersebut, berikut alat musik custom-nya.

“Saat itu aku melihat Senyawa menarik banget. Alat musiknya custom, bambu runcing, urutan nadanya juga beda. Secara pribadi cukup berkesan,” imbuh Ipang.

Kiki PEA, yang kala itu memoderatori pembicaraan lantas urun bercerita pengalaman pribadinya. Berbeda dengan pembicara sebelumnya, pengalaman awal Kiki meliput musik langsung mempertemukannya dengan Iwan Fals.

Dengan durasi yang singkat, Kiki mengaku berhasil membangun momen hangat kala proses wawancara. Namun, hasil tulisan Kiki hanya menjadi berita pendek karena keterbatasan kolom koran tempatnya bekerja.

Alhasil, obsesi senang-senang itulah yang membuat mereka seolah dikutuk untuk terus menulis musik. Mungkin benar kata Nuran: ini semua tentang senang-senang.

Halaman selanjutnya…

Media musik hari ini

Media musik hari ini

“Dulu kita bisa membayangkan ada majalah Rolling Stone, Hai, Trax. Kalau sekarang bisa dibilang udah nggak ada,” ujar Nuran.

Lalu, bagaimana media musik hari ini? Nuran menyebut kebanyakan media musik saat ini, secara ekonomi, ditopang oleh industri rokok. Selain itu, mereka lebih mengandalkan penulis lepas. Beberapa di antaranya bahkan tak memiliki penulis in house. Hal ini bisa dibilang jadi perbedaan utama media musik hari ini dan sebelumnya.

Di samping itu, jurnalisme musik kebanyakan mewujud dalam bentuk kolektif daripada institusi media profesional. “Tapi ini jenis media yang hanya bisa digarap dengan passion. Kelemahannya adalah ketika dihadapkan urusan dapur dan perut, bentrok,” terang Nuran.

Lagipula, dapur tak mengepul ternyata bukan fenomena unik di Tanah Air. Nuran sempat bercerita, media musik di Eropa pun mengalami hal serupa. Salah seorang wartawan Metal Hammer, media musik asal London, konon pernah bercerita pada Nuran bahwa jurnalisme musik tak bisa memenuhi urusan perutnya sendiri.

“Gajiku lebih rendah daripada pekerja McD,” tegas wartawan tersebut, sepenuturan Nuran.

Agak berbeda dengan Nuran, Ipang menyebut tantangan terbesar media musik hari ini bukan semata ekonomi, melainkan konsistensi. Pernyataan ini kiranya didasarkan pada pengalamannya di jurnalisme musik.

Sejak awal berkarir di jurnalistik, Ipang memang tak hanya hidup dengan meliput musik, tapi juga ekonomi, politik, hukum dan sebagainya. “Mau nggak mau, tapi itu justru yg jadi pegangan,” pendek Ipang.

Lanskap yang berubah

Selain problem tersebut, Nuran juga memaparkan bagaimana lanskap jurnalisme musik berubah setelah era cetak runtuh. Menurutnya, jurnalisme musik masa kini mewujud dalam bentuk yang lebih personal.

Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya kanal musik yang lebih menonjolkan figur perorangan. Sebut saja Ngobryls dengan figur Jimi Multazham, Soleh Solihun, dan lain sebagainya. Memang, sejak era internet dan media sosial, semua orang bisa memiliki platform sendiri.

Perbedaan lainnya, jurnalisme musik masa kini mulai beralih ke berbagai medium seperti video, tak seperti dulu yang dominan teks.

Lanskap ini tentu bisa jadi peluang dan hambatan secara bersamaan. Ipang tampaknya memilih untuk lebih optimis. Selain lanskap baru yang dipaparkan Nuran, Ipang menjelaskan ada fenomena baru di media digital yang patut dianggap sebagai peluang.

Fenomena itu ialah tumbuhnya media hiperlokal. Menurut Ipang, munculnya media macam ini bisa jadi medium buat jurnalisme musik, terutama yang membahas musik lokal.

Hal inilah yang kiranya hendak disambut oleh Cherrypop. Di festival keduanya pada 19-20 Agustus besok, Cherrypop hendak mengadakan lokakarya jurnalisme musik yang berkaitan dengan lokalitas. Lokakarya tersebut bernama Penaskena,

Lokakarya yang diadakan Cherrypop bersama Mojok.co ini merupakan kelanjutan program Rekam Skena. Ia merupakan program yang diusung Cherrypop pada festivalnya yang pertama. Alhasil, program tersebut menelurkan lima film dokumenter tentang beberapa skena musik di Jogja pada periode tertentu.

“Tahun ini, tahun kedua, Penaskena idenya sama, tapi formatnya tulisan,” tutup Kiki.

Penulis: Sidratul Muntaha
Editor: Purnawan Setyo Adi

BACA JUGA Generasi Baru Musik Jogja: Tumbuh Bersama Komunitas Meski Pagebluk Menghantam

Cek berita dan artikel lainnya di Google News

 

Exit mobile version