Media musik hari ini
“Dulu kita bisa membayangkan ada majalah Rolling Stone, Hai, Trax. Kalau sekarang bisa dibilang udah nggak ada,” ujar Nuran.
Lalu, bagaimana media musik hari ini? Nuran menyebut kebanyakan media musik saat ini, secara ekonomi, ditopang oleh industri rokok. Selain itu, mereka lebih mengandalkan penulis lepas. Beberapa di antaranya bahkan tak memiliki penulis in house. Hal ini bisa dibilang jadi perbedaan utama media musik hari ini dan sebelumnya.
Di samping itu, jurnalisme musik kebanyakan mewujud dalam bentuk kolektif daripada institusi media profesional. “Tapi ini jenis media yang hanya bisa digarap dengan passion. Kelemahannya adalah ketika dihadapkan urusan dapur dan perut, bentrok,” terang Nuran.
Lagipula, dapur tak mengepul ternyata bukan fenomena unik di Tanah Air. Nuran sempat bercerita, media musik di Eropa pun mengalami hal serupa. Salah seorang wartawan Metal Hammer, media musik asal London, konon pernah bercerita pada Nuran bahwa jurnalisme musik tak bisa memenuhi urusan perutnya sendiri.
“Gajiku lebih rendah daripada pekerja McD,” tegas wartawan tersebut, sepenuturan Nuran.
Agak berbeda dengan Nuran, Ipang menyebut tantangan terbesar media musik hari ini bukan semata ekonomi, melainkan konsistensi. Pernyataan ini kiranya didasarkan pada pengalamannya di jurnalisme musik.
Sejak awal berkarir di jurnalistik, Ipang memang tak hanya hidup dengan meliput musik, tapi juga ekonomi, politik, hukum dan sebagainya. “Mau nggak mau, tapi itu justru yg jadi pegangan,” pendek Ipang.
Lanskap yang berubah
Selain problem tersebut, Nuran juga memaparkan bagaimana lanskap jurnalisme musik berubah setelah era cetak runtuh. Menurutnya, jurnalisme musik masa kini mewujud dalam bentuk yang lebih personal.
Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya kanal musik yang lebih menonjolkan figur perorangan. Sebut saja Ngobryls dengan figur Jimi Multazham, Soleh Solihun, dan lain sebagainya. Memang, sejak era internet dan media sosial, semua orang bisa memiliki platform sendiri.
Perbedaan lainnya, jurnalisme musik masa kini mulai beralih ke berbagai medium seperti video, tak seperti dulu yang dominan teks.
Lanskap ini tentu bisa jadi peluang dan hambatan secara bersamaan. Ipang tampaknya memilih untuk lebih optimis. Selain lanskap baru yang dipaparkan Nuran, Ipang menjelaskan ada fenomena baru di media digital yang patut dianggap sebagai peluang.
Fenomena itu ialah tumbuhnya media hiperlokal. Menurut Ipang, munculnya media macam ini bisa jadi medium buat jurnalisme musik, terutama yang membahas musik lokal.
Hal inilah yang kiranya hendak disambut oleh Cherrypop. Di festival keduanya pada 19-20 Agustus besok, Cherrypop hendak mengadakan lokakarya jurnalisme musik yang berkaitan dengan lokalitas. Lokakarya tersebut bernama Penaskena,
Lokakarya yang diadakan Cherrypop bersama Mojok.co ini merupakan kelanjutan program Rekam Skena. Ia merupakan program yang diusung Cherrypop pada festivalnya yang pertama. Alhasil, program tersebut menelurkan lima film dokumenter tentang beberapa skena musik di Jogja pada periode tertentu.
“Tahun ini, tahun kedua, Penaskena idenya sama, tapi formatnya tulisan,” tutup Kiki.
Penulis: Sidratul Muntaha
Editor: Purnawan Setyo Adi
BACA JUGA Generasi Baru Musik Jogja: Tumbuh Bersama Komunitas Meski Pagebluk Menghantam
Cek berita dan artikel lainnya di Google News