Jogja sejak lama jadi persemaian banyak gigs mandiri hingga festival musik. Pergelaran ini bukan sekadar hiburan. Namun jadi penyambung hidup dan tali persaudaraan demi keberlanjutan skena musik.
***
Saya mengunjungi kantor sebuah band legendaris Jogja yang terletak di bilangan Patehan, Kraton. Di tempat yang cukup sunyi di siang hari itu, Shaggydog bermarkas.
Namun, Jumat (19/5/2023) siang saya bukan ingin bertemu Heruwa dan rekan-rekannya. Melainkan dengan Martinus Indra Hermawan yang akrab disapa Indra Menus. Mata dan telinga sosok ini telah banyak merekam perjalanan skena musik di Jogja. Ia kini sibuk mengurusi label doggyhouse records.
“Shaggydog dulu awalnya lahir dari gigs underground,” celetuk Menus. Lelaki ini memang punya beragam atribut dalam dunia musik, baik sebagai pengamat maupun pelaku skena musik Jogja.
Gigs dan festival musik, buat sosok kelahiran 1982 ini adalah dua hal yang berbeda kendati ada banyak pertalian yang sama. Utamanya masalah skala. Gigs akrab dengan pertunjukan kecil dengan penonton tak lebih dari 100 orang.
Masalah pengorganisasian, gigs juga cenderung lebih mandiri lewat inisiasi sejumlah kolektif atau organizer yang ramping. Tidak perlu sokongan sponsor besar untuk menyelenggarakan pertunjukan. Hal ini tentu berbeda dengan konser, juga festival yang punya skala lebih besar dengan ribuan massa.
Festival musik harus kasih perhatian ke gigs mandiri
Satu dekade belakangan, publik akrab dengan sejumlah festival musik besar yang ada di Jogja. Mulai dari Jogjarockarta sampai Prambanan Jazz Festival. Terbaru, ada Cherrypop Festival yang muncul membawa warna baru dengan band-band mitos yang ia munculkan.
Kemunculan festival-festival ini tentu membuat pagelaran musik di Jogja makin semarak. Namun Menus menganggap organizer festival harus menaruh perhatian pada gigs-gigs mandiri. Sebab di sanalah band-band baru unjuk gigi.
Orientasi profit kadang menuntut EO untuk mencari band-band yang sudah punya basis massa kuat. Namun bagi Menus, idealnya para penghelat acara punya perhatian lebih pada grup musik baru yang punya potensi dan layak mendapat panggung lebih besar.
Perkembangan nyata musik di akar rumput terlihat dari gigs-gigs yang banyak dihelat di kafe hingga gedung skala kecil dan menengah.
“Makanya gigs kecil itu fungsinya regenerasi dan tempat mencari talent baru,” kata Menus.
“Kalau kita lihat Jogjarockarta itu memang orang-orangnya banyak yang suka mantengin gigs mandiri,” imbuh Menus. Tampak dari band-band aliran rock lokal Jogja seperti The Kick yang dihadirkan pada Jogjarockarta 2022 lalu.
Budaya tiket murah mewarnai tren gigs di Jogja
Kami duduk berdua di gazebo depan Kantor Shaggydog. Siang sedang terik. Menus berulang kali mengelap dahinya yang berkeringat dengan handuk kecil yang melingkar di lehernya. Ia mulai mengenang perjalanan gigs di Jogja yang penuh warna, setidaknya sejak era 90-an.
Gigs mandiri di Jogja tak bisa lepas dan komunitas kolektif yang memang gemar srawung tiap akhir pekan. Di tongkrongan itu biasanya ide-ide menghelat pertunjukan lahir.
Di era 90-an, menurutnya, gigs di Jogja masih jauh dari sponsor. Panggung-panggung saat itu bernuansa underground. Genrenya cukup bervariasi mulai dari metal, ska, sampai punk.
Salah satu grup musik yang lahir dari panggung semacam itu adalah Shaggydog. Saat itu menurutnya panggung gigs masih terisi lintas genre.
Perhelatan banyak menggunakan venue yang cukup besar. Beberapa contohnya auditorium kampus seperti Sanatha Dharma, Atma Jaya, hingga Wangsa Manggala (kini Mercu Buana). Perhelatan ini umumnya menghimpun lebih dari seratus massa.
Demi gelaran itu, band hingga organizer urun dana. Band membayar Rp30-50 ribu untuk bisa pentas. Durasi per band hanya sekitar 15 menit. Gigs bisa berlangsung seharian dari pagi sampai malam. Acara dengan durasi panjang semacam ini biasanya hadir setahun sekali.
“Jarang yang sampai setahun lebih dari dua kali,” ujar Menus.
Buat Menus saat itu tiket masuk gigs di Jogja sudah dikenal relatif lebih murah ketimbang daerah lain. Semangatnya memang untuk bersenang-senang dan memberikan ruang untuk bermusik. Urusan duit, asal menutup biaya produksi sudah membuat penyelenggara lega.
“Saat daerah lain sudah mulai mematok tiket Rp5 ribu. Di Jogja masih Rp1.000 sampai Rp1.500,” terangnya.
Perubahan di pertengahan 2000, gigs gratisan berkembang
Berjalannya waktu, tren gigs mandiri di Jogja juga mengalami perkembangan ke format yang sedikit berbeda. Mulai pertengahan 2000-an, Menus melihat ada perubahan signifikan.
“Salah satunya sih tentang jadwal gigs. Dulunya akhir pekan atau tanggal merah, mulai berubah ke hari kerja,” terangnya.
Salah satu penyebabnya adalah kedatangan sejumlah band tur dari luar negeri. Dua nama yang Menus ingat adalah WOJCZECH dan G.LAS. Dua grup musik yang mulai mengorbit sejak 90-an ini sempat mampir ke Jogja pada medio 2003-2004.
Padatnya jadwal tur membuat band-band ini tidak bisa mengkhususkan diri manggung di gigs pada akhir pekan saat melawat ke Jogja. Kondisi itu ternyata turut mengubah kultur waktu pelaksanaan gelaran musik.
Selanjutnya, panggung-panggung ini juga mulai terpecah. Mulanya panggung dengan venue cukup besar dengan gabungan beragam aliran musik, kemudian terpencar menjadi panggung-panggung kecil lintas genre.
“Gigs semakin kecil skalanya. Beberapa juga bikin acara yang spesifik ke sub genre. Ada One Family One Brotherhood (OFOB) untuk hardcore sampai Sound of Ska,” terangnya.
Tak hanya berangkat dari kolektif, pada era ini muncul inisiator gigs perseorangan yang turut menyuburkan panggung-panggung dengan skala yang lebih mini. Sebut saja sosok Joko Problemo dengan ROXX Organizer miliknya.
“Kalau Mas Joko itu memang senang bikin acara. Dia sampai rela gadaikan BPKB kendaraan untuk acara-acara buatannya,” kenang Menus tertawa.
Namun salah satu pendorong panggung yang semakin ramping adalah tumbuh suburnya kafe-kafe di Jogja. Kafe ini menyediakan alternatif panggung bagi pegiat musik. Bukan hanya panggung yang lebih kecil tapi juga gratisan.
Kafe mengharapkan pemasukan dari para penonton gelaran musik. Alhasil, mereka menyediakan tempat secara gratis dengan syarat pembelian menu oleh para penonton yang datang. Acara pun berkembang tanpa tiket masuk.
“Akhirnya muncul lah budaya gigs gratisan. Band dan organizer patungan untuk sewa alat aja. Intinya mah dulu buat acara ya jarang mikirin profit. Sponsor yang masuk juga paling distro,” papar Menus.
Panggung semakin banyak. Organizer pun subur berkembang. Menus bersama sejumlah rekannya kala itu turut menginisiasi Kongsi Jahat Syndicate.
Pandemi usai, semakin ramai, semakin selektif
Kongsi Jahat Syndicate pernah menggawangi tur Efek Rumah Kaca saat membawakan album Kamar Gelap di Jogja medio 2009. Saat itu, ERK baru saja merilis album self-titled mereka yang kedua yakni Kamar Gelap. Taman Budaya Yogyakarta pun pecah dengan penampilan Cholil Mahmud dan kompatriotnya.
Setelah tahun 2010, organizer gigs semakin banyak bermunculan lagi. Ada Terror Weekend, YK Booking, sampai Koloni Gigs. Venue untuk pementasan pun semakin banyak dan beragam.
Jogja semakin kaya gelaran musik. Bahkan setelah pandemi selesai, panggung-panggung musik di Jogja semakin banyak.
“Justru saat pasca-pandemi itu kafe semakin banyak bermunculan. Membuat gigs semakin banyak lagi,” katanya.
Menus melihat perkembangan ini membuat sejumlah pemilik venue khawatir bahwa nantinya acara jadi sepi. Namun bagi Menus pribadi, pada akhirnya, maraknya gigs ini jadi proses seleksi khalayak musik. Mereka yang benar-benar datang untuk menikmati karya akan bertahan.
Di balik perhelatan gigs yang jadi tempat band-band rintisan unjuk gigi, festival besar di Jogja juga punya alur perkembangan tersendiri. Festival yang benar-benar lahir di Jogja dan mengedepankan penampil dari Jogja.
Festival musik Jogja tumbuh subur
Menus mengenang salah satu festival legendaris, yang sayangnya tidak bertahan lama yakni Locstock (Local Stock) Festival. Dari namanya, festival ini ingin menunjukkan bahwa Jogja punya stok potensi band lokal yang layak diberi panggung besar.
“Itu zamannya Jenny (sekarang FSTVLST) baru muncul,” cetus Menus.
Locstock menjadi proyek besar yang dalam sejarah perhelatan musik di Jogja. Hampir 100 penampil yang kebanyakan band dari Jogja mendapatkan kesempatan tampil di panggung besar Stadion Kridosono.
Namun sayang, pada gelaran selanjutnya tragedi nahas menimpa festival tersebut. Pada 2013, Locstock yang sejatinya hendak digelar di Stadion Maguwoharjo batal lantaran ketua panitia meninggal akibat bunuh diri.
Beberapa sumber menyebutkan bahwa ketua penyelenggara, Bobby Yoga, memutuskan mengakhiri hidupnya akibat permasalahan yang terjadi pada acara tersebut. Salah satunya karena gagal menutup biaya operasinal festival. Tragedi itu menjadi pembelajaran bagi segenap pelaku industri musik di Jogja.
Setelahnya, geliat gelaran konser di Jogja terus berkembang. Bayu Kristiawan dari Koloni Gigs juga berpendapat bahwa festival musik di Jogja berkembang pesat pasca-2013.
“Kalau saya ngelihatnya semua festival, baik musik, seni, dan budaya di Jogja itu berkembang pesat setelah tahun 2013,” paparnya.
Seperti yang telah tersebut sebelumnya, beberapa festival yang identik dengan Jogja seperti Jogjarockarta hingga Prambanan Jazz mulai berjalan. Memang, Bayu mengakui bahwa sampai sekarang festival ini mengandalkan band dari luar Jogja untuk menarik massa.
“Kalau ada pun yang sudah punya basis massa banyak. Misal FSTVLST,” ujar salah satu inisiator Cherrypop Festival ini.
Potensi musik Jogja
Menurut Bayu, Jogja terhitung punya potensi band yang kaya genre dan musik berkualitas. Band-band berani membuat album sendiri. Memunculkan musik yang punya karakter kuat.
Band-band itu layak untuk tampil di panggung besar. Namun sayang belum semua festival bisa memberikan wadah yang cukup untuk mereka.
Lewat Cherrypop, Bayu dan rekan-rekan ingin memberikan panggung buat grup musik potensial tersebut. Festival yang tahun ini menginjak edisi kedua ini memang lekat dengan predikat penghadir band-band mitos.
“Kami coba kasih ruang juga untuk band baru. Mereka yang udah biasa tampil di gigs-gigs lokal,” terang lelaki 31 tahun ini.
Tahun ini, beberapa band asal Jogja yang sedang coba mereka angkat di antaranya The Kick, Impromptu, Nood Kink, sampai Liburan Dirumah. Beberapa nama seperti The Kick sebelumnya sudah pernah manggung di Jogjarockarta.
Kurasi band-band lokal ini salah satunya berasal dari kompilasi gubahan Koloni Gigs. Kolektif tersebut mengumpulkan daftar band asal Jogja yang merilis single maupun album di masa pandemi.
Buat Bayu, skena musik Jogja ini punya sejumlah keunikan. Wilayah yang terbilang sempit membuat orang yang terlibat di dalam saling bertautan. Antar-genre mulai dari hardcore, hip hop, hingga alternatif saling dukung.
Jogja juga jadi salah satu destinasi utama buat para band yang lagi melakukan tur. The Jansen misalnya, menjadikan kota ini sebagai destinasi pertama tur bertajuk Banal Wisata pada akhir 2022 lalu.
Penulis: Hammam Izzudin
Editor: Purnawan Setyo Adi