Butet Kartaredjasa punya laku spiritual sendiri. Sebagai penganut Kristen yang tidak taat, ia justru memilih wirid sebagai jalan untuk berdoa. Menuliskan namanya dalam beragam media, menjadi buku, dan kemudian memamerkannya.
***
Butet Kartaredjasa tak pernah main-main urusan nama. Hal itulah yang membuat Butet kembali berdoa dengan menggoreskan nama aslinya “Bambang Ekoloyo Butet Kartaredjasa” dalam beragam medium. Memunculkan dua kata depan yang dulunya tak dikenal khalayak.
Ia juga punya keyakinan bahwa nama Nusantara menjadi jalan menuju nasib baik Indonesia. Maka tak heran, tanpa proses politik yang ribet, ujug-ujug ibu kota baru Indonesia mengusung nama Nusantara. Ibu Kota Nusantara (IKN).
Bertahun-tahun Butet melakukan “wirid”, melantunkan dan menuliskan nama asli yang mula-mula lewat lembaran kertas biasa dengan baris kata tanpa pola estetika dan artistik apa-apa. Namun bukan Butet namanya, jika hal yang tidak ia niatkan sebagai sebuah seni, tidak berakhir dengan karya bernilai kapital.
Hal itu terlihat di gelaran ArtJog 2023. Begitu memasuki gedung Jogja National Museum, di lantai satu ada dua ruang yang memikat banyak penonton. Dua instalasi seni dari seniman lintas disiplin.
Laku spiritual Raja Monolog
Pertama, ada Goenawan Muhammad dengan gambar visualnya yang bertajuk Kitab Hantu. Di ruang itu, penonton menikmati karya seorang penulis dan intelektual yang beberapa tahun belakangan menggiati seni rupa.
Kitab Hantu berisi gambar-gambar karakter unik beserta teks deskripsi ironis yang menjadi tangkapan realitas GM akan hal-hal di sekitar kita. Ada Hantu Pinjol, Hantu Kuliner, dan hantu-hantu lain yang dipamerkan di sana.
Kedua, tentu karya dari sang Raja Monolog yang berada di ruang ujung timur lantai satu. Barang-barang hasil laku spiritual Butet yang terbilang unik. Sesuatu yang awalnya ia akui tidak ada tendensi menjadi karya seni. Namun, sampailah di sini.
Orang-orang yang datang tampak sibuk mengamati tulisan “Bambang Ekoloyo Butet Kartaredjasa” yang membentuk lukisan beragam rupa. Ada kepala manusia, kerbau, hingga kata “asu”. Uasuuok, kata Butet biasanya.
Orang yang masuk seakan benar-benar menyelami kedalaman nama bagi sosok Butet. Ada kliping koran, layar yang menayangkan penampilan sang aktor panggung, buku dengan kertas bergaris bertuliskan namanya, sampai suara latar yang ruang yang menyebut Bambang Ekoloyo…Bambang Ekoloyo.
Wirid lagi setelah diajak bercanda dengan maut
Di sudut ruang juga terdapat sebuah buku berjudul Jejak Wirid Visual Butet Kartaredjasa. Buku tersebut akan ia kupas hari ini bersama Hamid Basyaib dan Suwarno Wisetrotomo di Panggung Lengkung JNM.
Wirid adalah bentuk doa dari sosok ber-KTP Kristen yang nyaris tak pernah ke gereja ini. Umumnya memang wirid sebagai bentuk permohonan dengan menyebut nama Tuhan. Namun, Butet punya cara yang lain.
Kepercayaan mewiridkan nama ini bermula dari petuah pakar metafisika Arkand Bodhana Zeshaprajna. Arkand punya keyakinan bahwa nama adalah penentu nasib. Sebuah doa yang orang tua panjatkan dan tersemat sepanjang hayat bersama sang anak.
Bukan hanya Butet, ada beberapa sosok ternama yang juga sempat menyimak metode nama dari Arkand. Mereka di antaranya Slamet Rahadrjo, Goenawan Mohamad, Erros Djarot, Sudjiwo Tedjo, Arswendo Atmowiloto, dan beberapa lainnya.
Atas saran dari sang mentor spiritual, Butet kemudian melakukan ritus wirid tersebut. Sejak 2013 sampai 2017. Sempat berhenti, kemudian mulai lagi setelah ia dibuat bercanda oleh maut pada 2021. Ia sakit parah kala itu. Setidaknya ada tiga fase wirid sampai menghasilkan karya monumental yang bisa ia pamerkan.
“Saya ke gereja terakhir itu SMP. Ini cara berdoa yang asyik. Doa ada arsipnya, ada limbahnya, kalau orang beragama berdoa itu kan cuma umak-umik (mulutnya),” canda Butet.
Wirid dalam beragam medium
Sore pukul 15.30, Butet sudah tiba di area JNM. Ia datang mengenakan kemeja pendek berwarna putih, celana kain kombrong, serta tongkat yang sejak pulih dari sakit berguna untuk membantunya berjalan.
Sang aktor panggung ini lantas menyapa rekan seniman di depan panggung. Bercanda hangat dan tak lupa menyalakan rokoknya. Sebuah barang yang memang identik dan ada di mana pun ia berada.
Butet naik panggung perlahan dengan bantuan panitia. Gerak tubuhnya sudah tak selincah dulu, namun tangan dan pikirannya selalu elastis untuk berkarya. Wirid adalah juga salah satu caranya untuk menjaga elastisitas tangan sebagai seniman yang berangkat dari latar belakang seni rupa.
Buku Jejak Wirid Visual baginya bukan sekadar cetakan kertas. Ia ingin ini jadi benda seni, sebagai karya dari banyak orang, penulis hingga desainer grafis yang telah menata letak buku tersebut.
Senimal kelahiran 21 November 1961 ini mulanya, melihat setumpuk kertas hasil wiridnya yang teronggok di rumah. Naluri artisitiknya kemudian membawanya mengolah wirid itu menjadi pola-pola dengan nilai estetika. Hingga akhirnya ia ingin ini menjadi “sesuatu”. Bahkan tahun 2024 mendatang ia punya rencana menggelar pameran tunggal di Galeri Nasional, membawa wirid-wiridnya yang telah tertuang dalam beragam medium.
Rekan Butet, Hamid Basyaib, lalu urun cerita. Ia sebagai sesama pelaku wirid yang juga murid dari Arkand mengakui bahwa laku ini sangat membosankan. Perlu konsistensi dan pada taraf tertentu menjadi kegilaan seperti yang Butet lakukan.
“Sialan betul! Wirid ada yang melingkar dan segala macamnya. Butet mengembangkannya Makin gila,” katanya.
Wirid nama dan Nusantara
Butet melakoni wirid ini secara serius, bahkan membeli kertas untuk menggores tinta jauh-jauh dari Singapura. Keseriusan itu, ketika motifnya mulai memunculkan tendensi kesenian, terjadi di fase ketiga wirid sejak 2020 lalu.
Hamid yang juga mendampingi Butet dalam banyak kesempatan menjadi saksi keseriusan sang seniman. Ketika berbincang sampai larut malam, yang lain langsung beranjak istirahat, Butet tak lupa melakukan ritualnya.
Arkand mengajarkan bahwa nama yang diwiridkan itu merupakan hal serius. Sesuatu yang menyangkut nasib. Banyak orang yang mempercayai hal tersebut dan melakoni ritus serupa. Tapi tidak ada yang menyeriusinya selayaknya Butet.
Sebagai sebuah lukisan, apa yang dilakoni Butet menjadi sub genre yang unik. Hamid menyebutnya sebagai genre kaligrafi lantaran ada goresan nama. Tidak mudah bagi seniman lain untuk mengikutnya karena keunikan dan sisi personal yang ada pada karya ini.
Dalam jejak wiridnya, Butet juga menggoreskan kata Nusantara. Jika wirid nama adalah kewajiban, yang kedua baginya kategori wirid sunah. Doanya bagi bangsa.
Singkat kisah, mentornya, Arkand pernah menyampaikan bahwa Indonesia bisa pecah dan bubar jika tidak segera berganti nama. Dan nama yang ia usulkan adalah Nusantara.
“Nusantara itu mimpi mentor kami. Hal itu pernah ia sampaikan secara luas. Nah ini tanpa deklarasi dan proses politik macam-macam ternyata harapannya muncul di nama IKN,” kata Butet tertawa.
Jadi seniman itu bukan mimpi Butet
Butet tumbuh dan besar di lingkaran kesenian Jogja yang kuat. Ia merupakan anak dari Bagong Kussudiarja, seniman tari legendaris. Tumbuh di keluarga dan lingkungan pendukung seni yang kuat membentuk pribadinya seperti saat ini.
Ia terlebih dulu dikenal sebagai aktor panggung ternama. Mentas dari satu teater ke teater lainnya sampai tampil di layar kaca. Salah satu pementasan ikoniknya yakni di Teater Gandrik, Yogyakarta berjudul Dhemit (1988).
Pada teater itu, ia menirukan logat khas Soeharto. Ia berkembang menjadi aktor panggung yang dikenal kritis, satir, namun tetap jenaka. Sampai akhirnya menyandang predikat Raja Monolog.
Sempat tidak mentas beberapa tahun, Butet menyita perhatian dengan monolog Matinya Toekang Kritik (2006). Naskah karya Agus Noor ini memiliki lakon berkisah tentang Raden Mas Suhikayatno sebagai tukang kritik ulung dari masa ke masa.
Matinya Toekang Kritik kembali dipentaskan pada 2009 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta dengan memasukkan beberapa isu-isu teranyar kebangsaan.
Dosen ISI Yogyakarta, Suwarno Wisetrotomo berseloroh bahwa dunia kesenian bukan sesuatu yang ingin Butet capai dalam hidup. Seni sudah tumbuh dan menjadi bagian dari kesehariannya sejak lahir.
“Di SSRI (Sekolah Seni Rupa Indonesia), kalau saya masuk mimpinya jadi seniman, Butet tidak. Seni sudah mengalir di nadinya,” katanya.
Keputusan Butet sekolah di sana bersifat politis. Dia ingin lepas dari sosok ayahnya, tidak ingin karawitan dan mendalami seni tari. Ia meneguhkan bahwa ingin mencari jalannya sendiri.
Wirid, cara Butet fokus pada dirinya
Sebagai teman sejak remaja, Suwarno mengaku, tidak bisa cemburu dengan apa yang telah Butet rasakan di usia muda. Bisa bergabung di lingkaran orang kawakan macam WS Rendra hingga Umar Kayam.
Modal itu juga mendorong Butet selalu bisa mengelola manusia-manusia. Terkhusus pada dunia teater. Kerja-kerja keseniannya kerap melibatkan banyak orang yang memerlukan kemampuan mengorganisir secara baik.
Dan wirid, kata Suwarno, merupakan cara Butet untuk fokus kepada dirinya sendiri. Gerak sentripetal ke dalam untuk menyelami jiwa dan pikirannya sendiri.
“Ngurus teater dan segala macam itu kan membagi tenaganya ke orang lain. Dia tidak bercanda dalam urusan wirid ini,” terangnya.
Tapi, di balik keseriusan dan upaya menyelami dirinya, pada akhirnya Butet selalu menemukan cara agar bisa menghasilkan karya. Hal yang bisa dinikmati banyak orang.
“Bagi Butet tidak ada yang tidak bisa dikapitalisasi. Asu tenan nek iki,” pungkasnya. Disambut gelak tawa penonton yang memadati Panggung Lengkung JNM. Hari ini, sekali lagi, satu karya Butet muncul dan mendapat sambutan hangat dari para penikmat seni. Pameran ini bisa disaksikan di Artjog hingga Minggu 27 Agustus.2023.
Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Curhat Pemilik Kos di Jogja: Mahasiswa Bergaya Elite, tapi Bayar Kos Sulit