Jogja Jadi Kota Sinema, Upaya Mendidik Selera Penonton di Tengah Gempuran Film Horor dan Perselingkuhan yang Kosong Nilai

Ilustrasi - Jogja Kota Sinema, wacana dari festival film menjadi identitas baru. (Aly Reza/Mojok.co)

Jogja Kota Sinema sebagai bagian dari rangkaian Kotabaru Heritage Film Festival 2024 menjadi momentum untuk saling bertukar gagasan dan keresahan perihal industri film tanah air. Bagaimana industri film kita sering kali hanya bicara soal uang yang, di saat bersamaan, mengenyampingkan nilai. Alhasil, dalam contoh yang paling konkret dan aktual, film-film kita hari-hari ini cenderung didominasi tema horor dan perselingkuhan.

***

2024 ini adalah tahun kedua Kotabaru Heritage Festival dihelat oleh Dinas Kebudayaan Kota Jogja. Berlangsung pada 9, 10, dan 11 Agustus 2024 di SMAN 3 Yogyakarta, Gondokusuman, Kota Jogja.

Saya memang mengincar datang di hari kedua, Sabtu (10/8/2024) karena ada ruang public lecture cukup menarik bertajuk “Jogja Kota Sinema: Integrasi Warisan Budaya dan Ruang Publik”. Foto sutradara kawakan, Garin Nugroho, terpampang di poster sebagai pengisi. Saya pun menuju lokasi pada pukul 14.30 WIB, setengah jam sebelum public lecture berlangsung.

Nostalgia film lawas dan berkenalan dengan film heritage di Jogja

Secara umum, Kotabaru Heritage Film Festival (KHFF) sebenarnya merupakan festival untuk film-film bertema heritage, yang secara khusus dan spesifik menonjolkan unsur warisan budaya dalam cerita dan visualnya.

Ada berbagai film dengan tema tersebut yang diputar sejak hari pertama (dan dijadwalkan berlangsung hingga hari terakhir). Judul-judulnya mungkin jarang terdengar oleh penonton film arus utama.

Selain itu, KHFF juga menghadirkan film-film lawas legendaris yang diputar di sebuah layar tancap besar di Lapangan Widoro Kandang (lapangan SMAN 3 Yogyakarta) bertajuk “Layar Kobar”. Terlebih yang berlatar belakang Jogja. Di antara film lawas yang ditayangkan: 1.) Cintaku di Kampus Biru (1976) karya Ami Prijono. Sebuah film romansa mahasiswa di sebuah kampus Jogja. 2.) Kejarlah Daku Kau Ku Tangkap (1986) karya Chaerul Umam. Juga bertema romansa, dan 3.) Serangan Fajar (1982) karya Arifin C Noer. Yakni film berlatar 1945-1947 tentang perjuangan bangsa Indonesia mempertahankan kemerdekaan.

Jogja Kota Sinema di Festival Film KHFF, Keresahan Film Indonesia yang Isinya Cuma Horor dan Perselingkuhan MOJOK.CO
Pameran Arsip Sinema di lobi Grha Padmanaba. (Aly Reza/Mojok.co)

Di lapangan itu pula penuh dengan tenant Pasar Kobar by Pasar Kangen. Sore saat saya tiba di sana, Pasar Kobar yang menjual aneka jajanan tradisional sudah ramai didatangi pembeli.

Tapi saya memutuskan langsung menuju ke Grha Padmanaba, venue pemutaran film heritage sekaligsu public lecture “Jogja Kota Sinema” bersama Garin Nugroho.

Deretan arsip perfilman tanah air tersaji di lobi Grha Padmanaba yang disulap menjadi ruang pameran Sinema Berlabuh di Jogja. Mulai dari poster film lawas, foto-foto bioskop di Jogja zaman dulu, hingga naskah skenario film tempo dulu.

Jogja layak jadi Kota Sinema

Ada puluhan peserta yang menghadiri public lecture “Jogja Kota Sinema”. Pelajar, mahasiswa, hingga pera sineas muda Jogja.

“Jogja punya ekosistem pembentuk untuk ditahbiskan sebagai kota sinema,” tutur Direktur KHFF, Siska Raharja dalam kesempatan tersebut.

Menurut Siska, Jogja punya banyak modal untuk kemudian memiliki identitas sebagai Kota Sinema. Antara lain:

Pertama, modal sosial. Jejaring sineas di Jogja sangat kuat, baik ke sesama sineas, relasi luar, maupun relasi akar rumput. Kedua, modal alam, warisan budaya, dan ruang publik. Tiga unsur tersebut tentu sangat menunjang perfilman di Jogja apalagi jika misinya adalah untuk memperbanyak film dengan tema spesifik warisan budaya (heritage). Ketiga, modal intelektual. Di mana Jogja memiliki kampus dan komunitas-komunitas dengan konsentrasi di bidang perfilman.

Poster film lawas dalam Festival KHFF 2024 Jogja. (Aly Reza/Mojok.co)

KHFF merangkum data perjalanan pendidikan perfilman di Jogja. Ringkasnya, sejak 1950-an, di Jogja sudah tumbuh sekolah-sekolah film yang turut memainkan peran dalam pertumbuhan sinema Indonesia. Pada medio tersebut, berdiri Akademi Seni Drama dan Film Indonesia (ASDRAFI). Dari ASDRAFI lahir nama-nama seperti Teguh Karya, Arifin C Noer, Putu Wijaya, WS Rendra, Anwar AN, Amri Yahya, Koesno Sudjarwadi, Maruli Sitompul, Motinggo Busye, Chaerul Umam, Hendra Cipta, Alex Suprapto Yudho, Sri Harjanto Sahid, dan Masrom Bara.

Saat ASDRAFI tak beraktivitas lagi, pada 1981 lahir Akademi Teater dan Film Indonesia (ATFI). Hingga kemudian lahir Indonesia School of Arts GRK ASDRAFI (InSAGA) pada 2021 atas inisiasi dari para alumni ASDRAFI.

Belum lagi sederet kampus yang memiliki konsentrasi studi di bidang film. Mulai dari Institut Seni Indonesia (ISI), Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM), Jogja Film Achademy (JFA), hingga Sekolah Tinggi Multimedia “MMTC”.

“Terlebih kita sekarang punya modal keempat. Modal ekonomi dan kebijakan. Karena ada Dana Keistimewaan untuk mendukung para filmmaker di Jogja,” terang Siska.

Apalagi Jogja sering mengadakan festival-festival film. Sebut saja misalnya Jogja-Netac Asian Film Festival (JAFF).

Upaya mendidik selera penonton

Garin Nugroho pun sepakat dengan Siska, bahwa Jogja memang sudah layak untuk menyandang status Kota Sinema. Namun, ia tidak memungkiri kalau butuh proses panjang untuk kemudian mewujudkan Jogja Kota Sinema, terlebih jika proyeksinya adalah mengintegrasi warisan budaya dan ruang publik sebagai unsur utama dalam sebuah film.

Karena mayoritas peserta yang hadir memiliki keresahan yang sama; warisan budaya dan ruang publik kerap kali justru diasosiasikan oleh para sineas atau filmmaker dengan aspek mistis.

Coba saja perhatikan beberapa film horor Indonesia yang beredar dari tahun ke tahun. Salah satu yang kerap muncul adalah menghadirkan sebuah warisan budaya—misalnya budaya Jawa—sebagai sesuatu yang lekat dengan setan. Gamelan alat untuk memanggil setan. Visualisasi penari sebagai sosok demit. Wayang kulit justru menjadi ritual berenergi mistis.

Garin Nugroho dan Siska Raharja dalam public lecture “Jogja Kota Sinema”. (Aly Reza/Mojok.co)

Begitu juga dengan misalnya ada bangunan kuno bersejarah. Kemudian dibuat menjadi pusat teror makhluk halus. Kenapa tidak disuguhkan saja murni sebagai sebuah warisan budaya?

“Karena budaya kita sekarang budaya massa, budaya viral. Orang bikin film hanya karena ngejar uang dan viralnya. Nilai atau values-nya diabaikan,” ungkap Garin tak bisa menyembunyikan keheranannya.

“Lihat saja film-film Indonesia baru-baru ini. Temanya perselingkuhan semua. Tapi nggak ada values apa-apa yang didapat. Cuma menyajikan pertengkaran-pertengkaran,” sambungnya.

Beda misalnya dengan drama Korea. Oke, temanya perselingkuhan. Tapi sering kali ada sisipan-sisipan nilai yang lain. Penonton bisa mengambil atau belajar tentang hukum. Misalnya di dalam drama ada dokter, maka ada pemahaman baru juga seputar hal medis. Tidak seperti film atau drama Indonesia yang kalau ada dokter, tugasnya di scene tersebut ya mentok cuma ngecek detak jantung, seolah-olah operasi, lalu berakhir dengan kalimat “Kami sudah berusaha semaksimal mungkin”. Penonton tidak mendapat pemahaman apapun atas profesi dokter dan penanganan medis.

Belajar dari festival film India

“Tapi kan memang penonton kita sukanya seperti itu, Mas? Lebih suka film-film yang nggak ada nilai,” celetuk seorang peserta.

“Loh, tapi kan selera itu bisa dididik. Itulah kenapa festival ini (KHFF) butuh proses panjang untuk kemudian bisa membuat penonton mulai terbiasa dengan film-film berbobot,” timpal Garin.

Garin menyontohkan, ia pernah menjadi juri dalam sebuah festival film di Heyderabad, India. Dari festival itu muncul sebuah film tema anak-anal dari Iran, hanya saja dengan cara pengemasan non budaya massa. Tentu tidak ada satu pun anak-anak India yang tertarik.

Namun, bertahun-tahun kemudian, setelah selera penonton dididik secara perlahan-lahan, nyatanya film tersebut pun akhirnya mendapat pasar yang cukup besar.

“Ya itulah kenapa festival ini dikemasnya nggak serius-serius dulu. Ada Pasar Kobar-nya. Ada hiburan musiknya. Oke, saat ini mungkin orang datang karena ada Pasar Kobar sebagai daya tarik. Tapi lama-lama nanti terbentuk bahwa orang yang datang ya memang pengin menikmati film heritage,” ucap Siska menambahi keterangan Garin.

Jogja terbuat dari tontonan

“Sejarah Jogja ini sejarah tontonan,” kata Garin mempertebal optimisme bahwa Jogja memang layak menjadi Kota Sinema.

Sebab, sejak awal era kolonial (awal 1900-an) hingga menjelang 1945, di Jogja sudah berdiri setidaknya 18 bioskop yang didirikan oleh pebisnis-pebisnis Barat. Beberapa di antaranya, Royal, Rex, Flora, Al Hambra, Capitol. Luxor, dan Asta. Al Hambra tercatat sebagai bioskop tertua di Jogja karena berdiri pada 1916.

Pasca kemerdekaan, jaringan bioskop di Jogja kemudian mulai dijalankan pebisnis lokal. Ada Bioskop Soboharsono, Permata, Widya, Ratih, Rahayu, Presiden, Galaxy, Senopati, Mataram, Arjuna, Istana, Regent, Empire, Mitra/Palace, Golden, Yogya Thaetre, dan Royal Theatre.

Kini bioskop-bioskop tersebut memang sudah berubah bentuk atau bahkan hilang tanpa bekas. Tapi, iklim tontonan (menonton bioskop) di Jogja hingga kini masih sangat kuat. Di Jogja bahkan ada Empire XXI, sebuah gedung yang khusus untuk nonton film. Ada banyak studio di dalamnya.

Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Hammam Izzuddin

BACA JUGA: Gedung Singa Surabaya, Gedung Tua Sejak 1903 yang Simpan Simbol Mesir Kuno dan Kenangan Orang Belanda Selama 123 Tahun

Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.

 

Exit mobile version