Biennale Jogja 2025 yang menyajikan pameran seni kontemporer di Padukuhan Boro II, Karangsewu, Galur, Kulon Progo, membuka “keterasingan” masyarakatnya. Selama ini padukuhan yang diapit Jalur Jalan Lintas Selatan (JJLS) dan Jalan Daendels ini merasa tak punya apa-apa yang dirasa istimewa.
***
Suratinah (57) dan Nani (63) berjalan pulang ke rumahnya, di penduduk Padukuhan Boro I, Desa Karangsewu, Kulon Progo, Yogyakarta . Di tangan mereka, tergenggam hasil bumi seperti kacang panjang, terong, juga ada kerupuk gendar.
Keduanya baru saja mengikuti rebutan gunungan di Padukuhan Boro II yang hanya dipisahkan jalan kampung. Pembukaan Biennale Jogja 2025 yang dipusatkan di halaman rumah Kepala Dukuh Padukuhan Boro II, Greg Sadana jadi daya tarik bagi mereka untuk datang. Begitu juga dengan ratusan warga yang datang, jarang ada pertunjukkan seni di kampung mereka.
Maka, pembukaan pembukaan Biennale Jogja 2025 adalah hal yang tidak boleh dilewatkan. Mengusung tema Kawruh: Tanah Lelaku, pembukaan acara seni dua tahunan ini diawali dengan Kirab Budaya mengusung gunungan yang berisi hasil bumi. Warga yang berpakaian adat kemudian mengelilingi kampung serta tempat-tempat yang digunakan sebagai tempat pamer para seniman.

Dua babak Biennale Jogja 2025
Biennale Jogja 2025 terbagi dalam dua babak. Babak I berlangsung 19-24 September 2025 di Padukuhan Boro 2, Karangsewu, Kulon Progo. Sedangkan Babak II akan berlangsung di Desa Bangunjiwo, Desa Panggungharjo, Desa Tirtonirmolo di Kabupaten Bantul dan serta beberapa kampung di Kota Yogyakarta 5 Oktober – 20 November 2025.
Di Padukuhan Boro II, Biennale Babak I menyajikan karya seniman muda Jogja yang mengikuti program inkubasi Asana Bina Seni 2025 yang digelar Yayasan Biennale Yogyakarta.
Bagi masyarakat Padukuhan Boro, kirab budaya dengan mengusung gunungan sebenarnya bukan hal baru. Dua tahun lalu, hal yang sama juga dilakukan, tapi tidak semeriah kali ini. Sudut-sudut kampung mereka banyak diwarnai oleh hasil karya seniman muda.
Warga sejujurnya tidak paham dengan apa yang dipamerkan, tapi mereka tertarik dengan apa yang disajikan oleh seniman-seniman tersebut. Hal tersebut diamini oleh Suratinah (57) maupun Nani (63). Tapi mereka senang dengan banyaknya karya seniman muda tersebut yang memberi warna kampung mereka.
Beberapa seniman muda memang menyajikan, karya yang sebenarnya dekat dengan masyarakat setempat. Seniman Sri Cicik Handayani misalnya, menyajikan instalasi seni berupa dua kursi, satu meja, suguhan teh di tengah bekas bangunan penggilingan padi. Cicik ingin menyajikan simbol ruang temu, yang berangkat dari pengalamannya bertemu dan bertamu ke rumah warga Padukuhan Boro II.
Awalnya tak ada yang istimewa di Padukuhan Boro II
Melalui obrolan-obrolan tersebut, ia tahu, Padukuhan Boro II ternyata menyimpan sejarah panjang kemunculannya. Dari kawasan berupa rawa yang berubah menjadi sawah, dari pekerjaan sebagai nelayan menjadi buruh, lalu petani. Instalasi yang ia beri tajuk Papangghiyan jadi semacam upaya menghidupkan kembali kesadaran bahwa pengetahuan sejati (kawruh) ada di lingkungan terdekat.
Suratinah dan Nani mungkin saja tidak tahu makna instalasi seni yang dipamerkan di kawasan kampung mereka, tapi setidaknya kampung mereka nggak terasing. Banyak orang-orang yang karena Biennale Jogja 2025 datang ke Padukuhan Boro I maupun Padukuhan Boro II.
Kurator Biennale 2025 untuk Babak I Greg Sindana yang juga Kepala Dukuh Boro II mengungkapkan, tema Kawruh diangkat sebagai ajakan untuk belajar dari hal-hal yang paling dekat: diri sendiri, keluarga, dan lingkungan sekitar. “Di sekitar kita ada banyak pengetahuan,” katanya,“ katanya.
Greg, mengatakan awalnya, Padukuhan Boro awalnya berada dalam “keterasingan”. Masyarakat setempat melihat tidak ada yang istimewa dari perjalanan dusun mereka. Bahkan, sebagian besar tidak tahu sejarah kampung dan desa mereka yang ternyata menyimpan potensi besar.
“Di kampung ini pohon kelapa itu banyak sekali, tapi tidak ada satu pun produk makanan berbahan kelapa. Makanya hari ini kami juga launching Wingko Boro, buatan ibu-ibu PKK Padukuhan Boro I,” kata Greg.
Biennale Jogja 2025: Belajar dari hal terdekat
Greg yang bertahun-bertahun merantau dan baru beberapa tahun ini tinggal di Padukuhan Boro, kemudian melakukan penelusuran tentang sejarah panjang padukuhan yang dipimpinnya. Ia kemudian menemukan potensi-potensi seni yang sempat menghilang, termasuk menari, nyinden, hingga memainkan gamelan.
Menurut Greg, Biennale Jogja 2025 Babak I di Padukuhan Boro II yang berlangsung hingga 24 September 2025 menyajikan berbagai kegiatan, seperti workshop pangan lokal, bersepeda untuk mengenalkan area bersejarah di area Karangsewu.
Ada juga tur mengenal tanaman lokal untuk anak-anak SD, ada juga penayangan film, hingga pementasan wayang beber. “Hal paling penting adalah menunjukkan kepada masyarakat di Boro, bahwa mereka punya banyak potensi,” kata Greg.
Menurut Alia Swastika, Direktur Yayasan Biennale Yogyakarta, tema Biennale Jogja 2025 tidak hadir begitu saja, melainkan melanjutkan perjalanan panjang dari edisi sebelumnya.
“Dua tahun lalu, Biennale Jogja 17 mengambil tajuk Titen. Dalam budaya Jawa, titen berarti mencermati tanda-tanda. Waktu itu kami ingin mengajak publik untuk lebih peka pada detail kecil dalam kehidupan sehari-hari, untuk membaca tanda-tanda yang bisa menjadi sumber pengetahuan,” jelas Alia.
Di tahun 2025, tema yang dipilih adalah Kawruh: Tanah Lelaku. Menurut Alia, kawruh berarti pengetahuan yang lahir dari pengalaman hidup sehari-hari. “Kalau Titen mengajarkan kita membaca tanda, Kawruh adalah bagaimana kita menghidupi pengetahuan itu dalam praktik. Belajar dari diri sendiri, keluarga, desa, dan tanah tempat kita berpijak. Dari situ kita bisa bicara ke dunia, membawa perspektif lokal yang sejajar dengan wacana global,” katanya.
Penulis: Agung Purwandono
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA Saat Para Seniman Muda Melebur Bersama Warga di Asana Bina Seni 2024 dan tulisan menarik lainnya di Liputan