Seekor Anjing Bernama Jaki dan Homestay Omah Noto Plankton yang Dibayar dengan Keikhlasan

Di Omah Noto Plankton semua diukur dengan keikhlasan. Foto Dok. Arum Utari sebelum pandemi Covid-19.

Di Omah Noto Plankton semua diukur dengan keikhlasan. Foto Dok. Arum Utari sebelum pandemi Covid-19.

Omah Noto Plankton (ONP) lebih suka disebut sebagai komunitas daripada badan usaha. Komunitas ini bergerak di bidang homestay, training, konservasi, dan outbound. Dari banyaknya homestay di Yogya, mereka punya spirit yang berbeda karena tidak memberlakukan tarif tertentu, ukurannya adalah dengan keikhlasan.

Tidak ada tarif paten. Tidak ada standar harga sewa. Semua pihak yang ingin berdinamika bersama ONP dipersilahkan menggunakan keikhlasan dalam memberi timbal balik. Terdengar utopis, namun Omah Noto Plankton membuktikan bahwa semua itu mungkin selama 8 tahun ini.

Untuk memahami bagaimana Omah Noto Plankton terus berkarya sampai sekarang, saya sowan ke  Kantongan, Merdikorejo, Kapanewon Tempel, Kabupaten Sleman. Di antara kebun salak dan suasana pedesaan yang romantis, ONP berdiri penuh cinta. Saya bertemu dengan sang pemrakarsa, Thomas Purwantoro yang biasa dipanggil Mas Tom.

Mas Tom (51) terlihat biasa saja. Lumrahnya bapak-bapak seusianya: bersarung, berjanggut, dan rambut panjang yang tidak akrab dengan sisir. Namun siapa sangka bapak satu ini telah mengalami perjalanan hidup yang luar biasa, serta membidani sesuatu yang sama luar biasanya.

“Kalau kamu merasa benar, jangan takut, khawatir, dan ragu,” ujar Mas Tom kepada saya. Bahkan sejak awal berbicara, Mas Tom telah memberi semangat baru dalam liputan ini. Mas Tom pun membeberkan bagaimana perjalanan hidup yang membawanya di gazebo kecil yang disebut “Balai Bengong”.

Karir sukses, bisnis bangkrut

“Aku dulu mahasiswa UNS, ikut memelopori Garba Wira Bhuana,” ungkap Mas Tom menyebut organisasi pencinta alam kampus di Surakarta itu. Kecintaannya pada alam ikut membangun karakter pribadi yang kuat dan pantang mundur. Karena sudah terbiasa hidup keras, maka Mas Tom berani merantau ke Jakarta.

Perantauan ini berbuah manis. Mas Tom bekerja di salah satu gerai McDonald’s di ibukota. “Berawal dari personalia, naik jabatan jadi manajer,” kenang Mas Tom. Inilah awal dari puncak karir Mas Tom. Namun Mas Tom tidak menjadikan hasil sebagai orientasi. “Tanpa sadar, niatku waktu itu sudah untuk belajar,” tambah Mas Tom.

Thomas Purwantoro atau Mas Tom, penggagas Omah Noto Plankton. Foto oleh Dimas Prabu/Mojok.co

Tidak berhenti di karir bisnis, Mas Tom terpilih menjadi perwakilan Indonesia di tim adventure yang diprakasai perusahaan rokok dunia. “Dari sekian ribu kandidat, hanya 16 orang yang diterima. Salah satunya aku,” ungkap Mas Tom. Blio pun berangkat ke Yunani.

“Aku mencoba belajar berbisnis, karena ada modal ilmu dan dana. Namun ini awal aku jatuh,” kenang Mas Tom. Kejatuhan ini benar-benar jatuh. Kehilangan segalanya dari harta, jabatan, sampai keluarga. Kejatuhan yang sangat jatuh ini memberi dampak signifikan dalam kehidupan Mas Tom.

Anjing bernama Jaki menyelamatkan hidup Mas Tom

Mas Tom memilih untuk pulang ke Jogja. Kebetulan ada rumah terbengkalai milik eyang Mas Tom. Diam-diam Mas Tom menghidupkan rumah tersebut. “Rumah itulah yang kini jadi ONP Pusat,” imbuh Mas Tom.

Sendirian, Mas Tom mencoba bersih-bersih dan hidup dari apa yang bisa diperoleh. “Kadang hanya makan salak, umbi-umbian, apa saja yang ada di kebun,” imbuh Mas Tom mengenang masa jatuhnya.

Ternyata saudara dan tetangga mengetahui kepulangan Mas Tom. “Mereka mengunjungiku, baik ngobrol atau bantu-bantu,” kenang Mas Tom. Tapi titik balik terjadi di sebuah gubuk sederhana yang kini bernama Balai Bengong itu.

“Aku merenung di balai ini. Merasa hidupnya sudah tidak bermanfaat,” ungkap Mas Tom. Pada fase paling dalam, anjing kesayangan Mas Tom bernama Jaki mendekati. Mas Tom merasa terganggu dan menghardik.

“Jaki kembali lagi, aku hardik lagi sampai aku lempari batu. Dia tetap kembali,” kenang Mas Tom.

“Akhirnya aku beri dia makan. Pada saat itu, aku merasa kembali bermanfaat. Setidaknya untuk si Jaki itu,” tutur Mas Tom. Rasa bermanfaat ini menggugah hati Mas Tom. Dalam fase hidup paling jatuh, Mas Tom tetap dapat bermanfaat. Dan momen ini menjadi titik balik bagi Mas Tom.

Singkat cerita, rumah terbengkali itu benar-benar diurus oleh Mas Tom. Bersama 7 orang dari Organisasi Muda Katolik (OMK) teman Mas Tom, blio memprakarsai berdirinya Omah Noto Plankton. Komunitas ini ‘ketok palu’ pada 9 Juli 2013, hampir 8 tahun lalu.

“Omah itu rumah. Noto itu menata. Dan Plankton adalah organisme terkecil yang juga sumber kehidupan. Nilainya adalah dalam rumah ini, kita bisa menata kebaikan-kebaikan kecil,” terang Mas Tom. Bicara plankton, Mas Tom menambahkan bahwa organisme kecil ini menyumbang 80 persen oksigen bumi. Betapa istimewanya makhluk kecil yang jadi spirit ONP ini.

Alasan berlandaskan keikhlasan

Mas Edi Plankton ikut urun rembug dalam obrolan ini. Blio adalah generasi mula-mula dari tim ONP. “Tapi aku bukan pendiri mas, baru gabung setelah tahun kedua,” ungkap Mas Edi. Bergabungnya Mas Edi diawali dari obrolan ringan di ONP, terutama bersama Mas Tom.

“Aku kan suka seni mas, suka musik. Nah disini aku biasa ngopi-ngopi sambil bermusik. Dari sana aku curhat tentang banyak hal. Termasuk ketidakadilan yang aku saksikan selama bekerja. Yang jujur tersingkir, yang korupsi malah dipuja,” kenang Mas Edi pada masa-masa awalnya di Omah Noto Plankton.

“Tapi ONP menunjukkan bahwa kejujuran dan keikhlasan belum mati,” tegas Mas Edi. Bicara keikhlasan, inilah prinsip utama yang menjadi pondasi ONP.

“Tapi ingat ya mas, keikhlasan. Bukan seikhlasnya hehehe,” imbuh Mas Edi sambil terkekeh.

“Keikhlasan itu tanpa keterpaksaan. Tanpa ada tuntutan. Dan ga ada gimmick. Seikhlasnya sering tidak datang dari hati lho mas,” ujar Mas Edi. Keikhlasan ini yang dipraktekkan dalam menjalankan ONP. Tidak ada ‘biaya sewa’ homestay Omah Noto Plankton. Tidak ada juga ‘tarif makan’ dan tarif lain ketika menggunakan jasa ONP. Termasuk fasilitator outbound dan pendamping kegiatan lain.

Sedikit berbagi pengalaman, saya juga pernah bekerja sama dengan ONP. Waktu itu saya menggunakan homestay ONP untuk rapat tahunan dan upgrading organisasi saya. Dan benar, tidak ada tarif. Kami dipersilahkan memberikan apresiasi kepada ONP dengan keikhlasan tadi.

Justru keikhlasan ini tidak memicu kami untuk ‘mempermainkan’ ONP. Bagaimana kami berniat mempermainkan, ONP benar-benar memberi fasilitas yang tidak pelit. Meskipun berulang kali ONP mengatakan seadanya, tapi bagi kami ini bukan seadanya.

Salah satu kawan saya, Mas Li (22) juga membenarkan pengalaman keikhlasan ini. Waktu itu Mas Li menggunakan homestay ONP untuk malam keakraban jurusan. “ONP malah lebih keren dari homestay yang mahal mas. Kami diorangkan selama berada di ONP. Gapernah dicuekin, dan diajak sharing,” kenang Mas Li.

“Keikhlasan itu ga Cuma dari yang datang untuk kami, tapi lebih penting dari ONP kepada orang yang sudi datang kesini mas,” tambah Mas Edi.

Semua bisa berbagi di ONP

“Semua orang boleh ikut dan berbagi di ONP,” ujar Mas Edi. Blio menekankan semua kegiatan baik akan diterima dan diapresiasi ONP. “Yang penting niatnya baik saja mas. Disini ada juga latihan Kempo juga untuk jaga kesehatan,” imbuh Mas Edi.

“Siapapun bisa berkontribusi asal sesuai nilai yang dibawa ONP. Yang penting jangan melakukan asusila, jangan mabuk, dan jangan membawa atribut politik,” tegas Mas Edi.

“Padahal aturan tadi bisa jadi nilai plus lho untuk promosi,” ujar saya. Saya memandang aturan ONP ini malah membuat ONP bisa tidak populer. “Hahahaha, tujuan ONP bukan untuk laris mas,” jawab Mas Edi.

Sharing ilmu itu penting mas. ONP juga banyak belajar dari yang datang ke ONP. Dan ilmu ONP juga boleh digunakan siapa saja. Ada juga salah satu dusun yang belajar dari ONP, kini sudah mendirikan desa wisata yang bagus. Ini saya apresiasi sekali,” ujar Mas Edi.

“Selain ilmu mas, apakah ada yang sampai berjodoh di ONP?”

“Ada mas, karena ONP menjadi tempat memantaskan diri. Lha itu salah satunya,” jawab Mas Edi sembari menunjuk Mas Tom. Memang benar, Mas Tom menikah dengan Mbak Lia. Dan Mbak Lia adalah salah satu tim awal ONP.

Mas Edi teringat bagaimana semua bisa berbagi di ONP. “Tim ONP itu sering dipaksa tampil bicara di depan peserta outbound. Kita dipaksa untuk berani bicara di depan umum. Untungnya peserta tidak ada yang tahu kalau kami gelagapan saat bicara,” kenang Mas Edi

Yah memang, semua bisa berbagi di ONP. Meskipun dengan sedikit paksaan seperti yang dialami Mas Edi.

Tanpa merketing ‘njlimet’, ONP kelola 32 homestay

Malam makin larut, namun bukan berarti ONP ‘mati’. Di Kedai Noto Plankton, salah satu unit usaha ONP, masih banyak orang bercengkrama meskipun jaga jarak. Dan saya dengan Mas Edi melanjutkan diskusi. Mas Tom harus undur diri karena ada tamu. Memang ONP tidak pernah sepi.

“Dulu kami jalan sendiri mas. Cuma kami homestay disini. Itu pun tidak memasang papan nama,” ungkap Mas Edi.

“Lah gimana mas promosinya?” Tanya saya yang mempertanyakan teknik marketing ONP ini.

“Buat apa mas? Promosinya dari mulut ke mulut. Orang sekitar juga sudah paham dan mengarahkan pengunjung ke sini. Sudah nggak perlu papan nama mas,” ujar Mas Edi terkekeh.

Mas Edi menambahkan, ONP tidak pernah melakukan promosi njlimet dan sejenisnya. Semua terjadi alami dan organik. Dan memang benar, tidak ada papan penunjuk atau papan nama ONP.

“Akun Instagram ONP juga belum lama muncul. Isinya juga hanya dokumentasi kegiatan kok mas,” tambah Mas Edi.

“Berarti ONP tidak punya tim marketing ya mas?” Tanya saya yang sebenarnya tidak perlu dijawab Mas Edi lagi.

“Tidak punya mas, buat apa?” Jawab Mas Edi sambil tertawa. Menurut Mas Edi, marketing tidak perlu untuk niat keikhlasan ini. “Rezeki sudah diatur mas,” imbuh Mas Edi.

Suasana lingkungan yang asri di sekitar ONP, menjadi daya tarik tersendiri bagi yang menggunakan homestay. Foto dok. Arum Utari sebelum Pandemi Covid-19

Ini membuat saya makin penasaran. Sebenarnya ada berapa unit homestay di bawah sistem ONP.

“Sekarang ada 32 homestay mas. Dan apresiasi tinggi untuk masyarakat sekitar. Tanpa niat dan semangat masyarakat, tidak mungkin ONP bisa berdiri dan bekerja sama dengan 32 homestay tadi,” jawab Mas Edi.

Saya menanyai Pak Suhar (55), salah satu pemilik homestay di bawah sistem ONP. “Saya malah merasa bangga mas. Rumah saya kini bisa bermanfaat bagi banyak orang. Toh ternyata jika kita berbuat baik itu pasti dibalas baik. Rasanya ayem mas, malah bisa saling belajar,” kata Pak Suhar saat saya tanya kesediaan ikut homestay yang dikelola ONP.

Kebetulan Pak Suhar juga seorang dukuh sekaligus penasehat ONP. “Saya apresiasi tinggi ONP ini mas,” imbuh blio sambil berpamitan undur diri.

“Justru warga banyak yang terkejut, ternyata dengan semangat keikhlasan ONP bisa berbagi seperti ini. Itulah yang membuat warga tertarik. Kami juga tidak pernah mengajukan proposal ke warga mas. Seluruh pemilik homestay datang mengajukan rumah masing-masing. Karena ketertarikan pada semangat ONP ini,” imbuh mas Edi.

Arum Utari (22) mahasiswi kampus negeri di Yogya ini awalnya kaget saat akan menggunakan jasa dari ONP bersama kawan-kawan organisasinya. Itu karena tidak ada harga, semua berdasar keikhlasan. Akhirnya ia dan teman-temannya berembug untuk menghitung anggaran yang pantas yang akan diberikan ke ONP.

“Saat itu kami tinggal di rumah penduduk yang ada di bawah manajemen ONP. Kami menghitung, kira-kira biaya makan untuk 15 orang itu akan habis berapa, juga biaya lain. Pemilik rumah yang kami tempati juga baik sekali, bahkan mengajak kami untuk panen nangka di kebunnya,” kata Arum.

Pandemi tidak menyurutkan ONP

“ONP juga terdampak pandemi mas. Sekitar 6 sampai 8 bulan ONP tidak beroperasi,” ungkap Mas Edi. Tapi blio menekankan,”Tapi keikhlasan itu kunci. Meskipun badai menerjang, keikhlasan tidak boleh hilang.”

“Keikhlasan ini malah membuat ONP bertahan. Karena ONP tidak berfokus pada hasil ekonomis. Karena ONP dibangun untuk memantaskan diri, jadi kita perlu menari di dalam badai ini,” ujar Mas Edi penuh kiasan. Bagi Mas Edi, nikmati saja pandemi ini. Mengalir tapi jangan sampai hanyut.

“Tapi selama pandemi, rumah warga belum boleh digunakan. Tapi pemerintah serta satgas (satgas COVID-19) setempat mengizinkan ONP pusat tetap beroperasi dengan menerapkan protokol kesehatan,” tegas Mas Edi.

Saya berpikir, apakah warga tetap bertahan dalam kondisi pandemi ini. Apalagi ONP harus berhenti beroperasi .

“Sampai sekarang 32 homestay tetap menjadi keluarga Omah Noto Plankton. Semua warga pemilik homestay memahami kondisi dan pandemi. Saya pikir ini adalah kekuatan keikhlasan. Justru keikhlasan ini yang jadi penguat ikatan ONP dengan masyarakat,” ujar Mas Edi.

Pembicaraan berlanjut antara saya dan Mas Edi. Kadang Mas Tom dan tim ONP lain ikut menyahut dari jauh. Dibalik asap rokok, saya mulai termenung, ini mungkin yang namanya ilmu ikhlas, nrimo ing pandum.

BACA JUGA Keliling Jualan dengan Sepeda ala Pak Jo dan liputan menarik lainnya di rubrik SUSUL.

Exit mobile version