Sate Petir Pak Nano adalah sebaik-baiknya tempat untuk menumpahkan air mata sambil mendengar cerita dari couple goals yang puluhan tahun membangun usaha bersama. Lokasinya yang berada di Jalan Ring Road Selatan No. 90 pas untuk melarung kesedihan tanpa malu dilihat orang.
***
“Tongseng kepala kambingnya cabainya dua, satenya nggak usah pakai cabai njih Bu,” kata saya kepada Bu Sumarni atau Bu Marni.
Minggu siang, (28/11/2021) saya datang ke Sate Petir Pak Nano ketika suasana masih sepi karena mereka memang baru buka tengah hari.
Dua orang sepuh, Pak Sutiyarno atau akrab dipanggil Pak Nano (74) dan istrinya, Bu Sumarni atau Bu Marni (71) sudah pasti menyambut saya dengan standar operasional prosedur (SOP) yang selalu sama ketika ada tamu datang.
“Tongsengnya, cabainya tiga ya, Mas,” kata Bu Marni tanpa ekspresi.
“Njih, Bu,” jawab saya.
“Cabainya nggak lima saja po, Mas?” tanya Pak Marno tersenyum, memperlihatkan giginya yang utuh.
“Pun Pak, tiga mawon,” kata saya.
“Tambah siji ya?”
“Njih….”
“Satenya cabainya kasih satu ya?” tanya Bu Marni masih tanpa ekspresi.
“Njih…”
Saya akhirnya menyerah kalah dalam proses tawar menawar ini. Setiap kali datang ke Sate Petir Pak Nano, tawaran ini seperti pertanyaan dengan pilihan ganda tapi kunci jawabannya ya suka-suka Pak Nano. Dulu kalau kondisi ramai, saya sih sambil bisik-bisik saja nyebut jumlah cabainya. Malu, kalau cuma pesan dengan satu atau dua cabai rawit. Sementara yang lain, dengan lantang menyebut angka 5 atau 7 cabai.
Siang yang masih sepi membut saya leluasa ngobrol dan bercanda dengan Pak Nano dan istrinya. Termasuk perjalanan keduanya membangun usaha Sate Petir Pak Nano dari tahun 1984 hingga sekarang.
Asal mula nama Sate Petir
Pak Nano tidak inget persis kapan mulai menggunakan nama Sate Petir karena kejadian yang memicunya sudah sangat lama. Yang jelas saat itu masih jualan di Jalan S Parman, Yogyakarta. Gara-garanya adalah seorang wartawan Kompas yang makan di tempatnya. Bu Marni ingat persis peristiwa itu meski lupa tahunnya.
Ceritanya ada wartawan Kompas yang makan sate di tempatnya. Setelah membayar wartawan itu nggrundel, nesu-nesu. “Sate koyo ngene kok yo payu…..,” kata Bu Marni menirukan omongan wartawan itu.
Selang sehari, ternyata wartawan itu datang lagi dan memesan menu yang sama. Bu Marni ingat wajah wartawan yang nesu-nesu dengan masakan suaminya. “Loh Mas, sampeyan wingi sik jajan teng mriki nesu-nesu to…Kok jajan malih teng mriki?” Bu Marni menanyakan mengapa wartawan tersebut datang dan makan lagi di tempatnya. Padahal sehari sebelumnya marah-marah.
“Lah kepedesen kok, iki dudu sate, iki rasane koyo keno petir,” jawab wartawan itu. Meski anyel dengan peristiwa itu, Pak Nano dan istrinya justru menggunakan nama Sate Petir Pak Nano sebagai brand yang dikenal hingga sekarang.
Kalau saya amati, couple goals Pak Nano dan Bu Marni ini memang pintar merayu orang agar menggunakan cabai lebih banyak dan lebih banyak lagi. Mereka akan memberikan kesempatan pada pelanggannya untuk mencicipi kuah masakan yang dipesannya, apakah rasa pedasnya sudah pas. Di kesempatan ini biasanya akan ada rayuan lagi agar pemesan menambah cabainya. Sama seperti yang saya alami.
“Mau tambah satu cabainya?” kata Pak Nano tersenyum saat melihat saya mencicipi kuah tongseng yang disodorkan Bu Marni. Karena saya merasa tidak pedas, saya jawab, “Ok, Pak.”
Ketika hidangan jadi, maka butuh waktu lama saya untuk menghabiskannya. Potongan-potongan lembut cabai di tongseng harus saya sisihkan. Wajah saya memerah dan beberapa kali saya mengusap air mata. Pak Nano tersenyum tenang penuh kemenangan. “Lho kepedesen, tadi kan tak tanya mau tambah atau tidak, kalau pedes cabainya, jangan ditambah.”
Bu Marni menimpali, sebenarnya soal pedas itu selera pelanggan. Kalau ada pelanggan yang nggak mau pedas, mereka juga tidak akan memaksa. Ada salah satu langganan yang kalau makan di sana saking sering ditanya tambah cabai atau nggak, balik mengancam. “Kalau ditambah cabainya, saya nggak mau bayar!” kata Bu Marni menirukan omongan salah satu pelanggannya.
Pak Nano sebenarnya sudah membuat semacam kode soal jumlah cabai yang diinginkan oleh pelanggan. Kodenya, kalau bilang PAUD, maka nggak pakai cabai. Kalau nyebutin TK, itu artinya cuma pakai 1 cabai, SD untuk 2-3 cabai, SMP untuk 4-5 cabai, SMA 6-7cabai, 8-9 mahasiswa dan tingkat paling tinggi adalah profesor, lebih dari 10cabai.
“Orang-orang BRI, itu kalau makan cabainya minta 40-50 cabai. Mereka kalau makan sering di tempat saya.
“Ada lho Mas, mba-mba yang kalau pesan tongseng itu cabainya tiga puluh. Biasanya pesen tongseng kering, tanpa kuah, makannya nggak pakai nasi, dan cabainya itu dimakan, habis!” Kata Bu Marni. Melihat saya seperti tidak percaya, Bu Marni mbengok,”Tenan Mas, sesuk nek mbak-nya jajan ke sini, tak telepon njenengan nek ra percaya,” kata Bu Marni.
Semua menu yang ditawarkan oleh Pak Nano dan istrinya serba pedas, mulai dari sate, tongseng, tengkleng, dan nasi goreng. Harganya bervariasi, misal sate daging yang berisi 5 tusuk dijual seporsi Rp28 ribu, kalau campur dengan ati Rp38 ribu.
Salah satu pelanggan Sate Petir Pak Nano adalah Mbah Prasetio. Usianya sudah 79 tahun. Ia merupakan pelanggan lama Sate Petir Pak Nano. “Saya nggak menghindari makanan mas, kambing, bebek, masih sanggup,” katanya ketika saya temui tengah memesan sate. Pak Pras, memesan sate dengan irisan tiga cabe rawit. Di tengah ia makan, ia mengambil lagi irisan cabai.
“Wis tak kandani lombok 7 malah njaluk telu,” kata Pak Nano tertawa.
“Kalau dulu saya masih sanggup 10 cabai, sekarang paling tiga,” kata Pak Pras.
Pak Pras mengatakan, di tempat Pak Nano, ia selalu memesan sate. Sedang untuk tongseng, ia membisiki sebuah warung sate favoritnya yang tak begitu jauh dari lokasi Sate Petir Pak Nano. Ada juga warung sate di pusat Kota Yogya yang jadi jujugannya makan tongseng.
“Sek penting seneng, bahagia,” kata Pak Pras ketika saya tanya mengapa untuk orang seusianya masih hobi makan daging kambing.
Semua anak harus sekolah tinggi
“Saya itu dulu nikah muda, saya 19 tahun baru lulus SMEA (SMK). Bapak usia 21 tahun. Saya itu dulu ingin banget melanjutkan sekolah, tapi karena nggak ada biaya ya berhenti. Sampai SMEA itu juga biayanya dibantu oleh saudara,” kata Bu Marni. Kalau usia mereka sekarang 71 dan Pak Nano 74, maka perkiraan saya mereka menikah di tahun 1969.
Keduanya dipersatukan dengan latar belakang sama. “Kami sama-sama dari keluarga wong ora nduwe,” kata Bu Marni.
Pak Nano yang sudah berkeluarga saat itu bekerja membuat wayang di sebuah toko suvenir. Ia berpikir kalau terus bekerja di toko tersebut maka ia tidak bisa memberi penghidupan yang layak. Ia kemudian mutuskan keluar dari tempatnya kerja dan jualan sandal di kawasan Malioboro. “Dulu pinjam 5 ribu rupiah dari teman, zaman itu sandal Swallow harganya masih 65 rupiah,” kata Pak Nano. Ia jualan aneka sandal, sampai kemudian ada larangan jualan di kawasan Malioboro oleh Sujono AY, Walikota Yogyakarta yang menjabat dari tahun 1966-1975. Ia kemudian berpindah-pindah jualan, sampai kemudian memutuskan untuk membuka usaha seperti yang pernah dilakukan almarhum ayahnya, jualan sate.
“Bapak saya dulu jualan sate pikulan, dari pasar ke pasar,” kata Pak Nano. Ia sendiri sering membantu ayahnya jualan sate hingga tahu resep makanan berbahan kambing.
“Ini pikulannya sudah sejak zaman bapak saya, zaman clash (agresi militer Belada) itu sudah ada,” kata Pak Nano menunjukkan pikulan tempatnya membakar sate. Pak Nano tidak lama jualan sate dengan pikulan. Ia menggunakan lahan milik orang tua istrinya untuk membuat warung sate meski harus bongkar pasang.
“Lokasinya di dekat Madrasah Mualimin yang di Jalan S Parman. Dulu WS Rendra kalau buat film di Jogja makannya tempat saya,” kata Pak Nano.
Dari jualan sate itu, Pak Nano dan istrinya bisa menabung dan menyekolahkan empat anaknya hingga perguruan tinggi. Cita-cita dan doa yang selalu panjatkan saat membuka usaha.
“Anak putuku kudu sekolah, lebih dari saya dan suami. Kami, setelah berkeluarga itu doanya nyuwun ke Gusti Allah, minta diberi kesehatan, pendidikan anak-anak lancar. Cuma itu, tidak minta yang lain,” kata Sumarni.
Dari empat anaknya sebagian besar menyelesaikan kuliah. Anak pertamanya yang perempuan memilih menikah, anak keduanyai menyelesaikan pendidikannya di Jurusan Geologi UPN Veteran, anak ketiga lulus Jurusan Desain Grafis ISI Yogyakarta dan anak keempat menyelesaikan kuliahnya di Universitas Negeri Yogyakarta Jurusan Boga.
“Cucu saya ada 10, empat di antaranya sedang kuliah. Cucu saya, anak putri saya yang pertama sekarang kuliah di ISI, mau KKN, anak nomer duanya di UNY, yang nomor 4 kuliah di Kehutanan UGM semester 5,” kata Bu Marni.
Tahun 2004, saat semua anak-anaknya sudah menyelesaikan kuliah, Pak Nano dan istrinya pindah ke Menayu Kulon, rumah yang ditempatinya ini. Tanah itu ia beli di tahun 1990. “Waktu itu baru dibangun Ring Road, sebagian belum diaspal,” kata Pak Nano mengingat.
Meski sudah tua, Bu Marni dan Pak Nano tidak mau berpangku tangan. Mereka tidak mau merepotkan anak-anak dan cucunya. Selama ia dan Pak Nano masih bisa jualan sate maka mereka tetap akan jualan. “Selama masih mampu, jangan minta ke anak, kalau bisa ngasih ke anak, kalau nggak ya ngasih ke cucu,” kata Bu Marni.
BACA JUGA Melihat Silampukau dari Dekat dan liputan menarik lainnya di Susul.