Seorang mahasiswa Universitas Indonesia (UI) membunuh adik tingkatnya, demi merampok harta benda karena terjerat pinjol. Satu gambaran dari semakin banyaknya mahasiswa terlilit utang dengan persyaratan mudah yang banyak perusahaan fintech tawarkan.
***
Beberapa waktu lalu saya membuat liputan seputar fenomena pinjaman online (pinjol) dari sisi garda depan penagih yakni desk collection. Mereka bertugas menagih lewat telepon dan pesan WhatsApp saat tunggakan utang masih berkisar di bawah tiga bulan.
Dua desk collection narasumber saya, bekerja menagih utang yang terafiliasi ke sebuah marketplace kredit. Menurut penuturan mereka, kebanyakan pengutang ternyata berasal dari kalangan anak muda. Ada kecenderungan utang untuk membeli keperluan penunjang gaya hidup seperti pakaian branded.
Kondisi itu sejalan dengan kabar fenomena pinjol yang belakangan marak di kalangan mahasiswa. Beberapa perguruan tinggi bahkan telah menyatakan perhatiannya pada persoalan utang yang melilit peserta didiknya.
Julia (30)*, seorang dosen salah satu perguruan tinggi di Jogja yang enggan disebutkan namanya menjadi saksi nyata semakin banyaknya mahasiswa yang terjerat pinjol. Sebagai dosen wali yang jadi tempat konsultasi, ia menemukan ada anak yang terlilit pinjaman di empat aplikasi sekaligus.
Ia menduga, mulanya mahasiswa itu meminjam di satu tempat. Namun, tidak punya solusi untuk membayar utang sehingga mencari pinjaman di aplikasi lain. Skema gali lubang tutup lubang pun terjadi dan semakin membuatnya terbelit.
Meminjam uang dosen untuk bayar pinjol
Semakin lama, skema itu justru semakin membuat utang mahasiswanya menumpuk. Sampai jelang Idulfitri 2023 lalu berkeluh kesan dan meminta bantuan Julia.
“Kepepet karena tenggat pembayaran semakin dekat. Dia menghubungi saya, curhat dan minta bantuan,” terangnya saat Mojok hubungi Selasa (8/8/2023).
Julia mengaku tidak mampu untuk memberikan talangan dana. Lebaran sudah dekat dan ia sedang banyak kebutuhan. Gaji sebagai dosen yang masih di bawah lima tahun masa pengabdian juga ia nilai tak seberapa.
“Saat itu dia mau pinjam Rp5 juta,” cetusnya.
Akhirnya, dosen ini memutuskan untuk mencarikan bantuan dengan menghubungi pihak fakultas. Memastikan apakah ada skema bantuan yang bisa dimanfaatkan untuk membantu mahasiswa dengan kondisi terlilit pinjol.
Namun, ternyata belum ada skema bantuan yang bisa membantu kondisi tersebut. Dengan berat hati, Julia hanya bisa memberikan suntikan moral bagi mahasiswanya.
Jika keterbatasan terkait pembayaran biaya kuliah, pihak universitas bisa memberikan keringanan. Namun, mahasiswa tersebut juga berasal dari keluarga tidak mampu dan sudah sudah mendapat beasiswa.
“Dia sebetulnya sudah kerja juga. Terlilit pinjol ceritanya karena memang untuk kebutuhan hidup sehari-hari,” papar Julia.
Pekerjaan itu selain untuk kebutuhan diri mahasiswa, ternyata juga untuk membantu perekonomian keluarganya. Pinjol memang hadir mengisi ceruk akan kebutuhan pencairan dengan cepat.
Setelah mengorek lebih jauh, Julia mendapati bahwa mahasiswa itu melakukan pinjaman di sejumlah aplikasi dengan beberapa identitas yang berbeda. Namun, ia tidak mengetahui apakah aplikasi-aplikasi yang mahasiswanya gunakan terdaftar di OJK atau tidak.
Bagaimana pun, skema gali lubang tutup lubang utang lewat aplikasi pinjol memang riskan. Belum lagi jika lewat aplikasi ilegal bunganya lebih besar dari standar OJK.
“Sebagai dosen wali memang saya belum bisa membantu keuangan. Hanya bisa mendengarkan dan mencarikan solusi ke kampus,” kata Julia pasrah.
Sekarang semakin banyak mahasiswa terjerat pinjol bahkan yang ilegal. Melansir data OJK, pelajar menduduki peringkat keenam dalam kategori kalangan atau profesi yang terjerat pinjol ilegal. Persentasenya sebesar tiga persen.