Sambatnya Orang yang Menikah Muda: Jangan Nikah Sebelum Lulus Kuliah!

Ilustrasi Sambatnya Orang yang Menikah Muda- Jangan Nikah Sebelum Lulus Kuliah!

Karena satu dan lain hal, tidak sedikit mahasiswa memutuskan menikah di tengah-tengah masa studinya. Sayangnya, pilihan tersebut di satu sisi ternyata membuat beberapa dari mereka berkesimpulan, “Jangan nikah sebelum lulus kuliah!”. 

Mojok merangkum cerita-cerita dari beberapa mahasiswa yang mengambil salah satu keputusan besar dalam hidup mereka ini.

***

Gojlokan soal siapa yang bakal menikah duluan dalam waktu dekat menjadi topik yang mewarnai tongkrongan saya dan beberapa kawan rumah dalam kesempatan kumpul-kumpul saat Idul Adha lalu.

Satu-satunya kawan kami yang masih berstatus mahasiswa habis menjadi sasaran. Pasalnya, meski baru memasuki masa KKN, tapi ia memang terlihat paling siap untuk menikah daripada kami-kami yang secara usia berada di atasnya.

Apalagi, dari pihak orang tuanya dan orang tua pacarnya pun sudah memberi lampu hijau jika mereka memang benar-benar ingin menikah dalam waktu dekat.

Di tengah-tengah riuh saling gojlok itu, tiba-tiba satu kawan yang lain, Haris*(22), nyeletuk, “Jangan dulu. Lihaten aku.” Celetukan yang justru kami sambut dengan gelak tawa satu tongkrongan. Sebab, ia dulu memang sangat ngebet nikah muda. Tapi kini, saat ia sudah mempunyai dua anak, Haris malah full sambat.

Nikah bukan cuma perkara bisa tidur satu ranjang

Di tongkrongan kami, Haris ini tergolong yang paling nekat. Ia menikah bahkan ketika baru saja lulus SMP. Masih sangat bocah untuk ukuran laki-laki. Masih minim pengalaman kerja. Belum matang dalam hal mental dan pemikiran. Hal ini sebagaimana yang ia akui sendiri.

“Aku sendiri heran kok sekarang. Nggak mikir panjang waktu itu. Aku suka, terus ya sudah langsung minta nikah,” ungkapnya.

Saat itu, orang tuanya pun sebenarnya tak berkenan menikahkan Haris, memberi pengertian pada Haris bahwa nikah itu bukan cuma perkara bisa tidur bareng dalam satu ranjang. Ada hal-hal yang lebih besar dari itu. Apalagi bagi lelaki, yang dibebani peran sebagai pencari nafkah.

Namun, Haris tak menggubris. Ia malah nyaris melakukan percobaan bunuh diri jika tidak dituruti (Pola pikir yang masih sangat kekanak-kanakan, bukan?). Alhasil, dengan berat hati, orang tuanya pun menikahkannya dengan sang pacar.

Tak perlu nunggu mapan, tapi ya jangan kosongan

Kehidupan rumah tangga yang sesungguhnya pun akhirnya mulai Haris rasakan saat ia punya anak pertama.

Karena bukan dari keluarga kaya, orang tua Haris tentu tak bisa terus-menerus menanggung hajat hidup Haris dan istrinya. Lebih-lebih Haris sudah sah menjadi bapak. Artinya, ia harus bertanggung jawab atas rumah tangganya sendiri.

Maka, segala jenis pekerjaan kasar pun ia lakukan. Nguli ke Surabaya hingga ke Kalimantan ia jalani demi memberi makan anak dan istri. Karena hanya punya ijazah SMP, baginya, jadi kuli bangunan memang yang paling gampang.

Akan tetapi, kondisi tersebut tentu masih terasa sangat sulit bagi Haris. Kerja kasar itu sudah lah berat, tapi jobnya pun tidak lancar setiap saat.

“Tahu sendiri sekarang minimal ijazah SMA kalau mau cari kerja. Jadi, mending tuntaskan dulu kuliahmu. Memang benar, walaupun sarjana, nyari kerja sekarang ini tetap saja susah. Tapi kalau punya ijazah kuliah, peluangnya kan nggak cuma jadi kuli,” ujarnya.

Syarat nikah memang tak harus mapan dulu. Karena kalau nunggu mapan, bisa jadi banyak orang yang tidak nikah-nikah. Tapi, kata Haris, ya jangan kosongan nemen-nemen. Minimal lulus SMA dulu lah. Atau syukur-syukur bisa kelar kuliah. Jadi punya bekal ijazah dan pengalaman yang bisa menunjang untuk mencari pekerjaan.

Wis, leh, kalau nikah pas masih kuliah, pasti kuliah jadi korban, jaminan kocar-kacir. Risiko!” tegas Haris yang langsung mengingatkan saya pada beberapa teman kuliah seangkatan yang memutuskan menikah sebelum lulus kuliah.

Dilema antara bayar UKT atau ngasih uang ke istri

Setelah mengambil masa cuti sepanjang tiga semester, kini, menjelang memasuki semester baru (semester 13), Ahsan* (26), tengah diambang ancaman drop out (DO). Pasalnya, di kampus Ahsan, mahasiswa hanya bisa mengambil cuti maksimal sebanyak tiga kali.

Banyak faktor yang harus menjadi pertimbangan saat menentukkan akan menikah muda.
Banyak faktor yang harus menjadi pertimbangan saat menentukkan akan menikah. (Photo by Brooke Cagle on Unsplash)

Pilihan mengambil cuti sepanjang itu pun bukan tanpa alasan. Sebab, setelah resmi menikah pada akhir 2021 lalu, Ahsan kian sulit mengalokasikan keuangan untuk keperluan bayar UKT. Apalagi ia juga baru saja menyambut kelahiran anak pertama pada Mei 2023 lalu.

“Sebenarnya selalu menyisihkan uang untuk bayar UKT, Rp1.700.000. Tapi tiap kali mau bayar UKT, langsung menimbang-nimbang kebutuhan rumah. Apalagi sekarang sudah punya junior (anak),” tuturnya.

Alhasil, karena sudah tidak bisa mengambil cuti lagi dan kemungkinan besar tidak akan bisa membayar UKT, maka lelaki asal Madiun, Jawa Timur itu pun memutuskan pasrah. Kalau toh harus DO, ya mau bagaimana lagi.

“Sebenarnya skripsi sudah jalan sampai bab 2. Dibilang eman ya eman. Tapi gimana lagi, keadaan,” keluh lelaki yang saat ini bekerja di salah satu restoran di Madiun itu.

Di batas akhir masa cutinya, dengan kesadaran eman pada skripsinya, Ahsan sempat minta solusi ke pihak kampus. Sayangnya, kampus justru memberi dua pilihan yang sama-sama tak membantu; pilih mengundurkan diri atau menunggu di-DO kampus.  

Pentingnya kompromi soal waktu nikah

Ahsan berpesan, jika bukan dari keluarga kaya, maka lebih baik tuntaskan lah dulu kuliah, jangan buru-buru menikah. Agar tanggung jawab tak menumpuk, yang risikonya bisa jadi mengorbankan salah satu dari tanggung jawab tersebut.

Dalam kasus Ahsan, kuliahnya yang tinggal selangkah lagi terancam tak selesai dengan semestinya karena ia harus membagi fokus lebih banyak ke keluarga kecilnya.

Selain itu, yang tak kalah penting bagi Ahsan adalah kompromi dengan pasangan—sekaligus keluarganya—perihal waktu nikah.

Awalnya, Ahsan sendiri bertekad hendak menuntaskan kuliahnya terlebih dulu, baru kemudian datang melamar wanita dari satu fakultas yang sudah ia pacari sejak semester 2. Pun tentu setelah ia mendapat pekerjaan dengan gaji yang lumayan.

Hanya saja, karena sang pacar sudah lulus lebih dulu, ditambah lagi pihak keluarga sang pacar sudah agak mendesak Ahsan untuk segera melamar, Ahsan pun jadi tak enak. Takut dikira tak serius, akhirnya menikah lah Ahsan dengan pacarnya tersebut. Pernikahan yang belakangan ia sadari memang sangat terburu-buru.

“Salahku dulu nggak berani tegas. Nggak berani ngobrol dari hati ke hati soal kondisi dari sisiku. Jadi, kalau memang benar-benar belum siap, sementara dari pihak si cewek sudah minta kita buat segera, ya kita harus bisa ngasih pengertian,” ucapnya.

Skripsi sudah bukan jadi prioritas

Tak jauh berbeda dengan Ahsan, Latif* (24) juga terancam drop out karena sudah memasuki dua semester akhir. Latif bahkan sudah tak masalah jika ia tak bisa lulus sebagai sarjana.

Latif menikah saat ia memasuki semester 7, selepas KKN. Kini ia juga sudah dikaruniai satu anak.

“Kisah klasik. Ketemu pas KKN, pacaran, terus nikah,” jelasnya.

Cerita pernikahan Latif dan istrinya pun juga mirip dengan Ahsan. Pihak orang tua si pacar yang meminta agar keduanya segera menikah. Karena dari pihak si pacar berlatar belakang pesantren cukup kental, maka lebih baik nikah muda daripada terjadi hal-hal yang tak diharapkan selama pacaran.

Dari segi finasial, Latif bisa lebih baik dari Ahsan. Sebab, sejak semester 3, Latif sudah merintis usaha sablonnya sendiri. Alhasil, setelah ia menikah, kondisi finansialnya pun sudah terbilang stabil. Yang menjadi masalah adalah hambatan dalam mengerjakan skripsi.

“Istri belum beres, aku juga belum. Tapi aku mendorong istri biar fokus untuk menyelesaikan skripsinya. Kalau aku pribadi sudah sulit. Prioritas sudah beda. Aku bagian fokus cari nafkah saja hehehe,” akunya.

Menikah muda bukan hanya siap secara finansial, tapi juga mental. (Ilustrasi Mojok.co)

“Kalau nikah sebelum lulus, terus nggak ada waktu buat skripsian, sementara eman kalau DO, kayaknya memang mending pakai joki skripsi saja. Minimal dapat status sarjana dan ijazah. Jadi nggak eman,” imbuh mahasiswa asal Pasuruan, Jawa Timur, tersebut.

Jangan salah paham soal ‘rezeki orang nikah’

Tidak sedikit anak-anak muda meyakini bahwa rezeki orang nikah itu pasti ada saja. Itu lah kenapa banyak yang mengamini, tak perlu menunggu mapan dulu jika ingin menikah.

Hal itu pula yang Latif yakini. Tapi, menurut Latif, jangan salah paham soal konsep tersebut. Sebab, nyatanya, ada saja yang, dengan keyakinan tersebut, memilih menikah muda dalam keadaan benar-benar kosongan; belum memiliki penghasilan, belum mandiri secara finansial.

“Alhasil, nanti pas sudah nikah dan sulit dapat kerja, malah nyalah-nyalahkan Tuhan,” selorohnya.

Bagi Latif, minimal sudah punya kerja dulu. Tak mesti harus yang mentereng atau yang bergaji tinggi. Paling tidak, ada jaminan untuk pegangan tiap bulan. Nah, selebihnya tinggal yakin bahwa dari pekerjaan yang dijalani tersebut pasti akan dicukupi oleh Allah Swt.

“Kecuali kalau keluargamu kaya, punya bisnis, atau punya warisan banyak. Silakan nganggur-nganggur terus nikah,” tandasnya.

Suka duka bawa bayi saat kuliah

Dalam semester-semester awal, Umi*, mahasiswa asal Madura, sangat sering ke kampus membawa anaknya yang masih balita.

Sebenarnya, Umi bisa saja meninggalkan sang anak di rumah. Mertuanya yang akan mengasuh kalau ia dan suaminya ke kampus. Namun, bagi Umi, nyatanya praktiknya tak semudah itu. Sebab, jika tak membawa sang anak ke kampus, ia justru lebih banyak tak tenangnya. Ia kepikiran jika sang anak menangis. Umi juga tak ingin melewatkan banyak momen tumbuh kembang sang anak.

“Ada dosen yang pengertian. Jadi ketika anak di kelas agak rewel, dosen yang bersangkutan ngasih izin buat keluar sebentar untuk menenangkan. Malah ada juga dosen yang ikut bantu menenangkan, mereka menganggap anakku kayak cucunya,” tuturnya.

“Tapi ada juga dosen yang sewot. “Kuliah bawa anak, ganggu saja!”. Pernah loh ada yang gituin aku,” lanjutnya.

Respon teman-teman sekelas Umi pun juga beragam. Ada yang sewot dan merasa terganggu, tapi banyak juga yang rispek atau minimal mencoba mengerti. Malah, di kalangan beberapa teman ceweknya, anak Umi bisa jadi hiburan. Digendong sana, digendong sini.

Keteteran dengan peran ganda, tapi sudah biasa

Umi sendiri sebenarnya sudah menikah sejak lulus SMA. Lalu, setelah gap year dua tahunan—tahun pertama full time menjadi ibu rumah tangga, tahun kedua masa-masa awal melahirkan—ia, atas izin suami dan keluarga akhirnya mengejar cita-citanya yang sempat tertunda; kuliah.

Menjalani peran ganda sebagai istri, ibu, sekaligus mahasiswi, tentu di satu sisi membuat Umi agak keteteran untuk membagi waktu dan tenaga.

Namun, ia justru tetap bisa merasa enjoy. Karena itulah keistimewaan dan kehebatan perempuan di mata Umi; multitasking, bisa merangkap banyak peran sekaligus. 

“Kalau nugas (kuliah) pasti di jam-jam tengah malam, pas suami dan anak sudah tidur. Habis itu tidur sebentar, terus pagi banget sudah harus bangun. Beres-beres, terus berangkat kuliah. Berat? Mungkin iya. Tapi kan aku sudah milih untuk begini,” ungkapnya.

Merasa kehilangan banyak waktu dengan teman-teman

Menikah dengan lelaki karier, Hanifa* (23) merasa seperti kehilangan banyak waktu untuk kumpul bersama teman-teman.

Bahwa benar ia merasa bersyukur karena sang suami sudah mapan. Bahkan kuliahnya pun kini sang suami yang menanggung. Tapi, sisi lainnya, kadang kala ia merasa iri saat melihat banyak teman-temannya masih bisa main ke mana-mana. Nongkrong tak kenal waktu.

“Suami sebenarnya nggak melarang aku main sama temen-temen, asal izin dan jelas ke mana/sama siapa. Cuma akunya yang nggak enak. Alhasil kalau habis kuliah, paling nongkrong bentar terus langsung pulang. Kalau temen-temen pergi healing ke mana, ya cuma meng-iri,” ujar wanita asli Surabaya tersebut.

Keputusan menikah di tengah-tengah masa studi Hanifa akui merupakan keputusan yang ia pilih secara sadar. Hanya saja, diakui Hanifa, ia masih memiliki pola pikir yang cenderung kekanak-kanakan.

“Dalam banyak hal lah. Secara mental dan pikiran, aku kayak belum pantes jadi istri, apalagi ibu. Masih sering moody-an. Masih nggak ngerti cara menghandle masalah yang lebih kompleks juga,” akunya menutup rangkuman cerita-cerita beberapa teman dan kenalan yang menikah sebelum lulus kuliah. Adakah yang relate dengan apa yang Anda alami?

Reporter: Muchamad Aly Reza
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Dilema Mahasiswa yang Nggak Lulus-lulus Kuliah karena Asyik Bekerja hingga Bantu Proyek Dosen

Cek berita dan artikel lainnya di Google News

Exit mobile version