Mojok mendapat cerita dari beberapa saksi tragedi Kanjuruhan. Mereka yang datang untuk menikmati laga paling dinanti di Jawa Timur. Namun, pulang membawa kepedihan. Melihat para suporter berjatuhan dengan nyawa yang telah hilang.
***
“Aku nangis. Nggak kuat. Saat sudah berhasil keluar stadion, aku lihat di gerbang orang sudah tumpuk-tumpukan. Kaya ayam di mobil boks. Di antara kaki, ada tangan yang melambai minta pertolongan,” tutur Rittaudin Ahmad (24) dengan suara bergetar.
Lelaki yang akrab disapa Udin ini menjadi saksi tragedi pilu di Stadion Kanjuruhan. Sabtu (1/10) malam ia datang ke stadion bersama enam rekannya.
Mereka datang dengan niat menyaksikan keseruan derbi Jawa Timur. Tanpa pernah sedikit pun terbayang akan menjadi saksi tragedi sepak bola paling banyak menelan korban jiwa sepanjang sejarah Indonesia. Bahkan dunia.
Udin sampai di area stadion sekitar pukul 18.45 WIB. Sekitar pukul 19.00 lewat beberapa menit, ia sudah bisa memasuki stadion. Saat masuk ia melihat salah satu pintu masuk sambil membenak di pikirannya.
“Ini pintu masuknya kecil banget. Mungkin ukurannya sekitar 4 meter panjangnya dan tingginya tiga meter,” ujarnya. Udin memang baru pertama kali menonton langsung di Kanjuruhan.
Duduk di sudut utara tribun timur. Saat sudah menyamankan diri di posisi duduknya, ia mengedarkan pandangan ke sekitar. Menyadari betapa ramainya animo suporter Arema FC.
“Teman saya bilang, ini jauh lebih ramai ketimbang partai final Piala Presiden kemarin. Pas Arema melawan Borneo,” ujarnya saat dihubungi Mojok, semalam setelah pertandingan.
Derbi Jawa Timur memang selalu ramai. Semua tiket yang dijual panitia ludes terjual. Padahal menurut informasi, jumlah tiket yang dijual melampaui kapasitas stadion kebanggaan warga Malang ini.
“Kapasitas kan 38 ribu. Kemarin aku dengar di pengeras suara, jumlah penonton disebutkan antara 42 sampai 45 ribu,” terangnya.
Saking ramainya, luapan penonton sampai ke area sentel ban. Jelas, ini merupakan tanda stadion sudah over kapasitas.
Awal suporter turun ke lapangan
Setelah menunggu hampir satu jam, sepak bola mulai pun bergulir. Pertandingan ini berlangsung sengit. Derbi memang selalu begitu. Namun, menurut Udin semuanya masih berjalan normal.
Arema tertinggal dua gol terlebih dahulu. Hingga akhirnya bisa menyamakan kedudukan sebelum turun minum.
Ketegangan, menurut Udin mulai terasa setelah Sho Yamamoto berhasil mencetak gol ketiga Persebaya. Pemain Arema kembali ngotot untuk menyamakan kedudukan. Sedangkan di tribun, chant-chant semakin lantang berkumandang. Berusaha menurunkan mental tim tamu.
“Semakin ramai situasinya setelah itu (gol ketiga),” ujarnya.
Hingga peluit tanda berakhirnya laga, ternyata tuan rumah tak bisa menyamakan kedudukan. Kekecewaan terlihat di raut para suporter. Namun awalnya semua masih normal.
“Sekitar tiga sampai lima menit setelah full time, baru ada yang turun ke lapangan,” ujarnya.
Satu dua suporter melompati pagar pembatas tribun. Berlari ke arah lapangan. Udin mengaku bingung apa yang hendak dilakukan penonton itu. Ada yang seperti hendak menghampiri pemain. Ada juga yang sekadar berlarian.
Namun, tak berselang lama, penonton yang lari ke lapangan semakin banyak. Situasi mulai tidak terkendali. Kontak fisik antara suporter yang turun ke lapangan dengan aparat keamanan gabungan polisi dengan TNI mulai terlihat.
Dari video yang Udin ambil menggunakan ponselnya, terlihat semakin banyak suporter yang menaiki pagar besi. Turun ke lapangan menyusul sebagian lain yang sudah berlarian di dalam.
“Setelah itu mulai saling serang antara polisi dan suporter. Arek Aremania maju, terus dipukul mundur. Nyerang lagi arek-arek dari sisi yang lain, dipukul mundur lagi. Akhirnya gas air mata ditembakkan oleh polisi,” ujarnya.
Gas air mata yang memuat panik penonton di tribun
Udin sudah tidak nyaman. Ia turun dari tribun menuju pintu keluar di area tribun utara. Di lapangan, gas air mata mulai ditembakkan polisi.
Saat sedang berjalan, tiba-tiba saja gas air mata mulai ditembakkan ke arah tribun. Di titik ini, ia mulai mengaku bingung dengan tindakan aparat kepolisian. Mengapa gas air mata ditembakkan ke tribun. Sedangkan sebagian besar penonton di tribun tertib. Banyak pula orang tua, anak-anak, dan perempuan yang menonton.
“Mulai nggak beres. Ini banyak penonton yang tertib kenapa tribun juga ditembak,” ujarnya kesal.
Lelaki asal Gresik yang sudah lima tahun terakhir tinggal di Malang ini mengaku tak mendengar upaya pelarangan menembak gas air mata. Jika ada pun, orang-orang sudah bingung, aparat juga mulai tidak bisa mengondisikan.
“Walaupun ada pengumuman dari sound system, pasti nggak kedengeran. Sound sistem Kanjuruhan gak banter blas suarane,” ujarnya.
Ia dan lima rekannya bergegas menuju pintu keluar. Mereka berenam duduk di tribun yang sama. Sedangkan satu kawan lainnya duduk di tribun VIP.
Saat berusaha keluar, kepadatan sudah memenuhi pintu. Saling dorong terjadi. Udin mengaku harus mendorong keras orang-orang di depannya agar bisa keluar.
Pintu stadion yang sempit dan penonton yang mencari pintu ke luar
Udin dan rekan-rekan berhasil keluar dari stadion. Disambut keramaian yang juga terjadi di halaman. Mereka mencari titik aman sambil mencoba menghubungi rekan lain yang masih di tribun VIP sisi barat.
“Di luar juga ada gas air mata yang ditembakkan. Situasi benar-benar kacau,” katanya.
“Aku pernah beberapa kali kena gas air mata saat demo. Tapi ini benar-benar beda. Mungkin karena medan kerumunan, sempit, dan minim oksigen,” lanjutnya.
Suara tangisan dan jeritan terdengar dari segala arah. Mata Udin melihat pada gerbang yang tadi ia lewati. Gerbang itu sudah berubah menjadi tumpukan manusia yang kepanikan lantaran efek tembakan gas air mata sporadis dari aparat.
Udin mengaku tak kuasa menahan tangis. Melihat orang-orang berjatuhan. Di pintu gerbang, situasi sudah tak terkendali. Saling injak dan saling menumpuki satu sama lain.
“Aku lihat berkali-kali arek wedok, digotong, entah itu pingsan, entah itu wes nggak onok (meninggal). Banyak yang terkapar,” ujarnya lemas.
Sirine ambulans sudah bersahut-sahutan. Udin melihat petugas medis berlarian menyelamatkan korban jiwa yang sudah sulit dihitung lagi dengan jari.
“Bagiku ini bukan kaya melihat rusuh suporter. Ini bencana,” ujarnya yang langsung menjadi saksi tragedi di Kanjuruhan.
Selain Udin, Ghalib Baharudin (19) juga memberikan kesaksiannya tentang situasi kelam di Kanjuruhan. Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) ini datang bersama tiga rekannya. Mereka berempat duduk di tribun timur. Di sisi kanan papan skor besar. Tak jauh dari tempat Udin berada.
Mereka mengaku berhasil keluar stadion sebelum pecah kerusuhan dan gas air mata ditembakkan ke tribun. Namun, saat keluar, mereka sudah dihadapkan pemandangan yang juga penuh kekacauan.
“Saat kami keluar, di luar pas rombongan pemain Persebaya yang menggunakan kendaraan rantis sedang dihadap massa,” ujar Ghalib.
Menurutnya, kendaraan itu tertahan sekitar 15 hingga 20 menit. Tak bisa bergerak lantaran dikepung massa. Polisi pun di luar menembakkan gas air mata. Membuat massa terpecah. Begitu pula Ghalib dan tiga rekannya.
Ghalib terpisah sendiri. Ia mencari titik aman. Menuju arah masjid yang terletak di sisi utara. Ia berjalan menghindari kepadatan massa yang tak terkendali.
Di sisi lain, tiga rekannya ternyata masih terus bersamaan. Mereka menepi di sebuah warung yang berada di sekitar stadion. Rekan Ghalib yang bernama Taufiq Nurahman bercerita di warung itu banyak orang yang terkapar.
“Banyak yang terkapar. Di situ kami juga bilas muka buat mengurangi efek gas air mata,” terangnya.
Lelaki muda yang menangis di samping perempuan yang tak berdenyut nadinya
Saat sedang beristirahat, tiba-tiba Taufiq melihat seorang lelaki muda yang memapah perempuan. Lelaki itu berlari panik menuju arah warung.
Setibanya di warung, ia menelantangkan perempuan yang tampaknya kekasih lelaki itu. Membasuh muka sang perempuan dengan air dan mencoba menyadarkannya.
“Kami coba bantuin masnya itu. Teman saya coba cek nadinya. Tapi ternyata kok sudah tidak ada denyut nadi,” ujar Taufiq.
Seketika, tangis pecah. Sang lelaki menangis tak karuan di samping perempuan itu. Taufiq yang sebenarnya hendak menuju parkiran akhirnya tertahan di situ untuk beberapa waktu. Situasi di Kanjuruhan penuh kepedihan.
Baru sekitar dua puluh menit kemudian, Taufiq dan rekan beranjak menuju parkiran. Bertemu kembali dengan Ghalib. Mereka baru bisa keluar area Kanjuruhan sekitar pukul setengah satu. Malam itu, mereka jadi saksi tragedi kanjuruhan. Mereka bersyukur bisa pulang dengan selamat. Namun, malam itu, masih banyak yang tertahan di sana. Pulang tinggal jasad dan nama.
***
Hingga saat ini, jumlah korban meninggal akibat peristiwa di Stadion Kanjuruhan masih simpang siur. Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo pada Minggu (2/10) malam menyebut ada 125 korban yang meninggal. Ditambah 323 korban luka-luka yang mendapatkan sedang perawatan. Namun di media sosial, beredar informasi mengenai jumlah kematian yang lebih dari itu.
Terlepas dari jumlah korban, tragedi di Kanjuruhan merupakan duka besar, bukan hanya bagi dunia sepak bola tanah air. Namun juga bagi kemanusiaan.
Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA: Kisah Toko Buku di Pasar Kembang yang Berdiri Sejak 1995