Roti Kembang Waru Pak Bas merupakan kuliner warisan kerajaan Mataram Islam. Bentuknya yang 8 sisi memiliki makna 8 laku yang harus dilakukan seseorang ketika menjadi pemimpin.
***
Memenuhi rasa penasaran saya akan roti kembang waru, saya bertandang ke rumah seorang pembuatnya. Lokasinya di Gang Kenanga, kurang lebih 650 meter di timur laut Pasar Legi Kotagede, Yogyakarta. Pemiliknya adalah Pak Basiran Basis Hargito (78), yang merupakan generasi ketiga dan menjalankan usaha sejak tahun 1983.
Tidak mudah untuk menemukan rumah Pak Bas, nama panggilannya itu juga yang dijadikan nama warungnya, Roti Kembang Waru Pak Bas. Jalan menuju rumahnya harus melewati gang-gang sempit yang hanya bisa dilewati oleh kendaraan roda dua. Bahkan rumah Pak Bas diapit oleh rumah-rumah warga lain yang membuat harus cermat ketika mencari. Toko yang digunakan untuk menjual roti berada di samping rumah Pak Bas. Lebih mirip toko kelontong daripada toko roti.
Kebetulan, saat saya datang, Pak Bas baru saja selesai membuat roti kembang waru. Hal itu ditandai dengan aroma manis gula dan mentega yang menyebar di sudut ruang. Terlihat Pak Bas sedang duduk santai di kursi sembari membaca koran.
Pak Basis, atau Pak Bas biasa ia disapa, mengetahui resep dan cara pembuatan roti kembang waru dari nenek moyangnya. Menurut cerita yang ia tahu, pada masa kerajaan Mataram Islam, roti kembang waru menjadi andalan setiap ada hajatan. Meskipun demikian, secara persis ia tidak mengetahui penemu pertama dari roti kembang waru.
Namun, dari kisah turun temurun, Pak Bas bercerita mengapa dinamakan roti kembang waru. Dahulu, di Pasar Legi, Kotagede sebelum ada kios hanya ditumbuhi pohon perindang, seperti pohon beringin, pohon mentaok, pohon talok, dan pohon gayam. Mataram Islam terkenal dengan pohon gayam yang tumbuh subur di sepanjang jalan. Hal itu terungkap dalam tembang Jawa yang berbunyi Ing Mataram betengira inggil, Ngubengi kadhaton, Plengkung lima mung papat mengane, Jagang jero, toyanira wening, Tur pinacak suji, Gayam turut lurung.
Di antara pohon gayam, ada pohon waru yang ikut tumbuh. Pohon itu berbunga, tapi belum pernah berbuah. Pohon waru merupakan tumbuhan yang tidak produktif. Kayunya pun tidak cocok dipakai sebagai konstruksi bahan bangunan. Bahkan saat ini, sudah jarang ditemukan pohon waru dan bunganya yang berwarna cokelat kemerah-merahan.
Kebetulan, juru masak Mataram Islam sedang mencari menu makanan baru. Dibuatlah cetakan roti berbentuk bunga waru dari bahan besi. “Bunga waru lebih mudah dibuat, dibandingkan bunga kenanga ataupun bunga mawar,” ujar Pak Bas. Meskipun demikian, bentuknya tidak seratus persen mirip, melainkan hanya menyerupai saja.
Roti yang punya filosofi 8 laku
Roti kembang waru menjunjung nilai filosofi Hasta Brata yang dalam Bahasa Jawa berarti 8 laku. Hal itu tercermin dari roti kembang waru yang berjumlah 8 sisi. Dengan harapan jalan spiritual itu harus dilakukan seseorang ketika menjalankan kepemimpinan.
Delapan laku merupakan personifikasi dari delapan unsur alam, meliputi bumi (tanah), banyu (air), bayu (angin), geni (api), surya (matahari), rembulan (bulan), bintang, dan mega (langit). Jika seorang pemimpin dapat mengadopsi 8 laku, maka ia akan menjadi pemimpin yang berwibawa dan mampu mengayomi rakyatnya.
Bumi melambangkan suka berderma, air melambangkan ketenangan hati, angin melambangkan manfaat bagi banyak orang, api melambangkan kemampuan menerima masalah, matahari melambang harapan bagi sesama, bulan melambangkan kesabaran, bintang melambangkan ketangguhan hati, dan langit melambangkan semua akan kembali dan berpusat pada Sang Pencipta. “Delapan laku merupakan kunci keseimbangan jagad gede dan jagad cilik,” ungkap Pak Bas.
Mataram Islam beberapa kali dipindahkan, mulai dari ke Kerto di masa pemerintahan Sultan Agung, lalu ke Plered di masa pemerintahan Amangkurat I, dan ke Kartasura pada pemerintahan Amangkurat II, tidak menghilangkan tradisi menyajikan roti kembang waru dalam acara keraton. Setelah Mataram Islam runtuh, tradisi roti kembang waru kembali ke Kotagede.
Berbicara soal masa lalu, di era tahun 1965, Pak Bas merupakan seorang seniman. Saat itu, ia masih duduk di bangku sekolah rakyat atau setara dengan sekolah dasar. Saat itu ia penggiat bidang kesenian yang berkecimpung dalam seni budaya seperti penari ramayana ballet, gamelan, dan pelawak ketoprak. Bahkan ia sudah main film di beberapa tempat.
“Mungkin saat itu, karena beberapa kegiatan seni budaya yang saya lakukan penuh kritik, akhirnya dianggap sebagai anggota Lekra,” ungkap Pak Bas yang ditahan tanpa alasan dari tahun 1965 sampai 1969 dan harus kehilangan istrinya yang menikah lagi.
Di sisi lain, saat masa ontran-ontran PKI 1965, Kampung Bumen Kotagede, tempat tinggal Mbah Bas, juga berada pada masa sulit. Pada tahun 1960, di Kampung Bumen terdapat sebuah koperasi bernama KPBK (Koperasi Perusahaan Blek Kotagede). Koperasi ini membuat perkakas rumah tangga berbahan logam, seperti kompor, soblok, dan ceret. Anggota koperasi itu sejahtera, karena tidak hanya mendapat sisa hasil kerja dari penjualan, namun juga sisa bahan untuk membuat perkakas yang digunakan sendiri.
Koperasi KPBK gulung tikar dalam tragedi tahun 1965. Beberapa pemimpin dan anggota koperasi ditangkap karena diduga ikut gerakan PKI.
Selepas Mbah Bas keluar dari tahanan, ia menikah dengan istrinya saat ini, Sogidjah (69). Ia kemudian mengumpulkan rekannya yang tidak tersandung kasus PKI untuk membuat alat dan cetakan roti kembang waru berbahan logam. Alat itu dibawa ke tempat orang-orang yang sedang mempunyai hajat kemudian mendapatkan imbal jasa atas roti kembang waru. Dari belasan orang di Kampung Bumen yang bergabung untuk membuat roti kembang waru, saat ini hanya tersisa empat orang saja, itu pun satu di antaranya merupakan anak Pak Bas.
Tak lagi terbuat dari tepung ketan
Saya diajak oleh Pak Bas untuk melihat dapur pembuatan roti kembang waru. “Ini baru saja diberi oleh pemerintah untuk mengaduk, kalau dulu manual menggunakan tangan,” ungkap Pak Bas sembari menunjuk mesin pengaduk adonan. Keberadaan mixer bisa memangkas waktu pembuatan kurang lebih lima belas menit.
Di sebelahnya terdapat dua kotak yang terbuat dari logam. Kata Pak Bas, itu yang disebut sebagai oven tradisional. Jika digunakan, di bagian atas dan bawahnya akan diberi arang lalu dibakar dengan api. Tujuannya, agar panas dapat maksimal dan merata.
Meskipun demikian, mencari arang menjadi perkara sulit bagi Pak Bas. Pasalnya, jika arang kurang bagus, seperti terbuat dari kayu sisa rumah atau saat penjemuran kurang kering, maka mengakibatkan roti kembang waru menjadi bantat.
Adonan roti kembang waru memang sudah dilakukan inovasi. Tidak lagi menggunakan tepung ketan dan telur ayam kampung. Pasalnya, kedua bahan itu harganya mahal di pasaran. Roti kembang waru saat ini dibuat dari tepung terigu, telur ayam, gula pasir, dan susu. Perbedaan lainnya terletak pada pemberian aroma. Jika dahulu menggunakan daun pandan, maka sekarang untuk membuat aromanya menjadi khas ditambahkan kayu manis, pala bubuk, dan vanili.
Pak Bas tidak mempunyai ukuran resep. Semua bahan dimasukkan hanya dengan perkiraan tangannya saja. “Sudah terbiasa,” katanya. Bahkan ketika memanggang, ia harus sesekali menengok agar tidak terlalu gosong. Total waktu yang digunakan untuk membuat roti kembang waru adalah satu setengah jam.
Saya pun mencoba mencicipi roti kembang waru. Jika dari tekstur, roti kembang waru cukup padat dan berserat. Ketika dipegang atau ditekan, roti kembang waru akan membal seperti bolu. Gigitan pertama pada roti kembang waru, rupanya halus ketika dikunyah dan didominasi rasa manis legit yang tidak mengganggu. Pun dengan aroma wangi vanili, tepung, dan bau khas pembakaran menambah selera untuk terus menghabiskan roti kembang waru sampai pada potongan terakhir. Perpaduan yang cocok untuk teman minum teh di sore hari.
Mempertahankan pembuatan roti kembang waru dengan cara tradisional
Menjual roti kembang waru, bagi Pak Bas bukan hanya sekadar mencari pendapatan bagi dirinya, istri, dan kedua anaknya. Namun, juga pelestarian budaya. Pak Bas bersyukur, pemerintah telah mendukungnya untuk mengadakan pelatihan. Meskipun, kurang mendapat minat dari masyarakat.
“Semua yang saya dapat sampai saat ini, merupakan anugerah dari Sang Pencipta,” ungkap Pak Bas.
Sampai saat ini, roti kembang waru masih digunakan untuk acara-acara adat, seperti mitoni, selapanan, manten, dan acara penting lainnya. Bahkan, Mbah Bas menambahkan sering kali pintu rumahnya diketuk saat malam hari oleh orang-orang yang mencari roti untuk lelayu.
Tidak pernah terpikir oleh Mbah Bas untuk mengubah alat-alat tradisional miliknya menjadi alat modern. Menurutnya, ketika menggunakan alat tradisional akan ada cita rasa khas yang menjadi incaran wisatawan lokal maupun mancanegara.
Pak Bas bercerita ketika pandemi Covid-19 belum merajalela, ia pernah dicari oleh wisatawan asal Bogor. Bahkan, ia pernah didatangi turis dari Belgia dan Perancis sebanyak dua puluh becak. Menurutnya dari sekian banyak wisatawan yang bertandang dan membuat langsung roti kembang waru, yang terjauh berasal dari Rusia dan Alaska.
Saya pun sempat menghubungi Maria (30), seorang penikmat Roti Kembang Waru Pak Bas asal Jakarta. Maria menceritakan awal mula mengetahui Roti Kembang Waru Pak Bas karena oleh-oleh dari teman kantornya pada tahun 2017 silam. Sudah dua kali Maria bertandang untuk membeli Roti Kembang Waru Pak Bas. “Rasanya otentik, legendaris, tidak ada di tempat lain, dan hanya ada di Yogya,” ungkap Maria yang mengaku untuk mendapatkan sebuah roti kembang waru memerlukan effort yang besar.
Kemunculan roti-roti baru dengan cita rasa modern tidak membuat Pak Bas gentar. Ia ingin memberikan pelayanan terbaik bagi semua yang ingin belajar ataupun para konsumen. “Harga tetap harus terjangkau, namun kualitas nomor satu. Pembeli adalah raja, harus tepat waktu, dan tidak boleh mengecewakan konsumen,” ungkap Pak Bas dengan semangat.
Pak Bas sudah tidak pernah lagi menitipkan roti kembang waru bikinannya di warung atau pun Pasar Legi Kotagede. Semua penjualan dipusatkan di rumah. Pasalnya hal itu untuk mengantisipasi kerusakan roti kembang waru akibat tidak laku.
Dalam sehari, Pak Bas menerima pesanan 300 biji roti kembang waru. Selebihnya, ia selalu menyediakan stok di rumah jika sewaktu-waktu ada wisatawan yang datang. Roti Kembang Waru Pak Bas buka sejak pukul 09.00 WIB sampai dengan 21.00 WIB. Selebihnya, pintu rumah Pak Bas terbuka jika diketuk.
Semua bahan yang diperlukan Pak Bas akan diantarkan oleh pemasok langganannya. Pak Bas akan membuat roti kembang waru di pagi atau sore hari tergantung dari waktu pesanan konsumen dan boleh disaksikan proses pembuatannya.
Saya pun menyudahi perbincangan dengan Pak Bas, setelah membeli dua puluh biji roti kembang waru yang satunya dihargai Rp 2.100,00 sebagai camilan di rumah nanti.
Reporter: Brigitta Adelia
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Ketika Salak Pondoh Tak Lagi Istimewa dan liputan menarik lainnya di Susul.