Menjelang Hari Raya Nyepi, umat Hindu di Jogja dan sekitarnya melakukan upacara Melasti di Pantai Parangkusumo. Ritual ini bermakna pembersihan diri dari perbuatan buruk di masa lalu.
***
Upacara Melasti digelar pada Minggu (27/2/2022), di pantai Parangkusumo, Kalurahan Parangtritis, Bantul, Yogyakarta. Namun karena PPKM level 3 peserta upacara Melasti tahun ini dibatasi hanya 200 peserta saja.
Melasti merupakan salah satu ritual menyambut Hari Raya Nyepi bagi umat Hindu. Biasanya dilakukan tiga hari menjelang hari raya Nyepi.
Menurut jadwal, upacara Melasti dimulai pukul 2 siang. Namun satu jam sebelum acara dimulai saya sudah berada di pantai Parangkusumo. Matahari terik menyengat kulit. Area peserta upacara dipagari oleh tali rafia. Di dalam area yang dipagari tali rafia itu terdapat terdapat 5 tenda yang menaungi peserta dari panasnya matahari.
Tenda yang paling besar merupakan tempat peserta upacara. Perempuannya mengenakan kebaya putih berselendang kuning berkain batik yang juga didominasi warna kuning. Sedangkan yang lelaki memakai baju putih berikat kepala. Namun ada juga beberapa di antaranya yang memakai sorjan lurik pakaian khas adat jawa.
Di tenda bagian depan yang menghadap ke laut ada semacam altar, tempat duduk para pemuka agama yang juga mengenakan pakaian berwarna putih. Di hadapannya terhampar sesaji dan beragam bunga warna-warni. Dari atas altar itulah asap dupa mengepul tak henti menebarkan wangi.
Di depan tenda altar ada lagi dua buah meja panjang dibalut kain berwarna kuning. Letaknya berada di sebelah kiri dan kanan sehingga tidak menutupi pandangan pemuka agama yang duduk di meja altar menghadap ke laut.
Di atas meja itu berderet sesaji yang dibawa peserta upacara. Sesaji itu diwadahi nampan yang dihiasi janur berisi beragam bunga. Ada juga buah-buahan, dan penganan. Juga tumpeng warna-warni dan hasil bumi. Sedangkan di bawah meja panjang itu terdapat beberapa ekor ayam dan bebek yang akan di larung. Di depan meja Panjang itu terdapat umbul-umbul dan bendera warna warni bergambar dewa-dewa.
Saya berkeliling untuk memotret berbagai aktivitas peserta sebelum acara dimulai. Di luar pagar banyak sekali wisatawan maupun warga yang datang untuk melihat jalannya upacara. Karena sinar matahari menyengat, saya memilih berteduh di balik sebuah pilar tempat menaruh sesaji.
Baru saja saya berdiri di belakang pilar, dari kejauhan Bupati Bantul Abdul Halim Muslih datang. Saya memotret Bupati Bantul itu dari jauh. Tak lama kemudian upacara dimulai dengan Tari Pendet yang ditarikan oleh dua orang remaja putri.
Usai tarian, saya mencatat ada tiga pidato penyambutan. Pidato penyambutan pertama oleh ketua panitia Nyepi yaitu Dr. Putu Sugiarta Sanjaya. Dia mengatakan, Tahun Baru Saka merupakan tonggak peringatan atas kejayaan hidup dan sekaligus adalah hari toleransi dengan membangun harmoni, persaudaraan sejati dan instropeksi atas tindakan yang telah dilakukan selama kehidupan.
Lalu sambutan kedua dari Plt Pembimas Hindu DIY dan sambutan Bupati Bantul yang membuka acara Melasti. Sambutan terakhir dari ketua PHDI DIY Drs. I Nyoman Warta.
Menurut I Nyoman Warta dalam sambutannya, Melasti merupakan penyucian diri. Tidak hanya menyucikan tubuh melainkan juga pikiran-pikiran kita yang kotor selama setahun yang lalu. Makanya diakhir ritual Melasti, Nyoman Warta menganjurkan setiap peserta upacara diharuskan membasuh tubuh di laut. Karena laut merupakan air suci.
Ritual Melasti dimulai dengan iringan kidung dan gamelan. Lalu peserta upacara dan pemuka agama dan umat peserta upacara berjalan menuju laut untuk mengiringi pengambilan air suci.
Air itu kemudian dimasukkan kedalam wadah serupa kendi namun terbuat dari tembaga. Wadah air suci itu dihiasi kain tipis berenda. Pada bagian tutupnya terdapat rangkaian janur. Wadah itu kemudian dibawa sambil disunggi di atas kepala seorang pemuka agama. Di depan iringan pemuka agama itu terdapat enam orang penari berkebaya putih berselendang dan berkain warna kuning. Mereka berjalan sambil menari mengelilingi meja Panjang sesaji di depan tenda altar sebanyak tiga kali.
Usai air suci diletakkan di meja altar, seorang pemuka agama memimpin sembahyang Puja Tri Sandhya. Lalu dilanjutkan dengan sembahyang Kramaning Sembah. Sambil duduk bersila di bawah tenda, peserta upacara melakukan 7 kali sembahyang yang dipimpin oleh seorang pemuka agama bernama Jro Gde Dwija Triman.
Usai bersembahyang, semua sesaji dibawa Kembali ke laut untuk di larung. Sayangnya momen ini saya tidak mendapatkan foto yang bagus karena begitu banyaknya warga masyarakat yang hendak memotret dan berebutan barang larungan.
Beberapa kali ombak besar datang menyapu kaki membuat basah celana setinggi betis. Saat ombak datang suara orang-orang itu riuh. Ada yang tertawa. Ada yang histeris karena kamera HP-nya basah terciprat air laut. Saya memilih menjauh dari ombak yang naik.
Usai larungan Melasti, saya bertanya pada Hardi Wiratama. Seorang fotografer. Dia umat Hindu. Nama panggilannya Breck.
“Sak jane menurutmu Melasti kuwi apa to, Breck?” tanya saya.
Dia jawab, “Melasti ki maknane pembersihan diri. Bhuana alit atau semesta kecil manusia untuk menyambut Hari Raya Nyepi. Nah, laut kuwi sumber mata air yang dipercaya membersihkan semua kotoran yang ada pada diri manusia. Ngko pas Tawur Agung sesuk lagi pembersihan Bhuana Agung atau Alam Semesta.”
“Terus nek menurutmu sebagai kaum muda kekinian yang pernah ikut ritual melasti ki iseh menarik ora?” Tanya saya lagi.
“Nek menurutku yo iseh menarik,” jawabnya.
“Sing digowo pas Melasti ki Nang Jempana sing diusung kae nek wong Hindu Bali/Jawa jarene Bhatara atau Energi Ilahi, sing bersemayam nang tiap-tiap pura. Sing nyenengke maneh, Melasti neng Parangkusumo ki aku iso ndelok umat dari berbagai pura dengan budaya yang beragam. Dadi ana Hindu Jawa, ana Hindu Bali. Beda ro Melasti nang Bali. Trus do guyub walaupun purane bedo-bedo ki yo menarik buat aku. Sebagai minoritas trus iso ngumpul dan berupacara dengan lancar dan semarak ki yo nyenengke. Kadang wilayah sing ra nduwe pantai misal Klaten, Sukoharjo, ki do melu Melasti nang Jogja.” imbuh Si Breck.
Mendengar penjelasan Si Breck saya lantas ingat bahwa tadi banyak juga anak muda yang ikut menjadi peserta upacara. Baik lelaki maupun perempuan. Mereka datang saya pikir juga karena ingin merasakan keberagaman sesama umat. Baik itu umat Hindu Jawa maupun Hindu Bali. Hal itu terlihat dari perbedaaan pakaian yang dikenakan.
Umat Hindu Jawa terlihat khas karena memakai sorjan dan udeng atau ikat kepala kain batik. Saya lantas ingat pada apa yang dikatakan oleh Putu Sugiarta dalam sambutannya tadi bahwa, tepa selira itu kita harus mampu merasakan apa yang orang lain rasakan. Caranya, tentu saja kita tidak boleh menyerang orang lain, jika kita juga tidak ingin merasakan sakit yang sama.
Rangkaian pamungkas menjelang Nyepi berlangsung pada Rabu (2/3/2022) di pelataran Candi Prambanan. Menurut Si Breck, Tawur Agung di pelataran Candi Prambanan inilah sebagai pembersihan Bhuana Agung atau semesta.
Reporter: Eko Susanto
Editor: Purnawan Setyo Adi
BACA JUGA Kisah-kisah Pilu di Bawah Rindang Pohon Seberang Gedung MM UGM liputan menarik lainnya di Susul.