Musibah ban bocor atau mobil yang mogok di siang hari mungkin akan jadi persoalan sepele. Berbeda lagi kalau terjadi pada malam hari. Relawan Komunitas Aksi Cepat Jalanan Jogja (ACJJ) hadir sebagai penyelamat. Mereka tak mau menerima bayaran, sepeser pun.
***
Tak mau terima uang meski dipaksa
Jam di ponsel Heri Njotho, anggota komunitas ACJJ, menunjukkan waktu tengah malam. Satu pesan singkat di Whatsapp masuk. Ternyata ada orang yang ban mobilnya bocor. Tanpa berlama-lama lagi, Heri langsung menghampiri korban kebanan dengan mobil relawan.
Sesampainya di TKP, Heri menderek mobil orang itu sampai ke rumah yang bersangkutan. Usai ditolong, korban meyodorkan sejumlah uang sebagai tanda terima kasih. Jumlahnya cukup membuat Heri syok.
Tentu saja Heri menolak uang itu. Tak disangka, penolakan itu malah berujung pada penyitaan kunci mobilnya. “Terus dia bilang, ‘kalau nggak mau terima uangnya, sampeyan nggak boleh pulang’. Pokoknya maksa kasih uang, tapi saya tetap tolak uangnya. Kami sampai kayak orang berantem di pinggir jalan,” kata Heri sambil tertawa kecil.
Saya menemui Heri pada Rabu (7/2/2022) malam tepat pukul 20.30 WIB. Saat mendengarkan cerita Heri, kami sedang duduk di teras kantor Pegadaian Sentul, Pakualaman, Kota Yogya beralaskan karpet hijau. Di atas karpet sudah tersedia aneka jenis camilan. Mulai dari tempe goreng, pisang molen, hingga kacang rebus.
“Eh iya, ini pas bejonya Mbake. Kami lagi banyak makanan. Silakan lho dimakan, Mbak” kata Heri yang tiba-tiba menjeda ceritanya. Saya kemudian memilih untuk mengambil satu pisang molen mini. Sembari lanjut ngemil, satu persatu anggota ACJJ mulai datang memarkir motor di pos satpam Pegadaian Sentul.
Sekitar tiga anggota memilih duduk di samping pos satpam. Mereka mempersiapkan amunisi pengondisian jalan seperti ban dalam, pompa, peralatan tambal ban, hingga lampu cadangan. Lalu tiga anggota lainnya ikut duduk bersama saya dan Heri. Mereka adalah Gunz Nemo, Sojiwan, dan Bejun. Tanpa banyak berkata, mereka ikut menyimak lanjutan cerita Heri.
“Nah, lanjut mbak. Jadi soal dipaksa nerima uang itu kami udah biasa banget. Kalau diceritain semua, bisa jadi tulisan sampeyan sampai jadi buku,” kata Heri sambil tertawa.
Menurut Heri, kehadiran ACJJ sebagai penyelamat ini kadang membuat aksi mereka salah dipahami. Alhasil, mereka kerap dipaksa menerima bayaran. Bahkan dengan cara-cara yang tak masuk akal. Namun, segala cara mereka lakukan untuk menolak bayaran. Tujuannya untuk menjaga kemurnian titel relawan dalam Komunitas ACJJ.
Ratusan kali Heri mengalami kejadian aneh usai menolong orang kebanan. Hingga dia kesulitan mengingatnya satu persatu. Namun, ada satu cerita yang menurutnya takkan terlupakan sampai kapan pun.
Suatu malam dia menolong orang yang motornya mogok kehabisan bensin. Lokasinya di Semanu, Gunungkidul. Usai ditolong, Heri menemukan uang Rp100.000 di kantong jaketnya. Uang itu diselipkan oleh orang yang ditolongnya. Tentu saja tanpa sepengetahuan Heri.
Heri buru-buru mengendarai motornya untuk mengejar orang itu. Orang yang dikejar tentu sadar. Akan tetapi, justru orang itu memacu sepeda motornya dengan kecepatan tinggi. Heri akhirnya menyusul orang itu di Piyungan.
Jaraknya sekitar 30 kilometer dari tempat ia memberikan pertolongan orang tersebut. Heri lalu mengembalikan uang dengan sopan dan kalimat yang tidak menyinggung.
Gunz Nemo kemudian menjelaskan alasan dibalik lahirnya trik-trik ajaib dari orang-orang yang mereka tolong itu. Ban bocor yang terjadi tengah malam itu rasanya mencekam bagai teror. Pertolongan yang cepat dari ACJJ seakan-akan jadi dewa penyelamat. Makanya, mereka ingin berterimakasih dengan cara apapun.
Jika dipikir-pikir, ban bocor memang masalah sepele. Namun, akan jadi sangat menyeramkan jika terjadi tengah malam. Di mana tak ada satu pun tambal ban buka. Apalagi kalau lokasi korban ada di daerah terpencil.
Keadaan itu tentu makin mencekam lagi kalau sedang musim klithih. Bayangkan saja saat ban motor kalian bocor di tengah daerah sepi. Apa yang akan terjadi kalau ada begal? Tentu saja saat kebanan, tujuan kalian ingin cepat sampai rumah, kan?
Selain klithih, bagi sebagian orang, perjalanan tengah malam itu persoalan hidup dan mati.
Ada yang melakukan perjalanan dari Jogja ke Wates karena harus sampai di tempat kerja saat subuh. Ada yang harus sampai rumah sakit tengah malam. Itu juga karena ayahnya sedang kritis. Pertolongan relawan ACJJ hadir bagai tangan Tuhan yang mempercepat perjalanan mereka.
Beroperasi hanya malam hari
Para relawan menyebarkan nomor mereka di berbagai media sosial. Mulai dari Twitter, Instagram, WhatsApp hingga Facebook. Relawan juga kerap menitipkan nomor mereka kepada driver ojek online. Alasannya, mereka lah yang memutari Jogja selama 24 jam. Jika driver melihat korban kebanan, mereka biasanya langsung menyodori kontak relawan.
Kontak relawan dibagi berdasarkan wilayah tugasnya. Mulai dari area Jogja, Sleman, Bantul, Gunungkidul, Kulonprogo, Klaten hingga Magelang. Para korban kebanan bisa langsung share location ke WhatsApp relawan sesuai dengan TKP. Tenang saja, setelah terima share location, relawan langsung meluncur ke TKP.
“Kami biasanya sudah kumpul jam delapan malam. Lalu biasanya mulai nerima panggilan jam sembilan malam sampai jam lima pagi. Tapi kalau sudah pulang, terus ada telepon lagi, ya keluar lagi deh kami,” kata Gunz. ACJJ memang membatasi jam operasinya malam hingga pagi hari. Mereka tidak ingin mengganggu rezeki tukang tambal ban atau bengkel di siang hari.
Biasanya penanganan ban bocor berlangsung paling lama 10 menit. Paling cepat hanya 4 menit. Cepat, kan? Itu karena relawan menggunakan metode ganti ban. Cara itu dianggap lebih cepat daripada menambal ban.
Ya, ACJJ menyediakan ban secara gratis ketika menjumpai ban bocor dalam kondisi parah. Dari mana ban itu? Gunz mengatakan kalau relawan ACJJ patungan membeli ban. Ada juga donatur yang memberi bantuan berupa barang seperti ban. Pada intinya, ACJJ menerima donasi, tapi bukan dalam bentuk uang. Barang yang bisa menunjang kegiatan kerelawanan mereka akan diterima.
“Kami cepat menanganinya. Makanya saya sering ketemu orang yang maksa kasih duit. Ada juga yang ngasihnya sambil nahan nangis. Pas saya tolak uangnya, baru diam-diam dia nangis,” kata salah satu anggota ACJJ lainnya, Bejun.
Usia Bejun tak lagi muda, sudah menginjak kepala lima. Seharusnya, tengah malam adalah waktu ideal untuk beristirahat. Namun dia tak keberatan. Sebab menyaksikan orang berterima kasih membuat waktu begadangnya penuh makna.
Agar tak merusak makna itu, relawan mati-matian menolak bayaran. Menurut Bejun, sekali ternoda dengan uang, kata relawan tak bermakna lagi. Pasti akan ada konflik kepentingan yang memecah belah keanggotaan. Kegiatan relawan pun jadi tak meresap ke hati.
“Udah nggak kehitung lagi jumlah orang yang maksa ngasih uang. Kalau kami terima semua, mungkin kami sudah bisa naik haji. Tapi tujuan kami bukan uang. Kalau mau cari uang, ya kami tinggal kerja di siang harinya,” seloroh Heri, menyambung cerita Bejun.
Bukan sekadar keren-kerenan
Pertengahan tahun lalu, Jogja kembali diramaikan kejadian klithih. Sebagai antisipasi, seorang netizen menyebarkan kontak relawan di Twitter. Dalam sekejap, tweet itu mendapat ribuan retweet dan viral. Sejak saat itu nama komunitas ACJJ makin naik daun.
Tiba-tiba, ribuan orang berminat jadi anggota komunitas ACJJ. Namun, keadaan itu justru jadi tantangan besar bagi para anggota. Sebab mereka harus jeli melihat karakter dan niat asli para pendaftar.
“Kami nggak mau nerima orang yang cuma mau keren-kerenan thok. Jadi, kami punya berbagai cara untuk melihat karakter dan niat asli manusia,” kata salah satu pendiri Komunitas ACJJ, Gunz Nemo.
Sambil menyeruput teh hangat yang tersaji, Gunz Nemo mulai berkisah. Sejak makin viral, para anggota menyusun skenario. Biasanya anggota yang kurang terkenal akan menggembosi ban motornya sendiri, lalu mengontak calon relawan.
“Kami kasih uang. Kalau dia terima, sudah jelas dia nggak lolos. Atau kami uji dengan panggilan malam atau dini hari. Kalau yang cuma keren-kerenan kan nggak akan bisa lolos tes begini,” sambil cengengesan, Gunz Nemo berterus terang metode itu juga digunakan untuk menguji Heri Njotho.
“Saya enam bulan diuji baru diterima,” kata Heri.
Tak semua anggota yang barusan diterima punya kemampuan menambal ban bocor. Maka ujian selanjutnya adalah melatih diri menambal ban, mengganti ban hingga membenahi mesin motor. Biasanya, anggota yang belum punya skill harus mengikuti anggota lama melakukan tugas kerelawanan. Dari situ mereka akan berlatih keterampilan perbengkelan.
Kini Komunitas ACJJ memiliki anggota aktif sekitar 60 orang. Mereka tersebar di seluruh wilayah DIY dan Magelang serta Klaten di wilayah Jawa Tengah. Bahkan, komunitas ini mengajak kerjasama komunitas relawan lain untuk memperluas daerah operasi. Misalnya Komunitas Rawan Bencana di Kulonprogo.
Menurut Gunz, kerjasama dari pihak lain memang dibutuhkan. Mengingat setiap jam 10 malam ke atas, ponsel relawan tak pernah sepi dari panggilan darurat. Mulai dari ban bocor, kehabisan bensin, hingga mogok karena turun mesin. Bahkan menurut perhitungan Gunz, untuk kasus ban bocor, anggota bisa menggunakan 100 ban per minggunya.
ACJJ tidak menerima kerjasama yang menghasilkan uang. Sejauh ini, semua biaya penggantian ban dan peralatan ditanggung seluruh anggota. Gunz mengatakan, jika tertarik untuk mendukung kegiatan mereka, maka cukup menyebarkan nomor relawan di media sosial. Harapannya supaya mereka bisa bermanfaat buat lebih banyak orang.
Pertemuan saya malam itu dengan para anggota ACJJ berakhir di luar prediksi. Baru selesai tengah malam. Biasanya, saya kemana-mana liputan sendiri. Berangkat sendiri, pulang juga sendiri. Akan tetapi, malam itu berbeda. Jika biasanya mereka dipaksa untuk menerima uang, kini mereka memaksa mengawal saya sampai rumah. Saya tak kuasa menolak begitu mengingat Jogja dan klithihnya.
Reporter : Salsabila Annisa Azmi
Editor : Agung Purwandono
BACA JUGA Perjuangan Rosalia Amaya Dirikan Griya Welas Asih, Ruang Aman bagi Korban Pemerkosaan dan liputan menarik lainnya di Susul.