Tidak perlu waktu lama bagi Syamsi untuk menemukan kos yang cocok. Ia berkantor di Pasar Turi dan mencari kos di dekat wilayah tersebut.
Ia mendapat kos seharga Rp650 ribu dengan lokasi yang cukup strategis. Masih terbilang dekat dengan kantornya dan berada di area UNAIR. Kos seharga itu sudah termasuk WiFi dan listri. Meskipun kamar mandinya masih di luar.
Jika membandingkan dengan Jogja, di wilayah strategis, harga kosnya relatif sama. Jika membandingkan UMR kedua wilayah ini tentunya Surabaya jadi terasa lebih menjanjikan.
Terhindar dari masalah-masalah yang biasa ditemui di Jogja
Selain urusan kos, ia juga merasa masalah makanan tidak terlalu terpaut jauh. Lebih mahal sedikit saja. Namun, masih lebih menguntungkan jika menengok besaran gaji yang ia dapat di sana.
Sebagai orang ber-KTP Jogja, Syamsi juga mengaku agak lega begitu merantau kerja di Surabaya. Pasalnya, ia tidak menemukan permasalahan klasik soal sampah seperti yang ia temui di kota asalnya. Setidaknya selama dua bulan ia hijrah.
“Nggak ada bingung-bingung harus buang sampah ke mana lagi. Pas di Jogja itu jadi isu yang bikin pusing,” kelakarnya.
Hal serupa juga berlaku soal lalu lintas. Surabaya tidak kalah padat. Namun, ruas jalannya relatif lebih luas. Menurutnya, banyak jalan kecil yang kemudian direkayasa menjadi satu arah sehingga tidak terjadi penumpukan kendaraan yang terlampau padat.
Sejauh ini, ia mengaku pilihannya hijrah kerja di Surabaya cukup memuaskan. Meski demikian, salah satu tantangannya adalah penyesuaian bahasa.
“Ya walaupun sama-sama Jawa, orang sini ternyata cara ngomongnya beda juga ya. Cepat banget,” pungkasnya tertawa.
Penulis: Hammam Izzuddin
Editor: Aly Reza
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News