Suroboyo Bus saat ini memang menjadi transportasi umum yang cukup mencolok di jalanan Surabaya. Bus warna merah tersebut setiap hari tampak berlalu lalang tanpa jeda.
Namun, meski begitu, ada saja orang yang selama bertahun-tahun tinggal di Surabaya enggan menggunakan Suroboyo Bus. Alasannya bermacam-macam. Mulai dari ribet hingga tak sabar saat naik transportasi tersebut.
Peminat Suroboyo Bus terus meningkat
Beroperasi sejak 2018, dari tahun ke tahun peminat Suroboyo Bus memang cenderung naik. Hal ini sebagaimana data dari Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Surabaya.
Pada 2018, tercatat jumlah penumpang Suroboyo Bus mencapai 513.142 orang. Lalu terus menglami peningkatan tiga kali lipat dalam kurun beberapa tahun terakhir.
“Tahun 2023, jumlah penumpang Suroboyo Bus mencapai 1.729.758 orang. Jumlah tersebut meningkat dibandingkan tahun 2022 dengan 1.611.415 penumpang,” beber Trio Wahyu Bimo selaku Sekretaris Dishub Surabaya.
“Sedangkan pada tahun 2021, tercatat ada 926.971 orang yang menggunakan Suroboyo Bus sebagai moda transportasi,” sambungnya dalam keterangan tertulis di website resmi Pemkot Surabaya.
Menurut Trio, meningkatnya jumlah peminat Suroboyo Bus tidak lepas dari berbagai inovasi yang sudah berjalan. Salah satunya yakni pembayaran dengan sistem non-tunai melalui QRIS dan lain-lain.
Belum lagi tarif untuk naik transportasi umum Surabaya itu juga terbilang murah. Mentok bayar Rp5 ribu saja untuk semua rute.
Ogah naik Suroboyo Bus karena ribet
Di tengah makin naiknya pamor transportasi umum andalan Surabaya itu, ada saja orang-orang seperti Endra (28). Bertahun-tahun tinggal di Surabaya, ia justru terkesan ogah naik Suroboyo Bus.
Bukan karena fasilitas Suroboyo Bus yang tak memadai. Tapi karena problem dalam diri Endra Sendiri.
Sejak tahun Suroboyo Bus beroperasi sejak 2018, Endra yang saat itu masih kuliah semester akhir sebenarnya tertarik menggunakan Suroboyo Bus untuk bepergian. Misalnya saat lagi mager motoran.
“Cuma sistem bayarnya bikin males,” ujar pria asal Madura yang saat ini membuka bisnis kelontong di Surabaya tersebut.
Di tahun-tahun awal operasinya, sistem pembayaran Suroboyo Bus memang terbilang unik. Yakni dengan menggunakan botol plastik bekas.
Satu sisi sistem tersebut membuat banyak orang tertarik. Karena tak harus merogoh uang. Hanya mengumpulkan botol plastik bekas saja dan bisa naik untuk rute mana saja. Tapi tidak bagi Endra.
“Proses ngumpulkan plastiknya itu loh sebenarnya kan ribet juga. Mau naik bus aja kok harus repot-repot ngumpulin plastik. Padahal kalau ngumpulin plastik, jual aja ke tukang rongsok, malah jadi cuan,” tutur Endra.
“Tapi sekarang kan udah bisa pakai QRIS, Cak?,” tanya saya penasaran kenapa sampai saat ini Endra masih tak minat naik bus tersebut meski bayarnya sudah tak pakai botol plastik lagi.
“Aku nggak pakai QRIS. Aku terbiasa tunai. Penginnya kalau naik bus ya langsung bayar aja (uang tunai), kan beres,” beber Endra.
Bagi Endra, bayar pakai QRIS tetap tak memudahkan. Karena nyatanya memang masih banyak orang yang lebih nyaman melakukan transaksi secara tunai. Bahkan sekalipun sebenarnya punya QRIS di HP.
Baca halaman selanjutnya…
Masalah di jalanan Kota Pahlawan
Tak tahan dengan macetnya Surabaya
Sementara Fiani (23) sebenarnya tak kerepotan dengan sistem pembayaran QRIS. Hanya saja, ada satu masalah yang membuat mahasiswa di Surabaya itu ogah naik Suroboyo Bus.
Fiani kuliah di Surabaya sejak 2020 lalu. Tapi praktis mulai banyak menetap di Surabaya pada pertengahan 2021 setelah Covid-19 melandai.
Fiani tak punya motor. Sehingga mobilitasnya di Surabaya lebih banyak mengandalkan transportasi umum atau juga ojek online (ojol), di samping nebeng teman-temannya.
“Paling sering (naik Suroboyo Bus) ya dari daerah kosan menuju terminal (Terminal Bungurasih), kalau mau pulang atau pas balik Surabaya. Dulu sesekali juga naik kalau misalnya mau ke mana gitu. Ke Ampel misalnya, atau ke Royal Plaza, atau ke daerah kota,” beber perempuan asal Tuban, Jawa Timur tersebut.
Hanya saja, ia merasa tak sabar kalau naik Suroboyo Bus. Sebab, jalanan Surabaya di jam-jam tertentu terbilang sangat padat dan crowded. Sehingga laju bus kerap terhambat, hanya bisa berjalan merayap. Sementara ia pengin segera sampai tujuan.
Oleh karena itu, Fiani lebih nyaman kalau naik ojol. Karena bisa meliuk-liuk di tengah kemacetan Kota Pahlawan.
“Tapi kalau tahan aja sama macet, naik bus itu ya enak-enak aja sih menurutku,” tegas Fiani.
Lebih memilih angkutan lyn Surabaya
Penumpang Suroboyo Bus bisa dibilang mayoritas dari kalangan muda hingga usia 30-an. Dari anak SMA, mahasiswa, hingga kelas pekerja. Jarang ada dari kalangan orang tua atau lansia.
Walaupun sebenarnya transportasi ini menyediakan jaminan gratis untuk penumpang lansia, sehingga tak perlu repot-repot bayar pakai QRIS yang sangat mungkin akan menyulitkan mereka.
Namun, alih-alih naik Suroboyo Bus, lyn kuning Surabaya masih jadi pilihan. Seperti ibu kos saya di Surabaya (2022).
Ibu kos saya tersebut memang kerap bepergian. Tapi ia lebih sering naik lyn kuning. Saya tahu karena saya sering berpapasan dengannya saat ia sedang mencegat lyn kuning di Jalan Ahmad Yani.
Saya tak tahu alasan pasti ia memilih lyn kuning. Namun, rata-rata kalangan tua di Surabaya—sejauh yang saya amati di jalaan Kota Pahlawan—memang lebih memilih menggunakan moda transpotasi umum yang jauh lebih tua dari Suroboyo Bus itu.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Lapis Kukus Pahlawan, Oleh-Oleh Surabaya yang Makin Tak Istimewa dan Tak Ada Nikmat-nikmatnya Lagi
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.