Penitipan barang kos Jogja ternyata bisnis yang tampak sederhana tapi mendatangkan cuan besar. Meskipun, harus berhadapan dengan keunikan watak pelanggan yang sampai pura-pura meninggal.
***
Rumah Riski Usada (24) penuh sesak. Bukan karena perabotan keluarganya yang banyak, melainkan barang-barang anak kos Jogja yang dititipkan di sana.
“Itu baru aku belikan rak besi baru, biar lebih tertata,” ujar Riski saat mengajak saya keliling di rumahnya yang ada di kawasan Demangan, Jogja.
Kami lalu berjalan keluar pintu belakang rumahnya. Melewati gang sempit kampung padat permukiman menuju sebuah tempat lain yang sengaja Riski sewa untuk menyimpan barang kos lain yang memadati rumahnya.
Sesampainya di lokasi, ia membuka kunci kamar seluas sekitar 4×3 meter. Di dalamnya, tumpukan kardus mengitari semua penjuru ruang. Menjulang hingga nyaris ujung atap kamar.
“Sementara yang nggak muat di kamar aku taruh sini. Rencana mau kontrak tempat lain khusus untuk penyimpanan barang,” kata lelaki berkacamata ini.
Ia sempat tak menyangka, bisnis penitipan barang anak kos Jogja yang ia rintis sejak 2020 ini hasilnya cukup menjanjikan. Bisa untuk membiayai kuliahnya di UPN Veteran Yogyakarta hingga lulus pada awal 2024 lalu.
Sempat tak kuliah untuk cari uang
Bagi Riski, berbisnis dan mencoba mencari uang sendiri memang bukan hal baru. Saat lulus SMA pada 2018 silam, ia memutuskan untuk jeda tidak kuliah setelah gagal diterima di sejumlah PTN yang ia daftar.
Orang tua yang memiliki bisnis pakan burung, bisnisnya sedang tidak baik-baik saja. Ia merasa tak enak hati jika menuntut orang tuanya keluar uang banyak untuk mendaftar kuliah di kampus swasta.
“Macem-macem yang dulu aku coba. Sempat narik ojol lumayan lama terus bikin bisnis kecil-kecilan,” tuturnya.
Akhir 2019, Riski juga sempat menjadi tim pemasaran sebuah agen travel. Pada awal 2020, ia hanya selangkah lagi kejatuhan uang sampai dua digit.
“Sempat mau deal dengan salah satu jurusan di kampusku untuk pakai jasa agen travel. Dari agennya kalau deal itu per kepala aku dapat Rp200 ribu dan itu ada 100-an orang,” kenangnya.
Namun, saya pandemi melanda. Semua perjalanan travel dibatalkan. Ia gagal dan harus memutar otak dalam mencari sumber pemasukan lain.
Saat itu, teman-teman kampusnya banyak yang pulang kampung. Sebagian, merasa bingung tentang sewa kos.
“Di satu sisi barang mereka banyak di kos, kalau berhenti sewa mau dibawa kemana ini-ini barang. Tapi kalau tetap lanjut kok sewanya mahal,” tuturnya.
Solusi kebutuhan anak kos Jogja
Seorang teman lantas meminta tolong kepada Riski untuk mengemaskan barang di kos yang sudah ditinggal pulang kampung. Lantas, meminta untuk menitipkan barang itu di rumah seorang saudaranya di Jogja.
“Aku inget banget, dia ngasih aku upah Rp50 ribu. Di situlah aku mikir, ternyata kebanyakan orang itu bingung mau naruh barang di mana. Titip tempat teman juga sulit, karena temannya juga sama-sama kos dan sempit. Selain itu, nggak semuanya punya saudara di Jogja,” paparnya.
Insting bisnis memandu Riski kepada peluang yang ia temui. Ia lalu mencoba menyebar kuisioner untuk memperkuat hipotesisnya tentang bisnis ini. Dan ternyata, dari 80-an responden yang mengisi kuisioner banyak yang menyatakan butuh.
Riski bersama dua temannya kemudian mencoba peluang bisnis tersebut. Membuka akun Instagram @titipbarang_kos dan mempromosikannya secara perlahan.
“Ternyata ya ada orang yang menghubungi. Di awal-awal posting itu ya belum sampai 10 orang, tapi lumayan,” tuturnya.
Riski sekaligus mencoba untuk menawarkan jasa antar jemput barangnya. Di awal-awal, ia harus memesan layanan jasa angkut. Namun, dengan trik yang unik.
“Jadi ya dibuat gimana caranya biar terlihat profesional, seolah-olah jasa angkutnya dari aku,” kelakarnya. Dari jasa angkutnya, ia juga bisa mengambil margin keuntungan.
Bertemu dengan beragam karakter
Bisnis penitipan barang anak kos Jogja perlahan berkembang. Meski akhirnya ia harus pisah jalan dengan dua teman lainnya sejak 2021.
Sejak saat itu ia hanya seorang diri. Sesekali dibantu oleh bapaknya untuk menjemput barang. Lelaki ini juga mengaku beruntung karena orang tuanya mengizinkan rumah mereka untuk digunakan menumpuk barang puluhan anak kos Jogja.
“Padahal rumahnya jadi berantakan banget. Beruntung lah ini,” kelakarnya.
Banyak hal tak terduga yang ia temui selama mengelola barang anak kos Jogja. Ada barang yang nyaris empat tahun tidak kunjung diambil oleh pemiliknya. Biaya sewa pun tidak dibayar. Sementara jika dijual pun tidak terlalalu bernilai.
Jika biasanya barang-barang yang dititipkan, maksimal adalah perabotan di kamar, pernah suatu ketika ia mendapat penitipan barang satu kontrakan. Total biaya sewa yang ia patok sampai Rp3 juta per bulan.
Ia sampai harus memutar otak mencari tempat meletakkan barang. Akhirnya, saat itu ia bekerja sama dengan temannya yang punya rumah cukup lapang.
“Kami bagi hasil lah intinya. Gimana lagi, aku belum punya tempat untuk naruh barangnya,” ujarnya tertawa.
Pelanggan itu, selama enam bulan pertama sempat rutin membayar biaya penitipan barang. Namun, setelahnya mulai ngadat. Sesekali dicicil, sampai akhirnya benar-benar sulit dihubungi.
“Lama itu sampai akhirnya tunggakan biaya dia Rp15 juta,” tuturnya
Saat itu, Riski mengaku belum punya regulasi yang detail. Termasuk perjanjian di awal tentang bagaimana konsekuensi jika barang ditelantarkan.
“Udah dikontak tapi belum balas-balas, akhirnya ya aku jualin barangnya,” tuturnya.
Anak kos jogja yang pura-pura meninggal dunia
Pernah suatu ketika, ada pula pelanggan yang tak kunjung membayar biaya penitipan barang. Dihubungi pun tidak menjawab.
“Suatu hari ada nomer lain yang menghubungi, bilang kalau orang yang nyewa ini sudah meninggal karena kanker,” ungkapnya.
Hal itu terjadi setelah Riski membuat SOP yang rinci, bahwa ketika barang tak kunjung diambil hingga 30 hari dan pemilik tidak bisa dihubungi maka ia bisa menjualnya. Maka, ia sampaikan SOP tersebut ke nomor yang mengaku kerabat dari penyewa.
“Eh ternyata dia akhirnya mau bayar,” kelakarnya.
Begitulah ragam karakter anak kos Jogja yang ia temui selama menjalankan bisnis penitipan barang. Kendati begitu, akhirnya ia perlahan memperbaiki sistem. Supaya semuanya tertata dengan lebih baik.
“Aku bener-bener mulai menata sistem dan mempromosikan secara gencar beberapa bulan terakhir. Dari dulu hasilnya udah lumayan, bisa 3x UMR Jogja,” paparnya.
Dulu, ia mematok tarif rata Rp300 ribu per bulan. Namun, setelah menata sistem, ia buat aturan secara lebih detail. Biaya penitipan dihitung per item, mulai dari Rp300 sampai Rp3000 per harinya.
Selain itu, bisnis yang kini ia namai Kost Box ini juga punya berbagai pelayanan selain penitipan barang. Mulai dari packing produk, jasa angkut, hingga kargo.
Ia harap dengan perbaikan sistem ini akan semakin besar lagi potensi yang bisa digali. Cuan datang, anak kos Jogja pun senang.
Penulis: Hammam Izzuddin
Editor: Aly Reza
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News