Warga Dusun Mlangi Jogja Turun-temurun Lestarikan Selawat Langgam Jawa Meski Dicap Selawat Sesat

Ilustrasi Selawat Kojan Mlangi, Dusun Mlangi, Jogja. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Sebagai dusun berlabel “Kampung Santri”, Dusun Mlangi, Jogja tak melulu tentang nuansa ke-Arab-Araban. Justru, Dusun Mlangi berhasil mengakulturasi dua budaya yang kemudian melahirkan tradisi yang cukup unik bernama Selawat Ngelik atau yang kemudian lebih populer dengan sebutan Kojan Mlangi.

***

Azan Asar berkumandang saat saya tiba di depan Masjid Pathok Negara Mlangi, Dusun Mlangi, Kelurahan Nogotirto, Kecamatan Gamping, Sleman, DI Yogyakarta pada Senin, (11/3/2024).

Bahkan sebelum azan selesai, tampak beberapa warga setempat yang berduyun-duyun mengayuh sepeda onta tua mereka ke arah masjid. Sejenak saya terpaku menatap pemandangan tersebut. Muncul perasaan silir di hati, rasanya juga seperti bernostalgia.

Menelusuri Kampung Santri Mlangi Jogja MOJOK.CO
Jemaah berduyun-duyun ke Masjid Pathok Negara, Mlangi, Sleman, Jogja. (Aly Reza/Mojok.co)

Pesantren saya di Lasem, Jawa Tengah dulu juga berada di tengah perkampungan yang suasananya mirip dengan Mlangi. Sehingga, rasanya seperti saya sedang kembali ke masa lalu, ketika pemandangan sehari-hari adalah pemandangan orang-orang bersarung berduyun-duyun ke masjid persis ketika azan salat lima waktu berkumandang.

Lamunan saya buyar ketika seorang warga menyapa. Saya pun lantas mencari titik parkir yang nyaman untuk kemudian masuk ke dalam Masjid Pathok Negara yang bangunannya bermodel joglo khas kraton.

Ya karena memang sejarah Masjid Pathok Negara Mlangi dan Dusun Mlangi menjadi Kampung Santri di Jogja tidak lepas dari seorang pangeran dari kraton. Untuk bagian ini, Mojok sendiri pernah meliputnya secara khusus dalam “Mlangi, dari Tanah Perdikan hingga Kampung Santri”.

Mlangi Memikat pendatang

Selepas salat Asar, beberapa warga tampak merebahkan badan di selasar masjid. Termasuk seorang laki-laki usia 30-an yang sebelumnya menyapa saya saat memarkir motor. Saya pun mendekatinya.

“Kalau sini puasanya ikut besok, Mas (ikut ketetapan pemerintah pada Selasa, (12/3/2024),” ujar laki-laki yang ternyata bernama Ahmad Jamaluddin (34) tersebut.

“Jadi baru nanti malam ada Tarawih dan ngaji-ngaji. Selama sebulan Ramadan nanti juga buka bersama terus di sini,” sambungnya.

Jamal, panggilan akrabnya, menerangkan bahwa 70 persen warga Dusun Mlangi adalah dari kalangan Nahdliyin. Sementara 30 persen sisanya adalah pengikut Muhammadiyah.

Jamal sendiri sebenarnya bukan orang asli Mlangi, melainkan berasal dari Purbalingga, Jawa Tengah. Jamal mengaku mulai menetap di Mlangi sejak 2006 silam. Untuk cerita tentang Jamal, akan saya beberkan dalam tulisan lain, karena memang ceritanya juga cukup menarik.

Selain Jamal, sebenarnya ada beberapa warga lain yang ternyata merupakan warga pendatang dari luar Jogja.

“Setelah tinggal di sini, lama-lama betah dan nggak ingin balik ke daerah asal,” terang Jamal.

“Karena memang hidup di tengah-tengah suasana keagaman yang kental tapi juga tetap nguri-uri budaya (Jawa) itu bikin tenang,” imbuhnya.

Merawat Selawat Ngelik khas Mlangi

Salah satu tradisi di Kampung Santri Mlangi yang membuat orang luar Jogja seperi Jamal sempat “kaget” adalah adanya Selawat Ngelik, yakni lantunan selawat dengan menggunakan langgam Jawa.

Tak hanya selawat dengan langgam Jawa, tradisi yang juga dikenal dengan Kojan Mlangi tersebut ternyata memiliki gerakan yang cukup khas. Gambarannya mirip dengan Tari Saman asal Aceh lah.

Jadi sekumpulan orang dalam jumlah besar ada yang bertugas menabuh rebana dan ada juga yang melantunkan selawat. Sembari menabuh dan melantunkan selawat berlanggam Jawa itu, mereka secara serentak akan melakukan gerakan secara ritmis mengikuti pola yang mereka pelajari sebelumnya.

“Kojan Mlangi biasanya tampil pas acara Maulid Nabi, haul, atau acara-acara keagamaan lain di masjid,” jelas Jamal.

Yang membuat Jamal sangat kagum adalah, Selawat Ngelik yang bisa dibilang merupakan tradisi kuno, di Mlangi justru para pelakunya dari ana-anak kecil hingga pemuda-pemuda dusun.

Saya mencoba membandingkannya dengan tradisi Jedoran di desa saya, Manggar, Rembang, Jawa Tengah. Konsepnya mirip dengan Kojan Mlangi, yakni lantunan selawat berlanggam Jawa dengan iringan tetabuhan rebana. Bedanya, Jedoran di tempat saya tak pakai gerakan.

Nah, di tempat saya, tradisi tersebut kini sudah nyaris punah. Mengingat, para pemainnya yang merupakan orang-orang tua usia 60-an tahun ke atas banyak yang sudah wafat. Sementara tradisi tersebut tidak menurun ke generasi-generasi mudanya karena dicap sebagai “tradisi kuno”.

“Di sini regenerasinya bagus, Mas. Itu anak-anak segitu sudah bisa (Kojan Mlangi) semua,” ujar Jamal sembari menunjuk kumpulan bocah-bocah kecil yang tengah bermain petasan di pelataran masjid.

Jamal memanggil satu di antara anak-anak itu untuk melantunkan selawat berlanggam Jawa. Dan memang Jamal tak melebih-lebihkan perkataannya: bocah itu bisa dengan asyik melantunkan selawat berlanggam Jawa.

Bocah-bocah yang bermain di pelataran Masjid Pathok Negara, Mlangi. (Aly Reza/Mojok.co)

Selawat yang mendapat cap sesat

Selawat langgam Jawa sendiri menuai pro kontra di kalangan ulama Indonesia. Para ulama dari golongan Islam kanan seperti Habib Rizieq Shihab secara tegas sempat menentang pembacaan selawat atau bahkan Al-Qur’an dengan nada di luar nada Arab.

Karena penggunaan nada di luar nada Arab seperti langgam Jawa adalah bid’ah dlolalah (bid’ah yang menyesatkan) kalau kata HRS, sebab melenceng dari kaidah-kaidah ke-Islaman.

Meskipun banyak pula ulama tanah air yang menyebutnya sebagai upaya akulturasi yang tidak ada kaitannya melencengnya akidah.

“Kalau ada yang bilang sesat, monggo saja. Orang kan punya hukumnya masing-masing. Kalau orang sini (Mlangi, Jogja), ikut ajaran dari kiai-kiai sini,” respon Jamal.

Berdasarkan keterangan Jamal, Selawat Ngelik di Mlangi adalah tradisi turun-temurun sejak dulu yang diturunkan dari para kiai di Mlangi.

“Lagi pula yang kami baca loh kitab Barzanji. Cuma memang pakai langgam Jawa. Kan nggak ada masalah to dengan isi Barzanjinya,” tutur Jamal.

Petasan bukan hal mengganggu

Di tengah-tengah obrolan kami, suara petasan bersahut-sahutan. Alih-alih marah dan menegur, beberapa orang tua di masjid justru berseloroh, “Lah kok cuma segitu”. Saya tentu akan kaget. Karena di desa saya, jika hal semacam itu terjadi di pelataran masjid, wah bocah-bocah itu pasti sudah kena semprot hingga jewer.

“Saya dulu juga sempat kaget, Mas, anak-anak merconan kok nggak kena marah. Ternyata sudah jadi tradisi,” ujar Jamal.

Mercon atau petasan di Mlangi, Jogja tidak dianggap sebagai hal yang menggangu. Justru sebaliknya, anak-anak kurang afdal kalau tak menyalakan petasan di bulan Ramadan. Dan puncaknya adalah saat lebaran. Bunyi “dar der dor” justru membuat suasana Dusun Mlangi jadi lebih semarak alih-alih membuat bising.

Petasannya pun bukan petasan yang kecil-kecil, tapi petasan dengan ledakan yang cukup memekakkan telinga.

Tapi memang seperti itulah Mlangi, sebuah dusun di pinggiran Jogja yang legawa menerima beragam budaya. Ibarat seorang ibu yang lapang hati menerima anak-anaknya meski sifatnya berbeda satu sama lain.

Reporter: Muchamad Aly Reza
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA: Wonocolo: Daerah Terbaik di Surabaya yang Ternyata Bikin Penjual Ayam Geprek Nelangsa

Cek berita dan artikel lainnya di Google News

Exit mobile version