Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) tetap tancap gas untuk merealisasikan mata pelajaran coding dan kecerdasan buatan (artificial intelligence atau AI) di tahun ajaran 2025/2026, meski beberapa pakar tak sepakat jika materi tersebut diajarkan untuk siswa sekolah dasar (SD). Kebijakan itu masuk program Asta Cita di bawah pemerintahan Prabowo-Gibran untuk mewujudkan Indonesia emas 2045.
***
Rencana pelajaran coding dan AI mulai jenjang sekolah dasar masuk pelaksanaan Asta Cita yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
Salah satu dari 8 poinnya menyebut pemerintah Prabowo-Gibran ingin memperkuat pembangunan sumber daya manusia (SDM), sains, teknologi, pendidikan, kesehatan, prestasi olahraga, kesetaraan gender, serta penguatan peran perempuan, pemuda, dan penyandang disabilitas.
Gibran kemudian mengusulkan agar mata pelajaran coding mulai diajarkan untuk siswa sekolah dasar sesuai visi Indonesia Emas 2045, sehingga mereka bisa bersaing dengan negara-negara maju.
“Kita ingin lebih banyak lagi ahli-ahli coding, ahli-ahli AI, ahli-ahli machine learning, dan lain-lainnya,” dikutip dari laman resmi Puslapdik Kemendikbudristek pada Senin, (6/1/2025).
Masalahnya, target tanpa rencana yang matang berpotensi gagal dikemudian hari. Beberapa pakar sangsi terhadap kebijakan baru tersebut, terlebih Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) segera menerapkannya di tahun ajaran 2025/2026 untuk siswa kelas 4 atau kelas 5 SD.
“Untuk coding dan AI, pertama kami tegaskan bahwa itu adalah mata pelajaran pilihan, bukan mata pelajaran wajib. Karena itu, yang kami siapkan sekarang adalah perangkat lunaknya, yaitu kurikulumnya,” ujar Abdul Mu’ti dikutip dari Antara pada Senin (6/1/2024).
Dia juga mengatakan pelajaran coding dan AI tidak akan diterapkan di seluruh sekolah melainkan di beberapa sekolah tertentu saja, yakni sekolah yang sudah siap dengan sarana yang mumpuni: alat canggih dan internet yang memadai.
Ambisi Prabowo-Gibran membebani siswa SD
Koordinator nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matarji heran saat mendengar keinginan Kemendikdasmen dalam menambah pelajaran coding dan AI mulai tingkat SD. Dia menilai siswa dasar di Indonesia saja masih kurang cakap dalam pelajaran dasar, misalnya membaca dan berhitung.
“Siswa kita ini membaca dan berhitung saja nggak bisa, mutunya terburuk di dunia, la kok diajarin coding, ya aneh tapi nyata,” ujar Ubaid saat dikonfirmasi Mojok, Kamis (26/12/2024).
Sebetulnya, JPPI tak masalah jika pemerintah memasukkan pelajaran coding dan AI dalam kurikulum, tapi kurang tepat jika diajarkan dari jenjang SD. Terlalu dini dan tidak ada relevansinya. Minimal, kata Ubaid, materi tersebut diberikan minimal di jenjang menengah.
Oleh karena itu, Ubaid menyarankan pemerintah Prabowo-Gibran khususnya Kemendikdasmen, sebaiknya fokus pada penguatan karakter dan literasi, seperti numerisasi, sains untuk siswa sekolah dasar. Mengingat, hasil penelitian Program for International Student Assessment (PISA) 2022, Indonesia berada di peringkat ke-68 pada hasil belajar literasi, dengan skor matematika (379), sains (398), dan membaca (371). Skor ini jauh dari rata-rata global.
Sementara itu, peneliti isu masyarakat digital dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Iradat Warid menilai ambisi pemerintah dalam menghasilkan talenta digital kepada anak kurang tepat. Jangan sampai materi coding dan AI yang diajarkan tidak sesuai dengan kapasitas mereka, sehingga tampak memaksa dan jadi beban.
“Diajarkan saja dengan metode-metode yang menyenangkan, sesuai dengan kapasitas usianya. Jangan membebani dengan tuntutan harus jadi coder di usia segitu,” ujar Iradat dikutip dari laman resmi UGM, Senin (6/1/2025).
Coding dan AI terkesan eksklusif
Selain dinilai kurang relevan diajarkan kepada siswa SD, Iradat Warid yang juga deputi sekretaris dari Center for Digital Society (CfDS) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM menyoroti soal kesiapan pemerintah Prabowo-Gibran, khususnya Kemendikdasmen.
Iradat berujar pembelajaran coding dan AI membutuhkan laptop atau alat canggih dan internet yang handal. Selain itu, sekolah juga membutuhkan guru-guru muda yang mampu mengajarkan logika matematika dan logika komputasi yang rasional, serta kembali pada konsep dasar.
Alih-alih memikirkan kebutuhan tersebut, pemerintah memilih untuk menerapkan kebijakan coding dan AI di sekolah-sekolah tertentu. Artinya, program tersebut tidak dilakukan secara inklusif atau merata. Hanya menargetkan sekolah di kota-kota besar dan sekolah yang sudah maju.
“Kalau nanti hanya memilih di sekolah yang bagus, itu berarti cherry picking (pembenaran sepihak),” ujarnya.
“Eksklusifitas pembelajaran itu tidak pernah bagus. Tidak perlu ambisius dan buru-buru karena ini semua harus disiapkan secara totalitas,” lanjutnya.
Prabowo-Gibran harus paham hakikat coding dan AI
Jika penerapan coding dan AI jadi dilaksanakan untuk siswa SD, Iradat berujar siswa seharusnya memahami betul proses dan hakikat dari pembelajaran tersebut. Di mana, mereka harus punya logika berpikir untuk menghasilkan pemecahan masalah yang baik, serta memiliki kesabaran dan ketelitian tingkat tinggi.
Dengan begitu, siswa tidak terjebak pada manfaat AI yang instan. Mereka juga bisa menghargai orang lain dalam ranah hak dan privasi. Senada dengan hal tersebut, Pakar keamanan siber Vaksincom Alfons Tanujaya mengimbau agar kebijakan tersebut sesuai dengan tingkat pengetahuan dan usia anak.
Format pengajaran dasar coding, kata dia, harus sesuai untuk anak-anak, seperti model click and drag yang lebih sederhana. Lebih dari itu, minat dan ketekunan siswa harus ada. Bisa jadi, minat mereka berubah seiring dengan pertumbuhan anak.
“Jadi sebaiknya tidak dilakukan hanya berdasarkan nilai mata pelajaran dasar tetapi minat anak juga, dan jika berubah harus diberikan kesempatan,” ucap Alfons kepada Mojok, Rabu (25/12/2024).
Alfons berharap kebijakan Kemendikdasmen itu diterapkan dalam jangka panjang, karena jika hanya diterapkan pada periode Prabowo-Gibran saja maka akan sia-sia.
“Kalau akhirnya tiap presiden kebijakannya ganti lagi ya susah. Buang-buang uang saja itu,” ujarnya.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Prabowo Nangis Saat Umumkan Kenaikan Gaji Guru, Guru Honorer Lebih Nangis karena Tetap Terpinggirkan atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.