Pacet Mojokerto awalnya dianggap sebagai salah satu tempat pensiun terbaik di Jawa Timur. Namun, makin ke sini beberapa orang justru mulai berpikir ulang untuk menghabiskan masa tua di sana. Pacet yang penuh pilihan wisata terasa tak menyenangkan lagi dan bahkan penuh stigma.
***
Khususnya bagi orang-orang yang tinggal di Surabaya dan sekitarnya, healing ke Pacet Mojokerto menjadi pilihan saat libur akhir pekan. Secara jarak tak terlalu jauh (2 jaman), sejuk, dan banyak pilihan wisata alam yang menenangkan.
Sejak kuliah di Surabaya pada 2017, saya pun sudah tak terhitung main-main untuk wisata ke Pacet Mojokerto. Entah untuk mencari pemandian alam atau sekadar nongkrong di kafe-kafe dengan spot hamparan hijau. Intinya ngadem dari panas dan sumpeknya Surabaya lah.
Terakhir saya ke Pacet Mojokerto adalah pada Minggu, (9/7/2023) silam. Mencoba tektok (lagi) Mt. Lorokan (1.100 MDPL) yang tiba-tiba viral. Itu adalah kali kedua saya ke sana. Karena niat hati pengin muncak, tapi sebab waktu yang terbatas akhirnya milih tektok Mt. Lorokan saja. Hemat waktu, hemat energi.
Kunjungan kedua itu membuat saya menghela napas berat. Pasalnya, saat pertama kali ke sana pada 2021, kondisinya masih sunyi. Masih sangat menenangkan. Sementara pada Minggu (9/7/2023) itu, Mt. Lorokan penuh dan riuh.
Berpikir ulang untuk menua di Pacet Mojokerto
Sejak melihat keindahan dan ayemnya kehidupan di Pacet Mojokerto pada 2017, bertahun-tahun berikutnya saya memasukkannya sebagai salah satu daftar tempat untuk menghabiskan sisa hidup. Pilihan lainnya jatuh pada Banyuwangi.
Namun, semakin ke sini, hasrat saya untuk menetap di Mojokerto mulai berkurang. Saya mulai berpikir ulang: dengan kondisi Pacet Mojokerto yang seperti saat ini, apakah daerah wisata tersebut masih ayem untuk ditinggali?
Saya penasaran, apakah saya jadi satu-satunya orang yang merasa demikian? Maka saya mencoba meminta pendapat dari beberapa orang yang sempat menjadikan Pacet sebagai salah satu opsi tempat pensiun.
Sudah tak sejuk dan makin sumpek
Salah satu yang membuat Yifa (26) mendambakan menua di Pacet Mojokerto adalah karena suasana yang sangat sejuk. Tentu berbeda dengan tempat tinggalnya di Krian, Sidoarjo, yang panas ngenthang-ngenthang.
“Tiap masuk ke Pacet, dulu itu rasanya langsung nyes, sejuk banget. Sekarang mulai agak berkurang,” ujar Yifa.
Soal suhu udara, Yifa tentu tak menyalahkan Pacet-nya. Sebab, perubahan suhu di Pacet Mojokerto barangkali memang karena pemanasan Global.
Meski begitu, sejuknya Pacet bagi Yifa tentu masih lebih masuk akal ketimbang Krian. Akan tetapi, ada hal lain yang membuatnya mulai berpikir ulang untuk menua di sana: makin sumpek.
Bayangan Yifa (dulu), akan sangat menyenangkan misalnya di akhir pekan ia bisa menikmati suasana syahdu dan menenangkan. Sayangnya, bayangan itu pun kini buyar.
“Terlalu banyak wisatawan yang berlalu-lalang di akhir pekan. Bukan nggak mungkin nanti ada banyak titik yang dikembangkan jadi tempat wisata baru,” tutur Yifa.
“Kalau misalnya titik yang kutinggali suatu saat jadi wisata, maka sama aja kayak di Krian, harus melihat kesumpekan,” sambungnya.
Tapi lagi-lagi, Yifa tak menyalahkan Pacet-nya. Karena di sisi lain, semakin Pacet dikenal sebagai kawasan wisata, maka kunjungan makin tinggi, roda ekonomi masyarakat setempat pun akan terus berputar.
Baca halaman selanjutnya…
Banyak hal meresahkan di Pacet
Pacet Mojokerto kena stigma
Sebagai kawasan wisata, persewaan villa di Pacet Mojokerto sangat menjamur. Sayangnya, persewaan villa yang menjamur tersebut kini malah kena stigma kurang baik. Hal ini seperti diungkapkan oleh Abil (27), orang Gresik yang usai menikah tinggal di Mojokerto.
“Dulu villa itu kan untuk sewa acara-acara kampus dan liburan keluarga. Sampai sekarang memang masih. Tapi sekarang ketambahan jadi sewa buat orang mesum,” tutur Abil.
“Alhasil, Pacet kena stigma buruk. Punya villa untuk berbuat itu,” sambungnya.
Belum lagi para calo villa di Pacet cenderung sporadis kalau sedang menawarkan villanya. Setiap ada pengendara yang melintas—khususnya yang naik motor—akan dicegat. Ya persis calo-calo bus di Terminal.
Kontributor Terminal Mojok, Dito Yudhistira Iksandy, bahkan pernah sampai diikuti calo villa yang sedang menawarkan villanya.
Oleh karena itu, menurut Abil, kondisi Pacet Mojokerto yang menjadi seperti itu bisa membuatnya tak nyaman lagi: tak masuk opsi untuk jadi tempat menua.
Kawasan maut yang bikin ngeri
Saat pertama kali ke Pacet pada 2020, Lini (23) mahasiswa Surabaya asal Ngawi langsung takjub. Setelah beberapa kali wisata ke sana, Lini lalu merasa: sepertinya Pacet cocok untuk ditinggali.
“Semakin ke sini tapi aku malah ngeri. Karena Pacet Mojokerto punya jalur maut,” ungkap Lini.
Sudah kelewat sering terjadi kecelakaan di jalur menanjak Cangar-Pacet. Ada yang meninggal, lebih banyak yang luka-luka.
Paling baru, pada Rabu, (10/7/2024) lalu terjadi kecelakaan mobil Avanza terjun bebas ke jurang saat sedang wisata di Mojokerto. Dari 11 penumpang, satu di antaranya dikabarkan meninggal dunia.
Selain jalur tersebut, Pacet Mojokerto sebenarnya punya banyak jalur menanjak. Itulah yang membuat Lini sebagai perempuan agak ngeri. Memang ada banyak langkah antisipasi untuk mencegah rem blong pada kendaraan, tapi ia tidak sepenuhnya bisa memahami.
“Kalau nanti punya suami jelas suami yang nyetir. Tapi pas kebetulan lagi sendiri, kan tetep khawatir,” tutur Lini.
“Tapi apakah masih mau menua di Pacet?” tanya saja.
“Tak pikir-pikir dulu lah, hehehe,” jawabnya.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Hammam Izzuddin
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.