Nyaris terlunta-lunta, beruntung seorang driver ojek online (ojol) Grab di Semarang menolong saya tanpa mencuri kesempatan di tengah situasi buruk yang saya alami.
Sebenarnya hitungan saya untuk naik bus dari Rembang ke Semarang selalu pas. Jika dari Rembang naik bus di jam setengah satu siang, maka akan tiba di Semarang paling tidak jam empat sore. Lalu saya masih punya kesempatan untuk mencari bus arah Jogja yang memiliki jam keberangkatan akhir setengan lima sore.
Dan memang begitulah yang sudah saya alami selama enam bulan awal 2024 ini. Selalu tepat waktu, tak pernah telat. Sayangnya, pada Minggu (7/7/2024) kemarin saya agak sial.
Bus yang berjalan merayap
Sejak naik bus Indonesia kelas ekonomi dari Rembang, sebenarnya perasaan saya sudah langsung tidak enak. Bagaimana tidak, bus berjalan sangat lemban. Sekali berhenti juga membutuhkan waktu lama. Padahal bus sudah dalam posisi penuh penumpang.
“Jo, ayo Jo. Jancuk tenan, Jo iki mesti!,” teriak kondektur bus di kursi belakang saat bus merayap di jalanan perbatasan Rembang-Pati.
“Memang nyetirnya pelan yo, Lek?” tanya saya pada si kondektur setengah berbisik.
“Iya e, Mas. Nggak lihat jam. Padahal di belakang ada dua bus sudah mau nyusul. Kalau gini terus kita bisa kalah penumpang di Kudus sampai Semarang,” ucap si kondektur bersungut-sungut.
Benar saja, saat memasuki Pati, dua bus jurusan Surabaya-Semarang menyalip bus yang saya tumpangi itu. Sementara Jo, panggilan sopir bus Indonesia tersebut seperti bergeming. Ia tak peduli, masih menikmati menyetir mobil dengan merayap.
Tak pelak jika hal itu membuat kondektur bus di belakang misuh-misuh dengan ngedumel sendiri. Reaksi yang langsung memancing tawa dan gumaman dari penumpang lain di belakang.
Nyaris terlunta-lunta sebelum ditolong Grab Semarang
Benar-benar tak ada upaya dari si Jo untuk tancap gas bus yang ia setir. Bus baru mulai tancap gas ketika masuk tol Demak-Semarang. Tapi saya sudah putus asa, sudah jaminan saya akan ketinggalan bus arah Jogja karena jam di ponsel sudah menunjukkan jam lima sore.
Saat turun di Jalan Baru Genuk, loket bus arah Jogja ternyata sudah sepi. Kursi agen kosong, kursi penumpang pun kosong. Hanya ada seorang driver ojol Grab yang membaringkan badan di deretan kursi penumpang.
“Ya sudah nggak ada, Mas, jam segini. Terakhir jam setengah 5 tadi,” ujar driver ojol Grab Semarang yang kemudian saya tahu memiliki panggilan Man (39) itu.
Saya lantas duduk sambil menyesap rokok, mencoba memikirkan opsi apa yang bakal saya ambil. Beberapa adik kelas yang kuliah di Semarang coba saya hubungi. Sialnya, tidak ada satu pun yang sedang stay di Semarang karena memang sedang dalam masa liburan kuliah.
Saya pun mencoba mencari-cari info mengenai travel untuk Semarang-Jogja. Hanya saja, beberapa yang saya temukan di mesin pencari memiliki review buruk. Saya makin kehilangan opsi. Sampai akhirnya driver ojol Grab yang berbaring tadi menawarkan pertolongan.
Baca halaman selanjutnya…
Driver Grab selamtkan saya dari orang-orang licik dan kejam di Semarang
Grab Semarang yang berhati baik
“Mas, Semarang daerah terminal sini itu kejam. Banyak yang aji mumpung sama orang yang kesusahan,” ujar Man si driver ojol Grab tersebut saat mengajak saya berbincang. Pernyataan Man tersebut tentu saya amini. Sebab, saya sendiri di awal 2024 lalu sudah pernah menjadi korban betapa kejamnya Terminal Terboyo Semarang (tidak jauh dari Jalan Baru).
Man lantas menawarkan mengantar saya ke sebuah garasi travel Semarang-Jogja yang terpercaya. Ia tidak meminta bayaran, karena ia sendiri juga sekalian jalan pulang.
Opsi itu ia berikan karena untuk sampai ke garasi, ongkos ngojek (baik konvensional maupun ojol) cukup mahal. Saya tak menolak, karena saya pun ingin segera sampai di Jogja.
Setiba di garasi travel pun, Man tak lekas pulang. Ia meminta saya memastikan apakah masih ada slot kosong untuk perjalanan Semarang-Jogja malam itu. Mengingat, akhir pekan biasanya slotnya penuh.
“Saya tahu karena saya sering antar penumpang ke sini,” ungkap pria yang sebenarnya secara penampilan terlihat garang tersebut.
“Kalau ternyata penuh, nanti sampean saya antar ke Sukun, biasanya masih ada bus ekonomi berangkat. Kalau yang ke Sukun nanti baru saya hitung order, tapi pakai aplikasi dulu. Kalau yang ke sini nggak usah,” sambungnya.
Beruntungnya, untuk perjalanan Semarang-Jogja malam itu masih ada slot. Man lalu tersenyum lega sembari berpamitan.
Saya sempat mencoba memberinya uang sejumlah ongkos yang seharusnya dibayarkan kalau order lewat aplikasi. Tapi ia justru menolak.
“Soalnya tadi udah terlanjur nggak pesen lewat aplikasi, Mas. Jadi nggak usah lah,” ujarnya membuat saya heran, kok ada model driver ojol Grab seperti Man.
Akan tetapi saya memaksa. Akadnya bukan sebagai upah antara penumpang dengan driver Grab, tapi sebagai tanda terimakasih karena saya sudah ditolong dari kemungkinan terlunta-lunta semalaman di Semarang. Ia menerima, dengan senyum yang tulus meski kesan sangar dan garang masih tergurat di wajahnya.
Man lalu pamit jalan pulang. Sementara saya bersiap berangkat ke Jogja dengan kenangan yang berseliweran. Awal tahun 2024 lalu saya baru saja mengutuk liciknya calo-calo di Terminal Terboyo Semarang yang bahkan lebih licik dari calo di Terminal Bungurasih Surabaya sebagai salah satu terminal bus terbesar di Jawa. Sekarang trauma saya di Semarang terbayar tuntas usai dipertemukan dengan driver ojol Grab sebaik Man.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Hammam Izzuddin
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News