Orang Ngapak Melawan Rasisnya Warga Jakarta: ‘Bukan Dielek Ndeso, Aneh, Keras, Apalagi Bahasa Alien’

kaum ngapak

Ilustrasi - Orang Ngapak Melawan Rasisnya Warga Jakarta: 'Bukan Dielek Ndeso, Aneh, Keras, Apalagi Bahasa Alien' (Mojok.co)

Bagi orang-orang Ngapak, Jakarta adalah kota yang diskriminatif. Banyak yang mendapat perlakuan berbeda. Bahkan, sampai pada titik ekstrem dihina-hina dalam pekerjaan hanya karena dialek dianggap aneh.

***

“‘Kalau ngomong jangan pakai bahasa alien! Kita ini manusia, goblok!’”

Ungkapan tersebut keluar dari mulut salah seorang sutradara film. Fidelia (27), bukan nama sebenarnya, tak akan pernah lupa dengan kalimat menyakitkan tadi. 

“Sepanjang aku hidup, aku baru merasakan kalau di Jakarta, Ngapak dianggap bukan bahasa manusia,” ujar perempuan asal Purbalingga, Jawa Tengah ini menceritakan pengalaman setahun lalu itu kepada Mojok, Kamis (16/1/2024) malam.

Ditertawakan karena dianggap medok

Sudah jadi rahasia umum kalau banyak orang “menertawakan” dialek Ngapak. Ia dianggap aneh, medok, kampungan, dan sejenisnya. 

Fidelia, yang besar dan tumbuh sebagai orang Ngapak tulen, menyadari betul hal tersebut. Saat masih kuliah di Jogja, ejekan yang berbau rasial itu ia alami sendiri. Ironisnya lagi, ejekan-ejekan ini datang dari teman-temannya.

Sebagai misal, yang paling sering terjadi, ketika tengah mengobrol memakai dialek Ngapak, lawan bicaranya selalu tertawa. Bahasanya dianggap lucu. Terutama oleh orang-orang yang berbicara dengan bahasa non-Jawa, seperti Jawa Barat atau Jakarta.

“Bahkan kalau aku ngomong pakai Bahasa Indonesia pun, selalu ditertawakan. Dibilang nggak pantas karena mdeok. Katanya, ‘kalau ngapak, ya ngapak aja, nggak usah dipaksain pakai bahasa kota’,” ungkapnya, getir.

Namun, lambat laun Fidelia berusaha berdamai dengan sikap tersebut. Baginya, tak ada tendensi dari teman-temannya itu untuk mengejeknya. Mungkin cara bicaranya dianggap aneh karena orang-orang masih asing dan belum terbiasa mendengarnya.

“Lama-lama mikir juga, ah, yaudah lah. Itung-itung hiburan buat teman-temanku. Toh, mereka cuma nertawain aja, nggak ada maksud menghina,” katanya.

Didiskriminasi dalam pekerjaan karena Ngapak

Sayangnya, hal berbeda ia alami ketika di Jakarta. Ceritanya, pada awal 2024 lalu, Fidelia mendapatkan panggilan pekerjaan dari sebuah rumah produksi. Di situ, ia masuk dalam divisi yang mengurusi bidang art director untuk sebuah proyek film.

Momen itu adalah kali pertama Fidelia bekerja di Jakarta. Selama ini, biasanya ia hanya mengerjakan proyek-proyek film di Jogja. Sejak lulus kuliah pada 2021 lalu, ia memang memutuskan buat menetap saja di Jogja untuk bekerja.

Awalnya, Fidelia amat antusias dengan pekerjaan. Meskipun yang akan digarap bukan film kategori top, setidaknya ini bisa menjadi portofolionya.

“Selama ini kan aku cuma handle project-project di Jogja. Kebanyakan film pendek. Makanya, excited banget waktu ditawarin kerjaan ini,” jelasnya.

“Semacam opportunity bisa kerja sama artis dan sutradara ibu kota,” imbuh Fidelia.

Namun, di luar dugaannya, hal-hal tak mengenakkan justru terjadi. Dan, sekali lagi, ini menyangkut dialek Ngapak yang secara alamiah selalu terlontar saat dirinya bicara.

Kalau cuma buat bahan guyonan atau ditertawakan, sih, ia sudah terbiasa. Toh, teman-temannya selama kuliah di Jogja cuma demikian. Masalahnya, hinaan ini menurutnya sudah keterlaluan.

Parahnya lagi, ini dilontarkan oleh sutradara yang meng-direct proyek film tersebut.

“Itu kejadiannya bahkan sebelum proses produksi. Aku ingatnya, itu kami lagi meeting dengan crew lain, ada si director, DOP, termasuk rekan-rekan se-divisiku,” jelasnya.

“Aku lagi presentasiin hasil kerja divisiku. Tapi tiba-tiba, si director motong, ‘Kalau ngomong jangan pakai bahasa alien! Kita ini manusia, goblok!,” imbuh Fidelia, mengingat kalimat menyakitkan itu.

Memutuskan keluar dari proyek film karena memang toxic

Lebih jauh, ia bercerita kalau sikap sutradara waktu itu sangat intimidatif. Ia bilang, seperti diulang oleh Fidelia: “di tempat ini cuma boleh ngomong pakai Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris, selain itu jangan dipakai.”

Hal itu pun sangat menyakitkan bagi Fidelia. Sebab, selama presentasi dia memang berbicara menggunakan Bahasa Indonesia. Hanya saja, karena dialek Ngapak sedikit-sedikit masih terbawa, sutradara langsung menghujatnya.

Sialnya, beberapa orang yang mengikuti meeting itu tertawa lepas. Mereka ikut terbawa sikap diskriminatif yang dipertontonkan oleh sang sutradara. Hanya ada beberapa orang yang bersimpati kepadanya.

“Aku pikir orang Jakarta berpendidikan semua. Ternyata enggak, selevel director kondang aja mulutnya jahat banget.

Stereotipe negatif dialek Ngapak

Tak cuma Fidelia, banyak orang Ngapak lain yang merasa terganggu dengan stereotipe negatif yang dialami hanya karena dialek mereka. Misalnya, ini dipotret dalam penelitian Sukma Imam Susmono berjudul “Konsep Diri Berbahasa: Dimensi Psikologis Penggunaan Bahasa Pada Penutur Bahasa Banyumasan” (2006).

Dalam penelitian tersebut, Sukma menemukan bahwa banyak mahasiswa Ngapak di Jogja merasa rendah diri karena stereotipe yang mereka terima. 

Sukma mencatat, mereka secara psikologis terganggu dengan dengan anggapan bahwa dialek Ngapak itu disebut marjinal (pinggiran), ndeso, sehingga banyak yang akhirnya enggan menggunakannya lagi.

Fidelia sendiri mengamin temuan tersebut. Sebab, selain dirinya, buktinya ada banyak orang lain yang mengalami diskriminasi cuma karena dialeknya dianggap aneh.

“Padahal kan tiap bahasa punya karakternya. Bahasa mereka, kalau diucapkan di tempat lain nun jauh di sana, aku yakin juga bakal dianggap beda. Makanya, aku cuma mau menegaskan, Ngapak itu nggak aneh apalagi bahasa alien; mereka aja yang rasis.”

Penulis: Ahmad Effendi

Editor: Muchamad Aly Reza

BACA JUGA: Omong Kosong Dangdut Miskin Tema dan Kamu Perlu Tahu Karya Monumental Dangdut Ngapak atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.

Exit mobile version