Industri hasil tembakau memang sedang lesu. Banyak faktor melatarbelakanginya, termasuk ketidakstabilan harga pasar akibat kebijakan ugal-ugalan pemerintah. Namun, di tengah kesulitan ini, banyak petani tembakau memilih bertahan.
***
Malam itu, Jumat (20/9/2024), Mojok berkunjung ke kecamatan Bansari, Temanggung. Udara di sana begitu dingin, terasa menusuk tulang; terutama setelah pukul delapan malam.
Di tengah kabut yang menggantung, Herman (57), petani tembakau di lereng Sindoro-Sumbing, tetap menyibukkan diri. Di teras rumahnya yang sederhana itu, ia menyalakan mesin rajang untuk mencacah daun-daun tembakau hasil panen beberapa hari sebelumnya.
Suara mesin rajang memecah kesunyian malam, menyatu dengan desir angin yang membawa aroma khas tembakau segar. Sementara istrinya, sabar menunggu hasil rajangan yang akan dijemur di atas rigen. Ini adalah bagian dari rutinitas panjang yang tetap mereka jalani tiap harinya, meskipun komoditas itu tidak lagi “seksi”.
Kepada Mojok, Herman mengaku bahwa dirinya menyimpan suka dan duka menjadi petani tembakau di Bansari, tempat di mana sebagian besar masyarakat menggantungkan hidup pada tanaman emas hijau ini. Namun, akhir-akhir ini, kejayaan tembakau semakin memudar, yang membuatnya harus memutar otak.
Harga tembakau sedang tak menentu, petani lesu
Herman tidak dapat menutupi nada lesu dalam suaranya, ketika menceritakan bagaimana harga tembakau yang tidak stabil telah mengubah hidup para petani.
“Harga tembakau sekarang nggak menentu. Dulu, masih bisa berharap harga naik setelah panen, tapi sekarang udah beda,” ucapnya sembari memeriksa daun tembakau yang akan dimasukkan ke mesin.
Perubahan drastis harga pasar, membuat Herman dan banyak petani lainnya tidak bisa lagi mengandalkan musim tembakau sebagai sumber utama penghasilan. Kalau dulu ia bisa mendapatkan uang lebih dari Rp100 per kilogram dari penjualan. Kini, harga jualnya mentok Rp80 ribu per kilogram.
Ketidakpastian harga ini, ditambah dengan meningkatnya biaya produksi, membuat keuntungan semakin tipis. Bahkan, tidak jarang Herman dan petani tembakau lainnya malah merugi.
“Kadang harga tembakau sekarang itu nggak sebanding sama biaya tanamnya. Modal buat pupuk, perawatan, sama tenaga kan besar. Kalau harga jatuh, kita malah bisa rugi,” lanjutnya dengan nada kecewa.
Kebijakan ngawur pemerintah bikin petani mengkis-mengkis
Pemerintah yang konsisten menaikan cukai untuk produk Industri Hasil Tembakau (IHT) ditengarai menjadi faktor terbesar penurunan harga ini. Salah satu yang paling krusial adalah memasukan produk tembakau dan rokok elektronik dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK).
Kemenkes mencatat sejumlah hal yang akan diregulasi. Antara lain ukuran pesan bergambar pada kemasan rokok diperbesar, penggunaan rokok elektrik diatur, penyeragaman kemasan rokok, iklan, promosi, sponsorship diperketat, penjualan rokok batangan dilarang, dan pengawasan ditingkatkan.
Rencana itu dikhawatirkan semakin menekan penjualan rokok, sebagai produk yang paling banyak menyerap tembakau petani. Dampak lebih jauh lagi, petani akan semakin kena getahnya.
Cuaca yang tak bersahabat juga jadi tantangan petani
Selain harga yang tidak stabil, perubahan iklim juga menjadi tantangan besar bagi petani tembakau di Bansari. Cuaca yang semakin tidak bisa diprediksi, terutama hujan yang datang di waktu yang salah, dapat merusak kualitas daun tembakau.
“Tanaman itu sangat sensitif dengan cuaca. Kalau hujan di waktu yang salah, daun tembakau rusak, dan kualitasnya turun. Itu bikin kita susah jual,” ujar Pak Herman.
Musim tanam yang tidak menentu membuat banyak petani kehilangan hasil panen atau harus merugi karena kualitas tembakau yang buruk. Ini memaksa sebagian dari mereka untuk mencari alternatif lain yang lebih menjanjikan.
Sistem “ijon” yang merugikan petani
Herman bercerita, sistem penjualan tembakau di Bansari sebagian besar masih bersifat tradisional. Kebanyakan petani masih menjual tembakaunya ke pengepul lokal, yang kemudian dijual ke pabrik-pabrik rokok besar.
“Kadang tidak punya banyak pilihan selain menjual ke pengepul dengan harga yang mereka tentukan. Kalau mau jual sendiri, susah cari pembeli yang mau harga tinggi,” tuturnya.
Herman juga bercerita tentang sistem ijon, di mana petani menerima uang di muka sebelum musim tanam dan harus menjual hasil panen mereka dengan harga yang sudah disepakati. Meski sistem ini memberi kepastian, hal ini mengurangi potensi keuntungan jika harga pasar naik setelah panen.
“Sekarang banyak juga yang jual daun ke luar gitu karena masih gemar menanam tembakau dan antusias dengan musim tembakau, tapi tidak siap untuk mengolah sendiri,” tambahnya di kala malam yang kian sepi waktu itu.
Bahkan, ia mengaku pernah mengalami kerugian besar yang hampir membuatnya kapok bertani tembakau akibat sistem ijon. Salah satu kerugian yang paling ia ingat adalah ketika beberapa keranjang tembakaunya hilang di pengepul.
“Dulu saya masih ikut sistem begitu, dikasih modal sama pengepul, setor semua produksi, terus hitung di akhir, tapi ternyata ada yang hilang,” ujarnya dengan jengkel.
Penurunan jumlah petani tembakau di Bansari
Salah satu dampak yang paling kentara dari lesunya industri tembakau di Bansari, Temanggung adalah penurunan jumlah petani. Kata Herman, dahulu hampir semua petani di sana mengandalkan tembakau. Namun, kini, jumlah petani yang masih setia menanam tembakau terus menurun.
“Mungkin sekarang tinggal sekitar 40 sampai 50 persen aja yang masih bertahan, termasuk saya,” jelasnya.
“Banyak yang sudah berpikir ulang karena keuntungan makin kecil,” imbuhnya, sambil melanjutkan pekerjaannya merajang daun-daun tembakau.
Alhasil, tidak semua petani bisa terus bertahan hanya dengan tembakau. Bagi sebagian petani, sayuran dan kopi mulai menjadi pilihan yang lebih menjanjikan.
“Beberapa itu sekarang lebih banyak yang menanam sayuran kayak cabai, tomat, sawi, terus bawang merah. Panennya lebih cepat harganya juga lebih stabil,” jelasnya.
Banyak petani muda di Bansari kini juga telaten beralih ke kopi. Iklim yang sejuk dan tanah yang subur membuat tanaman kopi bisa tumbuh dengan baik di wilayah tersebut.
Meski demikian, tak sedikit juga yang memilih bertahan, termasuk Herman. Sebab, bagi banyak petani, menggantinya dengan komoditas lain tak semudah membalikkan telapak tangan.
“Tiap tahun kaya kapok, tapi dasar saya orang tani, ya tiap tahun juga saya tetep nanem,” ujarnya dengan senyum tipis, menyiratkan kebanggaannya sebagai petani.
Penulis: Kiki Sofia Rista
Editor: Ahmad Effendi
Liputan ini diproduksi oleh mahasiswa Magang Jurnalistik Universitas Sanata Dharma Yogyakarta periode September 2024.
BACA JUGA Tingwe, Budaya Orang Tua yang Digemari Anak Muda: Tetap Nikmat Tanpa Bikin Kantong Sekarat
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News