Jumbuh sebagai usaha lokal lestari menghadirkan “Ziarah Tanah” di sela-sela konser Kunto Aji. Penonton dalam konser Urup 2025 tersebut diajak menyentuh, meraba, mencium bau, dan mendengarkan tanah. Kegiatan itu sebagai wadah refleksi untuk kembali mengarungi perjalanan hidup mereka.
***
Di awal tahun baru, Rabu (1/1/2024) kemarin saya pergi ke konser Urup 2025 yang konsepnya berdasar dalam tiga pilar, yaitu wellness, local dan art. Setelah puas mendengarkan konser Kunto Aji, saya bergegas untuk pulang karena masih mengantuk usai acara bakar-bakar di malam hari.
Namun, langkah saya terhenti saat melihat beberapa orang antre di suatu instalasi seni tidak jauh dari arah pintu keluar panggung. Saat saya mendekat, terpampang sebuah bendera bertuliskan “Jumbuh”.
Saya melihat ada empat orang sedang duduk bersebrangan dihadapan gundukan tanah. Tanah itu ditopang oleh kain putih semacam kain kafan. Lalu, mereka memegang tanah itu secara perlahan sambil mendengarkan suara yang muncul dari dalam tanah.
Sekilas kegiatan itu terlihat ganjil tapi rupanya itu adalah eksperimen yang digagas oleh Jumbuh. Melansir dari akun Instagram Urup 2025, Jumbuh muncul atas dasar kepercayaan bahwa energi yang berasal dari alam dapat menyelaraskan hati dan senantiasa mengisi kekosongan.
Saya yang penasaran akhirnya ikut antre. Di sela antrean itu, saya berkenalan dengan Hamam (27) yang selesai menuliskan hasil meditasinya menggunakan media tanah – istilah saya.
Saat mencoba memegang tanah yang disediakan Jumbuh, Hamam merasa ada gumpalan tanah yang harus dihancurkan. Dia merefleksikan bentuk tanah tersebut seperti hidup.
“Ketika aku coba mainin tanahnya agar lebih halus, aku merasa frekuensi suara yang dihasilkan lebih stabil,” ujar Hamam yang sudah mencoba menghaluskan gumpalan tanah dengan lembut, sembari mengenakan headphone untuk mendengar suara tanah.
“Jadi aku merasa kalau hidup ditata dan diproses satu persatu maka efeknya juga lebih santai ketika menghadapi sesuatu,” lanjutnya.
Ziarah Tanah di tengah konser Kunto Aji
Beberapa orang berbaju hitam mendatangi pengunjung satu-satu. Mereka menjelaskan tujuan dari menyentuh, membau, dan mendengarkan tanah. Kegiatan itu mereka sebut dengan Ziarah Tanah.
Salah seorang panitia dari Jumbuh kemudian menjelaskan kepada saya bahwa Ziarah Tanah dapat membantu penonton Urup 2025 di konser Kunto Aji untuk berdamai dengan dirinya.
Konseptor atau Pencipta Narasi Ziarah Tanah, Bandera menjelaskan tanah adalah simbol dari tiga tahap kehidupan, yakni kelahiran, kehidupan itu sendiri, dan kematian. Sementara, Ziarah Tanah sendiri adalah kegiatan menyentuh, meraba, bahkan mencium aroma tanah.
Dari kegiatan tersebut, Jumbuh berharap penonton Urup 2025 dapat merefleksikan diri, serta mengingat kembali memorinya untuk mengenal diri sendiri. Dari mana mereka berasal, serta apa saja yang sudah mereka lewati.
“Ketika mengenal kita dari mana, kita mungkin sadar bahwa kita lebih bertumbuh, lebih bijaksana, lebih baik dari yang sebelumnya,” ucap Konseptor atau Pencipta Narasi Ziarah Tanah, Bandera, pada Rabu (1/1/2024).
Menghadirkan memori kehidupan lewat aroma tanah
Selain menyentuh dan meraba, penonton Urup 2025 di konser Kunto Aji dapat mencium tiga aroma yang berbeda dari tanah yang telah disiapkan. Tiga aroma yang berbeda itu berfungsi untuk membantu penonton menghadirkan kembali memori perjalanan hidup mereka.
Bandera berujar penggunaan aroma itu berasal dari usaha lokal lestari, yakni Jumbuh Meramu yang memproduksi essential oil dari bahan-bahan organik. Bahan itu dipercaya baik untuk kesehatan tubuh dan juga mental.
“Jadi peramu Jumbuh kebetulan adalah dokter, herbalis juga. Nah, dii tanah itu kami kasih aroma yang efeknya bisa menenangkan, release trauma dan emosi kayak gitu. Jadi nge-trigger memory gitu,” ujarnya.
Aroma itu seperti anggrek, basil, dan cendana sehingga dipercaya bisa menghasilkan gelombang suara. Dalam menghasilkan wangi-wangian yang mempresentasikan tiga tahap kehidupan tersebut, Jumbuh juga bekerja sama dengan Mega Meramu.
Sembari menikmati tekstur tanah dan mencium aromanya, penonton Urup 2025 di konser Kunto Aji juga harus mengenakan headphone untuk mendengarkan “suara tanah”. Ornamen audio yang menggunakan pendekatan modular itu adalah karya sound art dari Shidana Wildan, serta orang-orang yang mempunyai dasar perfilman, yakni Jogja Film Academy.
Mendengarkan suara dalam Ziarah Tanah
Menurut artikel dari media asing yang yang saya baca, suara tanah berangkat dari pengalaman pertama Marcus Maefer. Dia adalah seorang ahli ekologi akustik dan seniman suara dari ETH Zurich, Institut Teknologi Federal Swiss.
Saat berlibur di pegunungan Alpen Swiss, Marcus iseng menusukkan probe mikrofon khusus yang dia kembangkan ke dalam padang rumput. Seketika, rentetan suara dari headphone-nya berbunyi keras.
Dari sana, para peneliti menemukan bahwa dunia bawah tanah sebenarnya berisik. Suara itu bisa jadi muncul dari pergerakan air melalui pori-pori tanah, hingga getaran dari berbagai hewan yang bergerak dan saling berkomunikasi. Mulai dari cacing, tangau, bakteri, hingga jamur.
Ziarah Tanah sendiri menggunakan ornamen audio yang digunakan untuk menciptakan ruang refleksi kepada diri sendiri. Bahwa setiap langkah di tanah adalah pengingat: kita bukan pemilik alam, melainkan bagian dari keseimbangannya.
“Ziarah ini adalah cara untuk kembali terhubung, saling mendukung, dan hidup berdampingan dengan penuh rasa syukur,” ucap Bandera di sekitar panggung konser Kunto Aji.
Selain itu, eksperimen tersebut dapat menghapus segala bentuk sifat manusia yang dianggap tidak membumi, sehingga mereka bisa kembali tumbuh dari bawah dengan lebih bijaksana.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Hari Kesehatan Mental Sedunia yang Sepi atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan